UNDANG-UNDANG
REPUBLIK INDONESIA
NOMOR
36 TAHUN 2008
TENTANG
PERUBAHAN
KEEMPAT ATAS UNDANG-UNDANG
NOMOR
7 TAHUN 1983 TENTANG PAJAK PENGHASILAN
DENGAN
RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
PRESIDEN
REPUBLIK INDONESIA,
Menimbang :
a. bahwa dalam upaya mengamankan penerimaan
negara yang semakin meningkat, mewujudkan sistem perpajakan yang netral,
sederhana, stabil, lebih memberikan keadilan, dan lebih dapat menciptakan
kepastian hukum serta transparansi perlu dilakukan perubahan terhadap
Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan sebagaimana telah
beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2000 tentang
Perubahan Ketiga atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak
Penghasilan;
b. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana
dimaksud dalam huruf a, perlu membentuk Undang-Undang tentang Perubahan Keempat
atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan;
Mengingat: 1. Pasal
5 ayat (1), Pasal 20, dan Pasal 23A Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945;
2. Undang-Undang
Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 1983 Nomor 49, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 3262) sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir
dengan Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2007 tentang Perubahan Ketiga atas
Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara
Perpajakan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2007 Nomor 85, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4740);
3. Undang-Undang
Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 1983 Nomor 50, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia
Nomor 3263) sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan
Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2000 tentang Perubahan Ketiga atas Undang-Undang
Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2000 Nomor 127, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia
Nomor 3985);
Dengan
Persetujuan Bersama
DEWAN
PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA
dan
PRESIDEN
REPUBLIK INDONESIA
MEMUTUSKAN:
Menetapkan: UNDANG-UNDANG
TENTANG PERUBAHAN KEEMPAT ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 7 TAHUN 1983 TENTANG PAJAK PENGHASILAN.
Pasal
I
Beberapa ketentuan dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983
tentang Pajak Penghasilan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1983 Nomor
50, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3263) yang telah beberapa
kali diubah dengan Undang-Undang:
a. Nomor 7 Tahun 1991 (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 1991 Nomor 93, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia
Nomor 3459);
b. Nomor 10 Tahun 1994 (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 1994 Nomor 60, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 3567);
c. Nomor 17 Tahun 2000 (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 2000 Nomor 127, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 3985);
diubah sebagai berikut:
1. Ketentuan Pasal 1 substansi tetap dan
Penjelasannya diubah sehingga rumusan Penjelasan Pasal 1 adalah sebagaimana tercantum
dalam Penjelasan Pasal demi Pasal Angka 1 Undang-Undang ini.
2. Ketentuan Pasal 2 ayat (1) sampai dengan
ayat (5) diubah dan di antara ayat (1) dan ayat (2) disisipkan 1 (satu) ayat,
yakni ayat (1a) sehingga Pasal 2 berbunyi sebagai berikut:
Pasal
2
(1) Yang menjadi subjek pajak adalah:
a. 1. orang pribadi;
2. warisan
yang belum terbagi sebagai satu kesatuan menggantikan yang berhak;
b. badan; dan
c. bentuk usaha tetap.
(1a) Bentuk usaha tetap merupakan subjek pajak yang perlakuan
perpajakannya dipersamakan dengan subjek pajak badan.
(2) Subjek pajak dibedakan menjadi subjek pajak
dalam negeri dan subjek pajak luar negeri.
(3) Subjek pajak dalam negeri adalah:
a. orang pribadi yang bertempat tinggal di
Indonesia, orang pribadi yang berada di Indonesia lebih dari 183 (seratus
delapan puluh tiga) hari dalam jangka waktu 12 (dua belas) bulan, atau orang
pribadi yang dalam suatu tahun pajak berada di Indonesia dan mempunyai niat
untuk bertempat tinggal di Indonesia;
b. badan yang didirikan atau bertempat
kedudukan di Indonesia, kecuali unit tertentu dari badan pemerintah yang
memenuhi kriteria:
1. pembentukannya berdasarkan ketentuan peraturan
perundang-undangan;
2. pembiayaannya bersumber dari Anggaran Pendapatan
dan Belanja Negara atau Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah;
3. penerimaannya dimasukkan dalam anggaran Pemerintah
Pusat atau Pemerintah Daerah; dan
4. pembukuannya diperiksa oleh aparat pengawasan
fungsional negara; dan
c. warisan yang belum terbagi sebagai satu
kesatuan menggantikan yang berhak.
(4) Subjek pajak luar negeri adalah:
a. orang pribadi yang tidak bertempat tinggal
di Indonesia, orang pribadi yang berada di Indonesia tidak lebih dari 183
(seratus delapan puluh tiga) hari dalam jangka waktu 12 (dua belas) bulan, dan badan
yang tidak didirikan dan tidak bertempat kedudukan di Indonesia, yang
menjalankan usaha atau melakukan kegiatan melalui bentuk usaha tetap di
Indonesia; dan
b. orang pribadi yang tidak bertempat tinggal
di Indonesia, orang pribadi yang berada di Indonesia tidak lebih dari 183
(seratus delapan puluh tiga) hari dalam jangka waktu 12 (dua belas) bulan, dan badan
yang tidak didirikan dan tidak bertempat kedudukan di Indonesia, yang dapat
menerima atau memperoleh penghasilan dari Indonesia tidak dari menjalankan
usaha atau melakukan kegiatan melalui bentuk usaha tetap di Indonesia.
(5) Bentuk usaha tetap adalah bentuk usaha yang dipergunakan
oleh orang pribadi yang tidak bertempat tinggal di Indonesia, orang pribadi
yang berada di Indonesia tidak lebih dari 183 (seratus delapan puluh tiga) hari
dalam jangka waktu 12 (dua belas) bulan, dan badan yang tidak didirikan dan
tidak bertempat kedudukan di Indonesia untuk menjalankan usaha atau melakukan
kegiatan di Indonesia, yang dapat berupa:
a.
tempat kedudukan manajemen;
b.
cabang perusahaan;
c.
kantor perwakilan;
d.
gedung kantor;
e.
pabrik;
f.
bengkel;
g.
gudang;
h.
ruang untuk promosi dan penjualan;
i.
pertambangan dan penggalian sumber alam;
j.
wilayah kerja pertambangan minyak dan gas
bumi;
k.
perikanan, peternakan, pertanian, perkebunan,
atau kehutanan;
l.
proyek konstruksi, instalasi, atau proyek
perakitan;
m.
pemberian jasa dalam bentuk apa pun oleh
pegawai atau orang lain, sepanjang dilakukan lebih dari 60 (enam puluh) hari
dalam jangka waktu 12 (dua belas) bulan;
n.
orang atau badan yang bertindak selaku agen
yang kedudukannya tidak bebas;
o.
agen atau pegawai dari perusahan asuransi
yang tidak didirikan dan tidak bertempat kedudukan di Indonesia yang menerima
premi asuransi atau menanggung risiko di Indonesia; dan
p.
komputer, agen elektronik, atau peralatan
otomatis yang dimiliki, disewa, atau digunakan oleh penyelenggara transaksi
elektronik untuk menjalankan kegiatan usaha melalui internet.
(6) Tempat tinggal orang pribadi atau tempat
kedudukan badan ditetapkan oleh Direktur Jenderal Pajak menurut keadaan yang
sebenarnya.
3. Ketentuan Pasal 3 diubah dan ditambah 1
(satu) ayat, yakni ayat (2) sehingga Pasal 3 berbunyi sebagai berikut:
Pasal
3
(1) Yang tidak termasuk subjek pajak sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 2 adalah:
a.
kantor perwakilan negara asing;
b.
pejabat-pejabat perwakilan diplomatik dan
konsulat atau pejabat-pejabat lain dari negara asing dan orang-orang yang
diperbantukan kepada mereka yang bekerja pada dan bertempat tinggal bersamasama
mereka dengan syarat bukan warga negara Indonesia dan di Indonesia tidak
menerima atau memperoleh penghasilan di luar jabatan atau pekerjaannya tersebut
serta negara bersangkutan memberikan perlakuan timbal balik;
c.
organisasi-organisasi internasional dengan
syarat:
1. Indonesia menjadi anggota organisasi tersebut;
dan
2. tidak menjalankan usaha atau kegiatan lain untuk
memperoleh penghasilan dari Indonesia selain memberikan pinjaman kepada
pemerintah yang dananya berasal dari iuran para anggota;
d.
pejabat-pejabat perwakilan organisasi
internasional sebagaimana dimaksud pada huruf c, dengan syarat bukan warga
negara Indonesia dan tidak menjalankan usaha, kegiatan, atau pekerjaan lain untuk
memperoleh penghasilan dari Indonesia.
(2) Organisasi internasional yang tidak termasuk
subjek pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c ditetapkan dengan
Keputusan Menteri Keuangan.
4. Ketentuan Pasal 4 ayat (1) huruf d, huruf e,
huruf h, huruf l, dan Penjelasan huruf k diubah dan ditambah 3 (tiga) huruf, yakni
huruf q sampai dengan huruf s, ayat (2) diubah, ayat (3) huruf a, huruf d,
huruf f, huruf i, dan huruf k diubah, huruf j dihapus, dan ditambah 3 (tiga)
huruf, yakni huruf l, huruf m, dan huruf n sehingga Pasal 4 berbunyi sebagai berikut:
Pasal
4
(1) Yang menjadi objek pajak adalah penghasilan,
yaitu setiap tambahan kemampuan ekonomis yang diterima atau diperoleh Wajib
Pajak, baik yang berasal dari Indonesia maupun dari luar Indonesia, yang dapat dipakai
untuk konsumsi atau untuk menambah kekayaan Wajib Pajak yang bersangkutan,
dengan nama dan dalam bentuk apa pun, termasuk:
a. penggantian atau imbalan berkenaan dengan pekerjaan
atau jasa yang diterima atau diperoleh termasuk gaji, upah, tunjangan,
honorarium, komisi, bonus, gratifikasi, uang pensiun, atau imbalan dalam bentuk
lainnya, kecuali ditentukan lain dalam Undang-undang ini;
b. hadiah dari undian atau pekerjaan atau
kegiatan, dan penghargaan;
c. laba usaha;
d. keuntungan karena penjualan atau karena pengalihan
harta termasuk:
1. keuntungan karena pengalihan harta kepada perseroan,
persekutuan, dan badan lainnya sebagai pengganti saham atau penyertaan modal;
2. keuntungan karena pengalihan harta kepada pemegang
saham, sekutu, atau anggota yang diperoleh perseroan, persekutuan, dan badan lainnya;
3. keuntungan karena likuidasi, penggabungan, peleburan,
pemekaran, pemecahan, pengambilalihan usaha, atau reorganisasi dengan nama dan
dalam bentuk apa pun;
4. keuntungan karena pengalihan harta berupa hibah,
bantuan, atau sumbangan, kecuali yang diberikan kepada keluarga sedarah dalam
garis keturunan lurus satu derajat dan badan keagamaan, badan pendidikan, badan
sosial termasuk yayasan, koperasi, atau orang pribadi yang menjalankan usaha
mikro dan kecil, yang ketentuannya diatur lebih lanjut dengan Peraturan Menteri
Keuangan, sepanjang tidak ada hubungan dengan usaha, pekerjaan, kepemilikan,
atau penguasaan di antara pihak-pihak yang bersangkutan; dan
5. keuntungan karena penjualan atau pengalihan sebagian
atau seluruh hak penambangan, tanda turut serta dalam pembiayaan, atau permodalan
dalam perusahaan pertambangan;
e. penerimaan kembali pembayaran pajak yang
telah dibebankan sebagai biaya dan pembayaran tambahan pengembalian pajak;
f. bunga termasuk premium, diskonto, dan
imbalan karena jaminan pengembalian utang;
g. dividen, dengan nama dan dalam bentuk
apapun, termasuk dividen dari perusahaan asuransi kepada pemegang polis, dan
pembagian sisa hasil usaha koperasi;
h. royalti atau imbalan atas penggunaan hak;
i. sewa dan penghasilan lain sehubungan dengan
penggunaan harta;
j. penerimaan atau perolehan pembayaran
berkala;
k. keuntungan karena pembebasan utang, kecuali sampai
dengan jumlah tertentu yang ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah;
l. keuntungan selisih kurs mata uang asing;
m. selisih lebih karena penilaian kembali
aktiva;
n. premi asuransi;
o. iuran yang diterima atau diperoleh
perkumpulan dari anggotanya yang terdiri dari Wajib Pajak yang menjalankan
usaha atau pekerjaan bebas;
p. tambahan kekayaan neto yang berasal dari penghasilan
yang belum dikenakan pajak;
q. penghasilan dari usaha berbasis syariah;
r. imbalan bunga sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang
yang mengatur mengenai ketentuan umum dan tata cara perpajakan; dan
s. surplus Bank Indonesia.
(2) Penghasilan di bawah ini dapat dikenai pajak
bersifat final:
a. penghasilan berupa bunga deposito dan
tabungan lainnya, bunga obligasi dan surat utang negara, dan bunga simpanan
yang dibayarkan oleh koperasi kepada anggota koperasi orang pribadi;
b. penghasilan berupa hadiah undian;
c. penghasilan dari transaksi saham dan sekuritas
lainnya, transaksi derivatif yang diperdagangkan di bursa, dan transaksi
penjualan saham atau pengalihan penyertaan modal pada perusahaan pasangannya
yang diterima oleh perusahaan modal ventura;
d. penghasilan dari transaksi pengalihan harta
berupa tanah dan/atau bangunan, usaha jasa konstruksi, usaha real
estate, dan persewaan tanah dan/atau bangunan; dan
e. penghasilan tertentu lainnya, yang diatur
dengan atau berdasarkan Peraturan Pemerintah.
(3) Yang dikecualikan dari objek pajak adalah:
a. 1. bantuan atau sumbangan, termasuk zakat yang
diterima oleh badan amil zakat atau lembaga amil zakat yang dibentuk atau
disahkan oleh pemerintah dan yang diterima oleh penerima zakat yang berhak atau
sumbangan keagamaan yang sifatnya wajib bagi pemeluk agama yang diakui di
Indonesia, yang diterima oleh lembaga keagamaan yang dibentuk atau disahkan
oleh pemerintah dan yang diterima oleh penerima sumbangan yang berhak, yang
ketentuannya diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Pemerintah; dan
2. harta hibahan yang diterima oleh keluarga sedarah
dalam garis keturunan lurus satu derajat, badan keagamaan, badan pendidikan, badan
sosial termasuk yayasan, koperasi, atau orang pribadi yang menjalankan usaha
mikro dan kecil, yang ketentuannya diatur dengan atau berdasarkan Peraturan
Menteri Keuangan, sepanjang tidak ada hubungan dengan usaha, pekerjaan,
kepemilikan, atau penguasaan di antara pihak-pihak yang bersangkutan;
b. warisan;
c. harta termasuk setoran tunai yang diterima oleh
badan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) huruf b sebagai pengganti
saham atau sebagai pengganti penyertaan modal;
d. penggantian
atau imbalan sehubungan dengan pekerjaan atau jasa yang diterima atau diperoleh
dalam bentuk natura dan/atau kenikmatan dari Wajib Pajak atau Pemerintah,
kecuali yang diberikan oleh bukan Wajib Pajak, Wajib Pajak yang dikenakan pajak
secara final atau Wajib Pajak yang menggunakan norma penghitungan khusus (deemed
profit) sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15;
e. pembayaran
dari perusahaan asuransi kepada orang pribadi sehubungan dengan asuransi kesehatan,
asuransi kecelakaan, asuransi jiwa, asuransi dwiguna, dan asuransi bea siswa;
f. dividen atau bagian laba yang diterima atau diperoleh
perseroan terbatas sebagai Wajib Pajak dalam negeri, koperasi, badan usaha
milik negara, atau badan usaha milik daerah, dari penyertaan modal pada badan
usaha yang didirikan dan bertempat kedudukan di Indonesia dengan syarat:
1. dividen berasal dari cadangan laba yang ditahan;
dan
2. bagi perseroan terbatas, badan usaha milik negara
dan badan usaha milik daerah yang menerima dividen, kepemilikan saham pada badan
yang memberikan dividen paling rendah 25% (dua puluh lima persen) dari jumlah
modal yang disetor;
g. iuran yang diterima atau diperoleh dana pensiun
yang pendiriannya telah disahkan Menteri Keuangan, baik yang dibayar oleh
pemberi kerja maupun pegawai;
h. penghasilan dari modal yang ditanamkan oleh
dana pensiun sebagaimana dimaksud pada huruf g, dalam bidang-bidang tertentu
yang ditetapkan dengan Keputusan Menteri Keuangan;
i. bagian laba yang diterima atau diperoleh
anggota dari perseroan komanditer yang modalnya tidak terbagi atas saham-saham,
persekutuan, perkumpulan, firma, dan kongsi, termasuk pemegang unit penyertaan
kontrak investasi kolektif;
j. dihapus;
k. penghasilan yang diterima atau diperoleh perusahaan
modal ventura berupa bagian laba dari badan pasangan usaha yang didirikan dan menjalankan
usaha atau kegiatan di Indonesia, dengan syarat badan pasangan usaha tersebut:
1. merupakan perusahaan mikro, kecil, menengah,
atau yang menjalankan kegiatan dalam sektor-sektor usaha yang diatur dengan atau
berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan; dan
2. sahamnya tidak diperdagangkan di bursa
efek di Indonesia;
l. beasiswa yang memenuhi persyaratan tertentu yang
ketentuannya diatur lebih lanjut dengan atau berdasarkan Peraturan Menteri
Keuangan;
m. sisa lebih yang diterima atau diperoleh
badan atau lembaga nirlaba yang bergerak dalam bidang pendidikan dan/atau
bidang penelitian dan pengembangan, yang telah terdaftar pada instansi yang
membidanginya, yang ditanamkan kembali dalam bentuk sarana dan prasarana
kegiatan pendidikan dan/atau penelitian dan pengembangan, dalam jangka waktu
paling lama 4 (empat) tahun sejak diperolehnya sisa lebih tersebut, yang
ketentuannya diatur lebih lanjut dengan atau berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan;
dan
n. bantuan atau santunan yang dibayarkan oleh Badan
Penyelenggara Jaminan Sosial kepada Wajib Pajak tertentu, yang ketentuannya
diatur lebih lanjut dengan atau berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan.
5. Ketentuan Pasal 6 ayat (1) huruf a, huruf e,
huruf g, dan huruf h diubah dan ditambah 5 (lima) huruf, yakni huruf I sampai
dengan huruf m, serta ayat (2) diubah sehingga Pasal 6 berbunyi sebagai
berikut:
Pasal
6
(1) Besarnya Penghasilan Kena Pajak bagi Wajib
Pajak dalam negeri dan bentuk usaha tetap, ditentukan berdasarkan penghasilan
bruto dikurangi biaya untuk mendapatkan, menagih, dan memelihara penghasilan, termasuk:
a. biaya yang secara langsung atau tidak
langsung berkaitan dengan kegiatan usaha, antara lain:
1. biaya pembelian bahan;
2. biaya berkenaan dengan pekerjaan atau jasa termasuk
upah, gaji, honorarium, bonus, gratifikasi, dan tunjangan yang diberikan dalam
bentuk uang;
3. bunga, sewa, dan royalti;
4. biaya perjalanan;
5. biaya pengolahan limbah;
6. premi asuransi;
7. biaya promosi dan penjualan yang diatur dengan
atau berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan;
8. biaya administrasi; dan
9. pajak kecuali Pajak Penghasilan;
b. penyusutan atas pengeluaran untuk memperoleh
harta berwujud dan amortisasi atas pengeluaran untuk memperoleh hak dan atas
biaya lain yang mempunyai masa manfaat lebih dari 1 (satu) tahun sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 11 dan Pasal 11A;
c. iuran kepada dana pensiun yang pendiriannya telah
disahkan oleh Menteri Keuangan;
d. kerugian karena penjualan atau pengalihan
harta yang dimiliki dan digunakan dalam perusahaan atau yang dimiliki untuk
mendapatkan, menagih, dan memelihara penghasilan;
e. kerugian selisih kurs mata uang asing;
f. biaya penelitian dan pengembangan
perusahaan yang dilakukan di Indonesia;
g. biaya beasiswa, magang, dan pelatihan;
h. piutang yang nyata-nyata tidak dapat ditagih
dengan syarat:
1. telah dibebankan sebagai biaya dalam
laporan laba rugi komersial;
2. Wajib Pajak harus menyerahkan daftar
piutang yang tidak dapat ditagih kepada Direktorat Jenderal Pajak; dan
3. telah diserahkan perkara penagihannya kepada
Pengadilan Negeri atau instansi pemerintah yang menangani piutang negara; atau
adanya perjanjian tertulis mengenai penghapusan piutang/pembebasan utang antara
kreditur dan debitur yang bersangkutan; atau telah dipublikasikan dalam penerbitan
umum atau khusus; atau adanya pengakuan dari debitur bahwa utangnya telah dihapuskan
untuk jumlah utang tertentu;
4. syarat sebagaimana dimaksud pada angka 3 tidak
berlaku untuk penghapusan piutang tak tertagih debitur kecil sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1) huruf k; yang pelaksanaannya diatur lebih
lanjut dengan atau berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan;
i. sumbangan dalam rangka penanggulangan bencana
nasional yang ketentuannya diatur dengan Peraturan Pemerintah;
j. sumbangan dalam rangka penelitian dan pengembangan
yang dilakukan di Indonesia yang ketentuannya diatur dengan Peraturan
Pemerintah;
k. biaya pembangunan infrastruktur sosial yang ketentuannya
diatur dengan Peraturan Pemerintah;
l. sumbangan fasilitas pendidikan yang
ketentuannya diatur dengan Peraturan Pemerintah; dan
m. sumbangan dalam rangka pembinaan olahraga yang
ketentuannya diatur dengan Peraturan Pemerintah.
(2) Apabila penghasilan bruto setelah pengurangan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) didapat kerugian, kerugian tersebut
dikompensasikan dengan penghasilan mulai tahun pajak berikutnya berturut-turut
sampai dengan 5 (lima) tahun.
(3) Kepada orang pribadi sebagai Wajib Pajak
dalam negeri diberikan pengurangan berupa Penghasilan Tidak Kena Pajak
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7.
6. Ketentuan Pasal 7 diubah sehingga Pasal 7
berbunyi sebagai berikut:
Pasal
7
(1) Penghasilan Tidak Kena Pajak per tahun
diberikan paling sedikit sebesar:
a. Rp15.840.000,00 (lima belas juta delapan
ratus empat puluh ribu rupiah) untuk diri Wajib Pajak orang pribadi;
b. Rp1.320.000,00 (satu juta tiga ratus dua
puluh ribu rupiah) tambahan untuk Wajib Pajak yang kawin;
c. Rp15.840.000,00 (lima belas juta delapan
ratus empat puluh ribu rupiah) tambahan untuk seorang isteri yang
penghasilannya digabung dengan penghasilan suami sebagaimana dimaksud dalam Pasal
8 ayat (1); dan
d. Rp1.320.000,00 (satu juta tiga ratus dua
puluh ribu rupiah) tambahan untuk setiap anggota keluarga sedarah dan keluarga
semenda dalam garis keturunan lurus serta anak angkat, yang menjadi tanggungan
sepenuhnya, paling banyak 3 (tiga) orang untuk setiap keluarga.
(2) Penerapan ketentuan sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) ditentukan oleh keadaan pada awal tahun pajak atau awal bagian tahun
pajak.
(3) Penyesuaian besarnya Penghasilan Tidak Kena
Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan dengan Peraturan Menteri
Keuangan setelah dikonsultasikan dengan Dewan Perwakilan Rakyat.
7. Ketentuan Pasal 8 ayat (2) sampai dengan
ayat (4) dan Penjelasan ayat (1) diubah sehingga Pasal 8 berbunyi sebagai berikut:
Pasal
8
(1) Seluruh penghasilan atau kerugian bagi wanita
yang telah kawin pada awal tahun pajak atau pada awal bagian tahun pajak,
begitu pula kerugiannya yang berasal dari tahun-tahun sebelumnya yang belum dikompensasikan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat
(2) dianggap sebagai penghasilan atau kerugian suaminya, kecuali penghasilan
tersebut semata-mata diterima atau diperoleh dari 1 (satu) pemberi kerja yang telah
dipotong pajak berdasarkan ketentuan Pasal 21 dan pekerjaan tersebut tidak ada
hubungannya dengan usaha atau pekerjaan bebas suami atau anggota keluarga
lainnya.
(2) Penghasilan suami-isteri dikenai pajak secara
terpisah apabila:
a. suami-isteri telah hidup berpisah
berdasarkan putusan hakim;
b. dikehendaki secara tertulis oleh
suami-isteri berdasarkan perjanjian pemisahan harta dan penghasilan; atau
c. dikehendaki oleh isteri yang memilih untuk
menjalankan hak dan kewajiban perpajakannya sendiri.
(3) Penghasilan neto suami-isteri sebagaimana
dimaksud pada ayat (2) huruf b dan huruf c dikenai pajak berdasarkan
penggabungan penghasilan neto suami isteri dan besarnya pajak yang harus
dilunasi oleh masing-masing suami-isteri dihitung sesuai dengan perbandingan
penghasilan neto mereka.
(4) Penghasilan anak yang belum dewasa digabung
dengan penghasilan orang tuanya.
8. Ketentuan Pasal 9 ayat (1) huruf c, huruf e,
dan huruf g serta Penjelasan huruf f diubah sehingga Pasal 9 berbunyi sebagai berikut:
Pasal
9
(1) Untuk menentukan besarnya Penghasilan Kena
Pajak bagi Wajib Pajak dalam negeri dan bentuk usaha tetap tidak boleh
dikurangkan:
a. pembagian laba dengan nama dan dalam bentuk apapun
seperti dividen, termasuk dividen yang dibayarkan oleh perusahaan asuransi
kepada pemegang polis, dan pembagian sisa hasil usaha koperasi;
b. biaya yang dibebankan atau dikeluarkan untuk
kepentingan pribadi pemegang saham, sekutu, atau anggota;
c. pembentukan atau pemupukan dana cadangan, kecuali:
1. cadangan piutang tak tertagih untuk usaha bank
dan badan usaha lain yang menyalurkan kredit, sewa guna usaha dengan hak opsi, perusahaan
pembiayaan konsumen, dan perusahaan anjak piutang;
2. cadangan untuk usaha asuransi termasuk cadangan
bantuan sosial yang dibentuk oleh Badan Penyelenggara Jaminan Sosial;
3. cadangan penjaminan untuk Lembaga Penjamin
Simpanan;
4. cadangan biaya reklamasi untuk usaha pertambangan;
5. cadangan biaya penanaman kembali untuk usaha
kehutanan; dan
6. cadangan biaya penutupan dan pemeliharaan tempat
pembuangan limbah industri untuk usaha pengolahan limbah industri, yang
ketentuan dan syarat-syaratnya diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Menteri
Keuangan;
d. premi asuransi kesehatan, asuransi
kecelakaan, asuransi jiwa, asuransi dwiguna, dan asuransi bea siswa, yang
dibayar oleh Wajib Pajak orang pribadi, kecuali jika dibayar oleh pemberi kerja
dan premi tersebut dihitung sebagai penghasilan bagi Wajib Pajak yang
bersangkutan;
e. penggantian atau imbalan sehubungan dengan pekerjaan
atau jasa yang diberikan dalam bentuk natura dan kenikmatan, kecuali penyediaan
makanan dan minuman bagi seluruh pegawai serta penggantian atau imbalan dalam
bentuk natura dan kenikmatan di daerah tertentu dan yang berkaitan dengan
pelaksanaan pekerjaan yang diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan;
f. jumlah yang melebihi kewajaran yang
dibayarkan kepada pemegang saham atau kepada pihak yang mempunyai hubungan
istimewa sebagai imbalan sehubungan dengan pekerjaan yang dilakukan;
g. harta yang dihibahkan, bantuan atau
sumbangan, dan warisan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (3) huruf a dan
huruf b, kecuali sumbangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (1) huruf i
sampai dengan huruf m serta zakat yang diterima oleh badan amil zakat atau
lembaga amil zakat yang dibentuk atau disahkan oleh pemerintah atau sumbangan
keagamaan yang sifatnya wajib bagi pemeluk agama yang diakui di Indonesia, yang
diterima oleh lembaga keagamaan yang dibentuk atau disahkan oleh pemerintah, yang
ketentuannya diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Pemerintah;
h. Pajak Penghasilan;
i. biaya yang dibebankan atau dikeluarkan
untuk kepentingan pribadi Wajib Pajak atau orang yang menjadi tanggungannya;
j. gaji yang dibayarkan kepada anggota
persekutuan, firma, atau perseroan komanditer yang modalnya tidak terbagi atas
saham;
k. sanksi administrasi berupa bunga, denda, dan
kenaikan serta sanksi pidana berupa denda yang berkenaan dengan pelaksanaan
perundang-undangan di bidang perpajakan.
(2) Pengeluaran untuk mendapatkan, menagih, dan memelihara
penghasilan yang mempunyai masa manfaat lebih dari 1 (satu) tahun tidak
dibolehkan untuk dibebankan sekaligus, melainkan dibebankan melalui penyusutan
atau amortisasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 atau Pasal 11A.
9. Ketentuan Pasal 11 ayat (7) dan ayat (11)
serta Penjelasan ayat (1) sampai dengan ayat (4) diubah sehingga Pasal 11 berbunyi
sebagai berikut:
Pasal 11
(1) Penyusutan atas pengeluaran untuk pembelian, pendirian,
penambahan, perbaikan, atau perubahan harta berwujud, kecuali tanah yang
berstatus hak milik, hak guna bangunan, hak guna usaha, dan hak pakai, yang
dimiliki dan digunakan untuk mendapatkan, menagih, dan memelihara penghasilan
yang mempunyai masa manfaat lebih dari 1 (satu) tahun dilakukan dalam bagian-bagian
yang sama besar selama masa manfaat yang telah ditentukan bagi harta tersebut.
(2) Penyusutan atas pengeluaran harta berwujud sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) selain bangunan, dapat juga dilakukan dalam
bagian-bagian yang menurun selama masa manfaat, yang dihitung dengan cara
menerapkan tarif penyusutan atas nilai sisa buku, dan pada akhir masa manfaat
nilai sisa buku disusutkan sekaligus, dengan syarat dilakukan secara taat asas.
(3) Penyusutan dimulai pada bulan dilakukannya pengeluaran,
kecuali untuk harta yang masih dalam proses pengerjaan, penyusutannya dimulai
pada bulan selesainya pengerjaan harta tersebut.
(4) Dengan persetujuan Direktur Jenderal Pajak,
Wajib Pajak diperkenankan melakukan penyusutan mulai pada bulan harta tersebut
digunakan untuk mendapatkan, menagih, dan memelihara penghasilan atau pada
bulan harta yang bersangkutan mulai menghasilkan.
(5) Apabila Wajib Pajak melakukan penilaian
kembali aktiva berdasarkan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19, maka
dasar penyusutan atas harta adalah nilai setelah dilakukan penilaian kembali
aktiva tersebut.
(6) Untuk menghitung penyusutan, masa manfaat dan
tarif penyusutan harta berwujud ditetapkan sebagai berikut:
Kelompok Harta
Berwujud
|
Masa
Manfaat
|
Tarif Penyusutan sebagaimana dimaksud dalam
![]() |
I. Bukan bangunan
Kelompok 1
Kelompok 2
Kelompok 3
Kelompok 4
II. Bangunan
Permanen
Tidak Permanen
|
4 tahun
8 tahun
16 tahun
20 tahun
20 tahun
10 tahun
|
25% 50%
12,5% 25%
6,25% 12,5%
5% 10%
5%
10%
|

(8) Apabila terjadi pengalihan atau penarikan
harta sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1) huruf d atau penarikan harta
karena sebab lainnya, maka jumlah nilai sisa buku harta tersebut dibebankan sebagai
kerugian dan jumlah harga jual atau penggantian asuransinya yang diterima atau
diperoleh dibukukan sebagai penghasilan pada tahun terjadinya penarikan harta
tersebut.
(9) Apabila hasil penggantian asuransi yang akan
diterima jumlahnya baru dapat diketahui dengan pasti di masa kemudian, maka
dengan persetujuan Direktur Jenderal Pajak jumlah sebesar kerugian sebagaimana
dimaksud pada ayat (8) dibukukan sebagai beban masa kemudian tersebut.
(10) Apabila terjadi pengalihan harta yang memenuhi
syarat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (3) huruf a dan huruf b, yang
berupa harta berwujud, maka jumlah nilai sisa buku harta tersebut tidak boleh
dibebankan sebagai kerugian bagi pihak yang mengalihkan.
(11) Ketentuan lebih lanjut mengenai kelompok harta berwujud
sesuai dengan masa manfaat sebagaimana dimaksud pada ayat (6) diatur dengan
Peraturan Menteri Keuangan.
10. Ketentuan Pasal 11A ayat (1) dan Penjelasan
ayat (5) diubah serta di antara ayat (1) dan ayat (2) disisipkan 1 (satu) ayat,
yakni ayat (1a) sehingga Pasal 11A berbunyi sebagai berikut:
Pasal
11A
(1) Amortisasi atas pengeluaran untuk memperoleh
harta tak berwujud dan pengeluaran lainnya termasuk biaya perpanjangan hak guna
bangunan, hak guna usaha, hak pakai, dan muhibah (goodwill) yang
mempunyai masa manfaat lebih dari 1 (satu) tahun yang dipergunakan untuk
mendapatkan, menagih, dan memelihara penghasilan dilakukan dalam bagian-bagian yang
sama besar atau dalam bagian-bagian yang menurun selama masa manfaat, yang
dihitung dengan cara menerapkan tarif amortisasi atas pengeluaran tersebut atau
atas nilai sisa buku dan pada akhir masa manfaat diamortisasi sekaligus dengan
syarat dilakukan secara taat asas.
(1a) Amortisasi dimulai pada bulan dilakukannya pengeluaran,
kecuali untuk bidang usaha tertentu yang diatur lebih lanjut dengan Peraturan
Menteri Keuangan.
(2) Untuk menghitung amortisasi, masa manfaat dan
tarif amortisasi ditetapkan sebagai berikut:
Kelompok Harta
Tak Berwujud
|
Masa Manfaat
|
Tarif Amortisasi berdasarkan
metode
|
|
Garis
Lurus
|
Saldo
Menurun
|
||
Kelompok
1
Kelompok
2
Kelompok
3
Kelompok
4
|
4 tahun
8 tahun
16 tahun
20 tahun
|
25%
12,5%
6,25%
5%
|
50%
25%
12,5%
10%
|
(3) Pengeluaran untuk biaya pendirian dan biaya perluasan
modal suatu perusahaan dibebankan pada tahun terjadinya pengeluaran atau
diamortisasi sesuai dengan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2).
(4) Amortisasi atas pengeluaran untuk memperoleh
hak dan pengeluaran lain yang mempunyai masa manfaat lebih dari 1 (satu) tahun
di bidang penambangan minyak dan gas bumi dilakukan dengan menggunakan metode
satuan produksi.
(5) Amortisasi atas pengeluaran untuk memperoleh
hak penambangan selain yang dimaksud pada ayat (4), hak pengusahaan hutan, dan
hak pengusahaan sumber alam serta hasil alam lainnya yang mempunyai masa manfaat
lebih dari 1 (satu) tahun, dilakukan dengan menggunakan metode satuan produksi
setinggi-tingginya 20% (dua puluh persen) setahun.
(6) Pengeluaran yang dilakukan sebelum operasi
komersial yang mempunyai masa manfaat lebih dari 1 (satu) tahun, dikapitalisasi
dan kemudian diamortisasi sesuai dengan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam
ayat (2).
(7) Apabila terjadi pengalihan harta tak berwujud
atau hak-hak sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), ayat (4), dan ayat (5), maka
nilai sisa buku harta atau hak-hak tersebut dibebankan sebagai kerugian dan
jumlah yang diterima sebagai penggantian merupakan penghasilan pada tahun
terjadinya pengalihan tersebut.
(8) Apabila terjadi pengalihan harta yang
memenuhi syarat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (3) huruf a dan huruf
b, yang berupa harta tak berwujud, maka jumlah nilai sisa buku harta tersebut
tidak boleh dibebankan sebagai kerugian bagi pihak yang mengalihkan.
11. Ketentuan Pasal 14 ayat (2), ayat (3), ayat
(5), dan ayat (7) serta Penjelasan ayat (4) diubah sehingga Pasal 14 berbunyi sebagai
berikut:
Pasal
14
(1) Norma Penghitungan Penghasilan Neto untuk menentukan
penghasilan neto, dibuat dan disempurnakan terus-menerus serta diterbitkan oleh
Direktur Jenderal Pajak.
(2) Wajib Pajak orang pribadi yang melakukan
kegiatan usaha atau pekerjaan bebas yang peredaran brutonya dalam 1 (satu)
tahun kurang dari Rp4.800.000.000,00 (empat miliar delapan ratus juta rupiah)
boleh menghitung penghasilan neto dengan menggunakan Norma Penghitungan
Penghasilan Neto sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dengan syarat memberitahukan
kepada Direktur Jenderal Pajak dalam jangka waktu 3 (tiga) bulan pertama dari
tahun pajak yang bersangkutan.
(3) Wajib Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat
(2) yang menghitung penghasilan netonya dengan menggunakan Norma Penghitungan
Penghasilan Neto wajib menyelenggarakan pencatatan sebagaimana dimaksud dalam
Undang-Undang yang mengatur mengenai ketentuan umum dan tata cara perpajakan.
(4) Wajib Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat
(2) yang tidak memberitahukan kepada Direktur Jenderal Pajak untuk menghitung
penghasilan neto dengan menggunakan Norma Penghitungan Penghasilan Neto, dianggap
memilih menyelenggarakan pembukuan.
(5) Wajib Pajak yang wajib menyelenggarakan
pembukuan atau pencatatan, termasuk Wajib Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat
(3) dan ayat (4), yang ternyata tidak atau tidak sepenuhnya menyelenggarakan pencatatan
atau pembukuan atau tidak memperlihatkan pencatatan atau bukti-bukti pendukungnya
maka penghasilan netonya dihitung berdasarkan Norma Penghitungan Penghasilan
Neto dan peredaran brutonya dihitung dengan cara lain yang diatur dengan atau
berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan.
(6) Dihapus.
(7) Besarnya peredaran bruto sebagaimana dimaksud
pada ayat (2) dapat diubah dengan Peraturan Menteri Keuangan.
12. Ketentuan Pasal 16 ayat (1) sampai dengan
ayat (3) dan Penjelasan ayat (4) diubah sehingga Pasal 16 berbunyi sebagai
berikut:
Pasal
16
(1) Penghasilan Kena Pajak sebagai dasar
penerapan tarif bagi Wajib Pajak dalam negeri dalam suatu tahun pajak dihitung
dengan cara mengurangkan dari penghasilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat
(1) dengan pengurangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (1) dan ayat
(2), Pasal 7 ayat (1), serta Pasal 9 ayat (1) huruf c, huruf d, huruf e, dan huruf
g.
(2) Penghasilan Kena Pajak bagi Wajib Pajak orang
pribadi dan badan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 dihitung dengan menggunakan
norma penghitungan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 dan untuk Wajib Pajak
orang pribadi dikurangi dengan Penghasilan Tidak Kena Pajak sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 7 ayat (1).
(3) Penghasilan Kena Pajak bagi Wajib Pajak luar
negeri yang menjalankan usaha atau melakukan kegiatan melalui suatu bentuk
usaha tetap di Indonesia dalam suatu tahun pajak dihitung dengan cara mengurangkan
dari penghasilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (1) dengan
memerhatikan ketentuan dalam Pasal 4 ayat (1) dengan pengurangan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 5 ayat (2) dan ayat (3), Pasal 6 ayat (1) dan ayat (2),
serta Pasal 9 ayat (1) huruf c, huruf d, huruf e, dan huruf g.
(4) Penghasilan Kena Pajak bagi Wajib Pajak orang
pribadi dalam negeri yang terutang pajak dalam suatu bagian tahun pajak
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2A ayat (6) dihitung berdasarkan penghasilan
neto yang diterima atau diperoleh dalam bagian tahun pajak yang disetahunkan.
13. Ketentuan Pasal 17 ayat (1) sampai dengan
ayat (3) dan Penjelasan ayat (5) sampai dengan ayat (7) diubah serta di antara
ayat (2) dan ayat (3) disisipkan 4 (empat) ayat, yakni ayat (2a) sampai dengan
ayat (2d) sehingga Pasal 17 berbunyi sebagai berikut:
Pasal
17
(1) Tarif pajak yang diterapkan atas Penghasilan
Kena Pajak bagi:
a. Wajib Pajak orang pribadi dalam negeri
adalah sebagai berikut:
Lapisan Penghasilan Kena Pajak
|
Tarif Pajak
|
sampai dengan Rp50.000.000,00
(lima puluh juta rupiah)
|
5%
(lima persen)
|
di atas Rp50.000.000,00 (lima puluh
juta rupiah) sampai dengan
Rp250.000.000,00 (dua ratus lima
puluh juta rupiah)
|
15%
(lima belas persen)
|
di atas Rp250.000.000,00 (dua ratus
lima puluh juta rupiah) sampai
dengan Rp500.000.000,00 (lima ratus
juta rupiah)
|
25%
(dua puluh lima persen)
|
di atas Rp500.000.000,00 (lima ratus
juta rupiah)
|
30%
(tiga puluh persen)
|
b. Wajib Pajak badan dalam negeri dan bentuk usaha
tetap adalah sebesar 28% (dua puluh delapan persen).
(2) Tarif tertinggi sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) huruf a dapat diturunkan menjadi paling rendah 25% (dua puluh lima
persen) yang diatur dengan Peraturan Pemerintah.
(2a) Tarif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf
b menjadi 25% (dua puluh lima persen) yang mulai berlaku sejak tahun pajak
2010.
(2b) Wajib Pajak badan dalam negeri yang berbentuk perseroan
terbuka yang paling sedikit 40% (empat puluh persen) dari jumlah keseluruhan
saham yang disetor diperdagangkan di bursa efek di Indonesia dan memenuhi
persyaratan tertentu lainnya dapat memperoleh tarif sebesar 5% (lima persen)
lebih rendah daripada tarif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b dan ayat
(2a) yang diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Pemerintah.
(2c) Tarif yang dikenakan atas penghasilan berupa
dividen yang dibagikan kepada Wajib Pajak orang pribadi dalam negeri adalah
paling tinggi sebesar 10% (sepuluh persen) dan bersifat final.
(2d) Ketentuan lebih lanjut mengenai besarnya tarif sebagaimana
dimaksud pada ayat (2c) diatur dengan Peraturan Pemerintah.
(3) Besarnya lapisan Penghasilan Kena Pajak
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a dapat diubah dengan Keputusan
Menteri Keuangan.
(4) Untuk keperluan penerapan tarif pajak
sebagaimana dimaksud pada ayat (1), jumlah Penghasilan Kena Pajak dibulatkan ke
bawah dalam ribuan rupiah penuh.
(5) Besarnya pajak yang terutang bagi Wajib Pajak
orang pribadi dalam negeri yang terutang pajak dalam bagian tahun pajak
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16 ayat (4), dihitung sebanyak jumlah hari
dalam bagian tahun pajak tersebut dibagi 360 (tiga ratus enam puluh) dikalikan
dengan pajak yang terutang untuk 1 (satu) tahun pajak.
(6) Untuk keperluan penghitungan pajak
sebagaimana dimaksud pada ayat (5), tiap bulan yang penuh dihitung 30 (tiga
puluh) hari.
(7) Dengan Peraturan Pemerintah dapat ditetapkan
tarif pajak tersendiri atas penghasilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat
(2), sepanjang tidak melebihi tarif pajak tertinggi sebagaimana tersebut pada
ayat (1).
14. Ketentuan Pasal 18 ayat (2), ayat (3), ayat
(4), dan Penjelasan ayat (1) diubah serta di antara ayat (3a) dan ayat (4) disisipkan
4 (empat) ayat, yakni ayat (3b) sampai dengan ayat (3e) sehingga Pasal 18
berbunyi sebagai berikut:
Pasal
18
(1) Menteri Keuangan berwenang mengeluarkan keputusan
mengenai besarnya perbandingan antara utang dan modal perusahaan untuk keperluan
penghitungan pajak berdasarkan Undang-undang ini.
(2) Menteri Keuangan berwenang menetapkan saat diperolehnya
dividen oleh Wajib Pajak dalam negeri atas penyertaan modal pada badan usaha di
luar negeri selain badan usaha yang menjual sahamnya di bursa efek, dengan
ketentuan sebagai berikut:
a. besarnya penyertaan modal Wajib Pajak
dalam negeri tersebut paling rendah 50% (lima puluh persen) dari jumlah saham
yang disetor; atau
b. secara bersama-sama dengan Wajib Pajak
dalam negeri lainnya memiliki penyertaan modal paling rendah 50% (lima puluh
persen) dari jumlah saham yang disetor.
(3) Direktur Jenderal Pajak berwenang untuk menentukan
kembali besarnya penghasilan dan pengurangan serta menentukan utang sebagai
modal untuk menghitung besarnya Penghasilan Kena Pajak bagi Wajib Pajak yang
mempunyai hubungan istimewa dengan Wajib Pajak lainnya sesuai dengan kewajaran dan
kelaziman usaha yang tidak dipengaruhi oleh hubungan istimewa dengan
menggunakan metode perbandingan harga antara pihak yang independen, metode
harga penjualan kembali, metode biaya-plus, atau metode lainnya.
(3a) Direktur Jenderal Pajak berwenang melakukan perjanjian
dengan Wajib Pajak dan bekerja sama dengan pihak otoritas pajak negara lain
untuk menentukan harga transaksi antar pihak-pihak yang mempunyai hubungan
istimewa sebagaimana dimaksud dalam ayat (4), yang berlaku selama suatu periode
tertentu dan mengawasi pelaksanaannya serta melakukan renegosiasi setelah
periode tertentu tersebut berakhir.
(3b) Wajib Pajak yang melakukan pembelian saham atau
aktiva perusahaan melalui pihak lain atau badan yang dibentuk untuk maksud
demikian (special purpose company), dapat
ditetapkan sebagai pihak yang sebenarnya melakukan pembelian tersebut sepanjang
Wajib Pajak yang bersangkutan mempunyai hubungan istimewa dengan pihak lain
atau badan tersebut dan terdapat ketidakwajaran penetapan harga.
(3c) Penjualan atau pengalihan saham perusahaan
antara (conduit company atau special
purpose company) yang didirikan atau bertempat kedudukan di negara yang memberikan
perlindungan pajak (tax haven country) yang
mempunyai hubungan istimewa dengan badan yang didirikan atau bertempat
kedudukan di Indonesia atau bentuk usaha tetap di Indonesia dapat ditetapkan sebagai
penjualan atau pengalihan saham badan yang didirikan atau bertempat kedudukan
di Indonesia atau bentuk usaha tetap di Indonesia.
(3d) Besarnya penghasilan yang diperoleh Wajib Pajak
orang pribadi dalam negeri dari pemberi kerja yang memiliki hubungan istimewa
dengan perusahaan lain yang tidak didirikan dan tidak bertempat kedudukan di
Indonesia dapat ditentukan kembali, dalam hal pemberi kerja mengalihkan seluruh
atau sebagian penghasilan Wajib Pajak orang pribadi dalam negeri tersebut ke
dalam bentuk biaya atau pengeluaran lainnya yang dibayarkan kepada perusahaan
yang tidak didirikan dan tidak bertempat kedudukan di Indonesia tersebut.
(3e) Pelaksanaan ketentuan sebagaimana dimaksud pada
ayat (3b), ayat (3c), dan ayat (3d) diatur lebih lanjut dengan atau berdasarkan
Peraturan Menteri Keuangan.
(4) Hubungan istimewa sebagaimana dimaksud pada
ayat (3) sampai dengan ayat (3d), Pasal 9 ayat (1) huruf f, dan Pasal 10 ayat
(1) dianggap ada apabila:
a. Wajib Pajak mempunyai penyertaan modal langsung
atau tidak langsung paling rendah 25% (dua puluh lima persen) pada Wajib Pajak
lain; hubungan antara Wajib Pajak dengan penyertaan paling rendah 25% (dua
puluh lima persen) pada dua Wajib Pajak atau lebih; atau hubungan di antara dua
Wajib Pajak atau lebih yang disebut terakhir;
b. Wajib Pajak menguasai Wajib Pajak lainnya
atau dua atau lebih Wajib Pajak berada di bawah penguasaan yang sama baik
langsung maupun tidak langsung; atau
c. terdapat hubungan keluarga baik sedarah maupun
semenda dalam garis keturunan lurus dan/atau ke samping satu derajat.
(5) Dihapus.
15. Ketentuan Pasal 19 ayat (2) diubah sehingga
Pasal 19 berbunyi sebagai berikut:
Pasal
19
(1) Menteri Keuangan berwenang menetapkan
peraturan tentang penilaian kembali aktiva dan faktor penyesuaian apabila
terjadi ketidaksesuaian antara unsur-unsur biaya dengan penghasilan karena perkembangan
harga.
(2) Atas selisih penilaian kembali aktiva
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diterapkan tarif pajak tersendiri dengan
Peraturan Menteri Keuangan sepanjang tidak melebihi tarif pajak tertinggi sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 17 ayat (1).
16. Ketentuan Pasal 21 ayat (1) sampai dengan
ayat (5), dan ayat (8) diubah, serta di antara ayat (5) dan ayat (6) disisipkan
1 (satu) ayat, yakni ayat (5a) sehingga Pasal 21 berbunyi sebagai berikut:
Pasal
21
(1) Pemotongan pajak atas penghasilan sehubungan dengan
pekerjaan, jasa, atau kegiatan dengan nama dan dalam bentuk apa pun yang
diterima atau diperoleh Wajib Pajak orang pribadi dalam negeri wajib dilakukan
oleh:
a. pemberi kerja yang membayar gaji, upah, honorarium,
tunjangan, dan pembayaran lain sebagai imbalan sehubungan dengan pekerjaan yang
dilakukan oleh pegawai atau bukan pegawai;
b. bendahara pemerintah yang membayar gaji,
upah, honorarium, tunjangan, dan pembayaran lain sehubungan dengan pekerjaan,
jasa, atau kegiatan;
c. dana pensiun atau badan lain yang
membayarkan uang pensiun dan pembayaran lain dengan nama apa pun dalam rangka
pensiun;
d. badan yang membayar honorarium atau pembayaran
lain sebagai imbalan sehubungan dengan jasa termasuk jasa tenaga ahli yang melakukan
pekerjaan bebas; dan
e. penyelenggara kegiatan yang melakukan pembayaran
sehubungan dengan pelaksanaan suatu kegiatan.
(2) Tidak termasuk sebagai pemberi kerja yang
wajib melakukan pemotongan pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a
adalah kantor perwakilan negara asing dan organisasi-organisasi internasional sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 3.
(3) Penghasilan pegawai tetap atau pensiunan yang
dipotong pajak untuk setiap bulan adalah jumlah penghasilan bruto setelah
dikurangi dengan biaya jabatan atau biaya pensiun yang besarnya ditetapkan dengan
Peraturan Menteri Keuangan, iuran pensiun, dan Penghasilan Tidak Kena Pajak.
(4) Penghasilan pegawai harian, mingguan, serta
pegawai tidak tetap lainnya yang dipotong pajak adalah jumlah penghasilan bruto
setelah dikurangi bagian penghasilan yang tidak dikenakan pemotongan yang besarnya
ditetapkan dengan Peraturan Menteri Keuangan.
(5) Tarif pemotongan atas penghasilan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) adalah tarif pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17
ayat (1) huruf a, kecuali ditetapkan lain dengan Peraturan Pemerintah.
(5a) Besarnya tarif sebagaimana dimaksud pada ayat
(5) yang diterapkan terhadap Wajib Pajak yang tidak memiliki Nomor Pokok Wajib
Pajak lebih tinggi 20% (dua puluh persen) daripada tarif yang diterapkan terhadap
Wajib Pajak yang dapat menunjukkan Nomor Pokok Wajib Pajak.
(6) Dihapus.
(7) Dihapus.
(8) Ketentuan mengenai petunjuk pelaksanaan pemotongan
pajak atas penghasilan sehubungan dengan pekerjaan, jasa, atau kegiatan diatur
dengan atau berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan.
17. Ketentuan Pasal 22 ayat (1) dan ayat (2)
diubah, serta ditambah 1 (satu) ayat, yakni ayat (3) sehingga Pasal 22 berbunyi
sebagai berikut:
Pasal
22
(1) Menteri Keuangan dapat menetapkan:
a. bendahara pemerintah untuk memungut pajak sehubungan
dengan pembayaran atas penyerahan barang;
b. badan-badan tertentu untuk memungut pajak dari
Wajib Pajak yang melakukan kegiatan di bidang impor atau kegiatan usaha di
bidang lain;
dan
c. Wajib Pajak badan tertentu untuk memungut pajak
dari pembeli atas penjualan barang yang tergolong sangat mewah.
(2) Ketentuan mengenai dasar pemungutan,
kriteria, sifat, dan besarnya pungutan pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan.
(3) Besarnya pungutan sebagaimana dimaksud pada
ayat (2) yang diterapkan terhadap Wajib Pajak yang tidak memiliki Nomor Pokok
Wajib Pajak lebih tinggi 100% (seratus persen) daripada tarif yang diterapkan terhadap
Wajib Pajak yang dapat menunjukkan Nomor Pokok Wajib Pajak.
18. Ketentuan Pasal 23 ayat (1), ayat (2), dan
ayat (4) huruf c diubah, ayat (4) huruf d dan huruf g dihapus dan ditambah 1
(satu) huruf, yakni huruf h, serta di antara ayat (1) dan ayat (2) disisipkan 1
(satu) ayat, yakni ayat (1a) sehingga Pasal 23 berbunyi sebagai berikut:
Pasal
23
(1) Atas penghasilan tersebut di bawah ini dengan
nama dan dalam bentuk apa pun yang dibayarkan, disediakan untuk dibayarkan,
atau telah jatuh tempo pembayarannya oleh badan pemerintah, subjek pajak badan
dalam negeri, penyelenggara kegiatan, bentuk usaha tetap, atau perwakilan
perusahaan luar negeri lainnya kepada Wajib Pajak dalam negeri atau bentuk usaha
tetap, dipotong pajak oleh pihak yang wajib membayarkan:
a. sebesar 15% (lima belas persen) dari jumlah
bruto atas:
1. dividen sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat
(1) huruf g;
2. bunga sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat
(1) huruf f;
3. royalti; dan
4. hadiah, penghargaan, bonus, dan sejenisnya selain
yang telah dipotong Pajak Penghasilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 ayat (1)
huruf e;
b. dihapus;
c. sebesar 2% (dua persen) dari jumlah bruto
atas:
1. sewa dan penghasilan lain sehubungan dengan
penggunaan harta, kecuali sewa dan penghasilan lain sehubungan dengan penggunaan
harta yang telah dikenai Pajak Penghasilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4
ayat (2); dan
2. imbalan sehubungan dengan jasa teknik, jasa manajemen,
jasa konstruksi, jasa konsultan, dan jasa lain selain jasa yang telah dipotong Pajak
Penghasilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21.
(1a) Dalam hal Wajib Pajak yang menerima atau memperoleh
penghasilan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak memiliki Nomor Pokok Wajib
Pajak, besarnya tarif pemotongan adalah lebih tinggi 100% (seratus persen)
daripada tarif sebagaimana dimaksud pada ayat (1).
(2) Ketentuan lebih lanjut mengenai jenis jasa
lain sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c angka 2 diatur dengan atau
berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan.
(3) Orang pribadi sebagai Wajib Pajak dalam
negeri dapat ditunjuk oleh Direktur Jenderal Pajak untuk memotong pajak
sebagaimana dimaksud pada ayat (1).
(4) Pemotongan pajak sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) tidak dilakukan atas:
a. penghasilan yang dibayar atau terutang
kepada bank;
b. sewa yang dibayarkan atau terutang
sehubungan dengan sewa guna usaha dengan hak opsi;
c. dividen sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4
ayat (3) huruf f dan dividen yang diterima oleh orang pribadi sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 17 ayat (2c);
d. dihapus;
e. bagian laba sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 4 ayat (3) huruf i;
f. sisa hasil usaha koperasi yang dibayarkan
oleh koperasi kepada anggotanya;
g. dihapus; dan
h. penghasilan yang dibayar atau terutang
kepada badan usaha atas jasa keuangan yang berfungsi sebagai penyalur pinjaman
dan/atau pembiayaan yang diatur dengan Peraturan Menteri Keuangan.
19. Ketentuan Pasal 24 ayat (3) dan ayat (6)
diubah sehingga Pasal 24 berbunyi sebagai berikut:
Pasal
24
(1) Pajak yang dibayar atau terutang di luar
negeri atas penghasilan dari luar negeri yang diterima atau diperoleh Wajib
Pajak dalam negeri boleh dikreditkan terhadap pajak yang terutang berdasarkan
Undangundang ini dalam tahun pajak yang sama.
(2) Besarnya kredit pajak sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) adalah sebesar pajak penghasilan yang dibayar atau terutang di
luar negeri tetapi tidak boleh melebihi penghitungan pajak yang terutang berdasarkan
Undang-undang ini.
(3) Dalam menghitung batas jumlah pajak yang
boleh dikreditkan, sumber penghasilan ditentukan sebagai berikut:
a. penghasilan dari saham dan sekuritas
lainnya serta keuntungan dari pengalihan saham dan sekuritas lainnya adalah
negara tempat badan yang menerbitkan saham atau sekuritas tersebut didirikan
atau bertempat kedudukan;
b. penghasilan berupa bunga, royalti, dan
sewa sehubungan dengan penggunaan harta gerak adalah negara tempat pihak yang
membayar atau dibebani bunga, royalti, atau sewa tersebut bertempat kedudukan
atau berada;
c. penghasilan berupa sewa sehubungan dengan penggunaan
harta tak gerak adalah negara tempat harta tersebut terletak;
d. penghasilan berupa imbalan sehubungan
dengan jasa, pekerjaan, dan kegiatan adalah negara tempat pihak yang membayar
atau dibebani imbalan tersebut bertempat kedudukan atau berada;
e. penghasilan bentuk usaha tetap adalah
negara tempat bentuk usaha tetap tersebut menjalankan usaha atau melakukan
kegiatan;
f. penghasilan dari pengalihan sebagian atau seluruh
hak penambangan atau tanda turut serta dalam pembiayaan atau permodalan dalam perusahaan
pertambangan adalah negara tempat lokasi penambangan berada;
g. keuntungan karena pengalihan harta tetap
adalah negara tempat harta tetap berada; dan
h. keuntungan karena pengalihan harta yang menjadi
bagian dari suatu bentuk usaha tetap adalah negara tempat bentuk usaha tetap
berada.
(4) Penentuan sumber penghasilan selain
penghasilan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) menggunakan prinsip yang sama
dengan prinsip yang dimaksud pada ayat tersebut.
(5) Apabila pajak atas penghasilan dari luar
negeri yang dikreditkan ternyata kemudian dikurangkan atau dikembalikan, maka
pajak yang terutang menurut Undang-undang ini harus ditambah dengan jumlah tersebut
pada tahun pengurangan atau pengembalian itu dilakukan.
(6) Ketentuan mengenai pelaksanaan pengkreditan
pajak atas penghasilan dari luar negeri diatur dengan atau berdasarkan
Peraturan Menteri Keuangan.
20. Ketentuan Pasal 25 ayat (1), ayat (2), ayat
(4), ayat (6), ayat (7), dan ayat (8) diubah, ayat (9) dihapus, serta di antara
ayat (8) dan ayat (9) disisipkan 1 (satu) ayat, yakni ayat (8a) sehingga Pasal
25 berbunyi sebagai berikut:
Pasal
25
(1) Besarnya angsuran pajak dalam tahun pajak
berjalan yang harus dibayar sendiri oleh Wajib Pajak untuk setiap bulan adalah
sebesar Pajak Penghasilan yang terutang menurut Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak
Penghasilan tahun pajak yang lalu dikurangi dengan:
a. Pajak Penghasilan yang dipotong sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 21 dan Pasal 23 serta Pajak Penghasilan yang dipungut sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 22; dan
b. Pajak Penghasilan yang dibayar atau terutang
di luar negeri yang boleh dikreditkan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24, dibagi
12 (dua belas) atau banyaknya bulan dalam bagian tahun pajak.
(2) Besarnya angsuran pajak yang harus dibayar
sendiri oleh Wajib Pajak untuk bulan-bulan sebelum Surat Pemberitahuan Tahunan
Pajak Penghasilan disampaikan sebelum batas waktu penyampaian Surat Pemberitahuan
Tahunan Pajak Penghasilan sama dengan besarnya angsuran pajak untuk bulan
terakhir tahun pajak yang lalu.
(3) Dihapus.
(4) Apabila dalam tahun pajak berjalan
diterbitkan surat ketetapan pajak untuk tahun pajak yang lalu, besarnya
angsuran pajak dihitung kembali berdasarkan surat ketetapan pajak tersebut dan berlaku
mulai bulan berikutnya setelah bulan penerbitan surat ketetapan pajak.
(5) Dihapus.
(6) Direktur Jenderal Pajak berwenang untuk
menetapkan penghitungan besarnya angsuran pajak dalam tahun pajak berjalan
dalam hal-hal tertentu, sebagai berikut:
a. Wajib Pajak berhak atas kompensasi
kerugian;
b. Wajib Pajak memperoleh penghasilan tidak teratur;
c. Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak
Penghasilan tahun yang lalu disampaikan setelah lewat batas waktu yang
ditentukan;
d. Wajib Pajak diberikan perpanjangan jangka
waktu penyampaian Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan;
e. Wajib Pajak membetulkan sendiri Surat Pemberitahuan
Tahunan Pajak Penghasilan yang mengakibatkan angsuran bulanan lebih besar dari
angsuran bulanan sebelum pembetulan; dan
f. terjadi perubahan keadaan usaha atau
kegiatan Wajib Pajak.
(7) Menteri Keuangan menetapkan penghitungan besarnya
angsuran pajak bagi:
a. Wajib Pajak baru;
b. bank, badan usaha milik negara, badan
usaha milik daerah, Wajib Pajak masuk bursa, dan Wajib Pajak lainnya yang
berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan harus membuat laporan
keuangan berkala; dan
c. Wajib Pajak orang pribadi pengusaha
tertentu dengan tarif paling tinggi 0,75% (nol koma tujuh puluh lima persen)
dari peredaran bruto.
(8) Wajib Pajak orang pribadi dalam negeri yang
tidak memiliki Nomor Pokok Wajib Pajak dan telah berusia 21 (dua puluh satu)
tahun yang bertolak ke luar negeri wajib membayar pajak yang ketentuannya
diatur dengan Peraturan Pemerintah.
(8a) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (8) berlaku
sampai dengan tanggal 31 Desember 2010.
(9) Dihapus.
21. Ketentuan Pasal 26 ayat (1) diubah dan
ditambah 2 (dua) huruf, yakni huruf g dan huruf h, ayat (2) sampai dengan ayat
(5) diubah, di antara ayat (1) dan ayat (2) disisipkan 1 (satu) ayat, yakni
ayat (1a), serta di antara ayat (2) dan ayat (3) disisipkan 1 (satu) ayat,
yakni ayat (2a) sehingga Pasal 26 berbunyi sebagai berikut:
Pasal
26
(1) Atas penghasilan tersebut di bawah ini,
dengan nama dan dalam bentuk apa pun, yang dibayarkan, disediakan untuk
dibayarkan, atau telah jatuh tempo pembayarannya oleh badan pemerintah, subjek
pajak dalam negeri, penyelenggara kegiatan, bentuk usaha tetap, atau perwakilan
perusahaan luar negeri lainnya kepada Wajib Pajak luar negeri selain bentuk
usaha tetap di Indonesia dipotong pajak sebesar 20% (dua puluh persen) dari
jumlah bruto oleh pihak yang wajib membayarkan:
a. dividen;
b. bunga termasuk premium, diskonto, dan
imbalan sehubungan dengan jaminan pengembalian utang;
c. royalti, sewa, dan penghasilan lain
sehubungan dengan penggunaan harta;
d. imbalan sehubungan dengan jasa, pekerjaan,
dan kegiatan;
e. hadiah dan penghargaan;
f. pensiun dan pembayaran berkala lainnya;
g. premi swap dan transaksi lindung nilai
lainnya;
dan/atau
h. keuntungan karena pembebasan utang.
(1a) Negara domisili dari Wajib Pajak luar negeri
selain yang menjalankan usaha atau melakukan kegiatan usaha melalui bentuk
usaha tetap di Indonesia sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah negara tempat
tinggal atau tempat kedudukan Wajib Pajak luar negeri yang sebenarnya menerima
manfaat dari penghasilan tersebut (beneficial owner).
(2) Atas penghasilan dari penjualan atau
pengalihan harta di Indonesia, kecuali yang diatur dalam Pasal 4 ayat (2), yang
diterima atau diperoleh Wajib Pajak luar negeri selain bentuk usaha tetap di
Indonesia, dan premi asuransi yang dibayarkan kepada perusahaan asuransi luar
negeri dipotong pajak 20% (dua puluh persen) dari perkiraan penghasilan neto.
(2a) Atas penghasilan dari penjualan atau pengalihan
saham sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18 ayat (3c) dipotong pajak sebesar 20%
(dua puluh persen) dari perkiraan penghasilan neto.
(3) Pelaksanaan ketentuan sebagaimana dimaksud
pada ayat (2) dan ayat (2a) diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Menteri
Keuangan.
(4) Penghasilan Kena Pajak sesudah dikurangi
pajak dari suatu bentuk usaha tetap di Indonesia dikenai pajak sebesar 20% (dua
puluh persen), kecuali penghasilan tersebut ditanamkan kembali di Indonesia,
yang ketentuannya diatur lebih lanjut dengan atau berdasarkan Peraturan Menteri
Keuangan.
(5) Pemotongan pajak sebagaimana dimaksud pada
ayat (1), ayat (2), ayat (2a), dan ayat (4) bersifat final, kecuali:
a. pemotongan atas penghasilan sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 5 ayat (1) huruf b dan huruf c; dan
b. pemotongan atas penghasilan yang diterima
atau diperoleh orang pribadi atau badan luar negeri yang berubah status menjadi
Wajib Pajak dalam negeri atau bentuk usaha tetap.
22. Ketentuan Pasal 29 diubah sehingga berbunyi
sebagai berikut:
Pasal
29
Apabila pajak yang terutang untuk suatu tahun pajak ternyata
lebih besar daripada kredit pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28 ayat (1),
kekurangan pembayaran pajak yang terutang harus dilunasi sebelum Surat Pemberitahuan
Tahunan Pajak Penghasilan disampaikan.
23. Ketentuan Pasal 31A diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:
Pasal
31A
(1) Kepada Wajib Pajak yang melakukan penanaman
modal di bidang-bidang usaha tertentu dan/atau di daerahdaerah tertentu yang
mendapat prioritas tinggi dalam skala nasional dapat diberikan fasilitas
perpajakan dalam bentuk:
a. pengurangan penghasilan neto paling tinggi
30% (tiga puluh persen) dari jumlah penanaman yang dilakukan;
b. penyusutan dan amortisasi yang dipercepat;
c. kompensasi kerugian yang lebih lama, tetapi
tidak lebih dari 10 (sepuluh) tahun; dan
d. pengenaan Pajak Penghasilan atas dividen sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 26 sebesar 10% (sepuluh persen), kecuali apabila tarif
menurut perjanjian perpajakan yang berlaku menetapkan lebih rendah.
(2) Ketentuan lebih lanjut mengenai
bidang-bidang usaha tertentu dan/atau daerah-daerah tertentu yang mendapat
prioritas tinggi dalam skala nasional serta pemberian fasilitas perpajakan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Pemerintah.
24. Pasal 31B dihapus.
25. Ketentuan Pasal 31C ayat (2) dihapus sehingga Pasal 31C berbunyi
sebagai berikut:
Pasal
31C
(1) Penerimaan negara dari Pajak Penghasilan
orang pribadi dalam negeri dan Pajak Penghasilan Pasal 21 yang dipotong oleh
pemberi kerja dibagi dengan imbangan 80% untuk Pemerintah Pusat dan 20% untuk Pemerintah
Daerah tempat Wajib Pajak terdaftar.
(2) Dihapus.
26. Di antara Pasal 31C dan Pasal 32
disisipkan 2 (dua) pasal, yakni Pasal 31D dan Pasal 31E sehingga berbunyi
sebagai berikut:
Pasal
31D
Ketentuan mengenai perpajakan bagi bidang usaha pertambangan
minyak dan gas bumi, bidang usaha panas bumi, bidang usaha pertambangan umum
termasuk batubara, dan bidang usaha berbasis syariah diatur dengan atau
berdasarkan Peraturan Pemerintah.
Pasal
31E
(1) Wajib Pajak badan dalam negeri dengan
peredaran bruto sampai dengan Rp50.000.000.000,00 (lima puluh miliar rupiah)
mendapat fasilitas berupa pengurangan tarif sebesar 50% (lima puluh persen)
dari tarif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 ayat (1) huruf b dan ayat (2a)
yang dikenakan atas Penghasilan Kena Pajak dari bagian peredaran bruto sampai
dengan Rp4.800.000.000,00 (empat miliar delapan ratus juta rupiah).
(2) Besarnya bagian peredaran bruto sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) dapat dinaikkan dengan Peraturan Menteri Keuangan.
27. Ketentuan Pasal 32 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:
Pasal
32
Tata cara pengenaan pajak dan sanksi-sanksi berkenaan dengan
pelaksanaan Undang-Undang ini dilakukan sesuai dengan Undang-Undang Nomor 6
Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan sebagaimana telah
beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2007 tentang
Perubahan Ketiga atas Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum
dan Tata Cara Perpajakan.
28. Di antara Pasal 32A dan Pasal 33 disisipkan 1 (satu)
pasal, yakni Pasal 32B sehingga berbunyi sebagai berikut:
Pasal
32B
Ketentuan mengenai pengenaan pajak atas bunga atau diskonto
Obligasi Negara yang diperdagangkan di negara lain berdasarkan perjanjian
perlakuan timbal balik dengan negara lain tersebut diatur dengan Peraturan
Pemerintah.
29. Ketentuan Pasal 35 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:
Pasal
35
Hal-hal yang belum cukup diatur dalam rangka pelaksanaan Undang-Undang
ini diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah.
Pasal
II
Pada saat Undang-Undang ini mulai berlaku:
1. Wajib Pajak yang tahun bukunya berakhir
setelah tanggal 30 Juni 2001 wajib menghitung pajaknya berdasarkan ketentuan
sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak
Penghasilan sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang
Nomor 17 Tahun 2000 tentang Perubahan Ketiga atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun
1983 tentang Pajak Penghasilan.
2. Wajib Pajak yang tahun bukunya berakhir
setelah tanggal 30 Juni 2009 wajib menghitung pajaknya berdasarkan ketentuan
sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 sebagaimana telah
beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang ini.
Undang-Undang ini mulai berlaku pada tanggal 1 Januari 2009.
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan
Undang-Undang ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik
Indonesia.
Disahkan di Jakarta
pada tanggal 23 September 2008
PRESIDEN
REPUBLIK INDONESIA,
ttd
DR. H.
SUSILO BAMBANG YUDHOYONO
Diundangkan di Jakarta
pada tanggal 23 September 2008
MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA
REPUBLIK INDONESIA,
ttd
ANDI MATTALATTA
LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2008 NOMOR 133
PENJELASAN
ATAS
UNDANG-UNDANG
REPUBLIK INDONESIA
NOMOR
36 TAHUN 2008
TENTANG
PERUBAHAN
KEEMPAT ATAS UNDANG-UNDANG
NOMOR
7 TAHUN 1983 TENTANG PAJAK PENGHASILAN
I. UMUM
1. Peraturan perundang-undangan perpajakan yang
mengatur tentang Pajak Penghasilan yang berlaku sejak 1 Januari 1984 adalah
Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan sebagaimana telah
beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2000 tentang
Perubahan Ketiga atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak
Penghasilan. Undang-Undang Pajak Penghasilan ini dilandasi falsafah Pancasila
dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang di dalamnya
tertuang ketentuan yang menjunjung tinggi hak warga negara dan menempatkan kewajiban
perpajakan sebagai kewajiban kenegaraan dan merupakan sarana peran serta rakyat
dalam pembiayaan negara dan pembangunan nasional.
2. Dengan pesatnya perkembangan sosial ekonomi
sebagai hasil pembangunan nasional dan globalisasi serta reformasi di berbagai bidang
dipandang perlu untuk dilakukan perubahan Undang-Undang tersebut guna
meningkatkan fungsi dan peranannya dalam rangka mendukung kebijakan pembangunan
nasional khususnya di bidang ekonomi.
3. Perubahan Undang-Undang Pajak Penghasilan
dimaksud tetap berpegang pada prinsip-prinsip perpajakan yang dianut secara
universal, yaitu keadilan, kemudahan, dan efisiensi administrasi, serta peningkatan
dan optimalisasi penerimaan negara dengan tetap mempertahankan sistem self
assessment. Oleh karena itu, arah dan tujuan penyempurnaan
Undang-Undang Pajak Penghasilan ini adalah sebagai berikut:
a. lebih meningkatkan keadilan pengenaan pajak;
b. lebih memberikan kemudahan kepada Wajib Pajak;
c. lebih memberikan kesederhanaan administrasi
perpajakan;
d. lebih memberikan kepastian hukum, konsistensi,
dan transparansi;
dan
e. lebih menunjang kebijakan pemerintah dalam
rangka meningkatkan daya saing dalam menarik investasi langsung di Indonesia
baik penanaman modal asing maupun penanaman modal dalam negeri di bidang-bidang
usaha tertentu dan daerah-daerah tertentu yang mendapat prioritas.
4. Dengan berlandaskan pada arah dan tujuan
penyempurnaan tersebut perlu dilakukan perubahan Undang-Undang Nomor 7 Tahun
1983 tentang Pajak Penghasilan sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir
dengan Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2000 tentang Perubahan Ketiga atas
Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan meliputi pokok-pokok
sebagai berikut:
a. dalam rangka meningkatkan keadilan pengenaan
pajak maka dilakukan perluasan subjek dan objek pajak dalam hal-hal tertentu dan
pembatasan pengecualian atau pembebasan pajak dalam hal lainnya;
b. dalam rangka meningkatkan daya saing dengan
negera-negara lain, mengedepankan prinsip keadilan dan netralitas dalam
penetapan tarif, dan memberikan dorongan bagi berkembangnya usaha-usaha kecil,
struktur tarif pajak yang berlaku juga perlu diubah dan disederhanakan yang
meliputi penurunan tarif secara bertahap, terencana, pembedaan tarif, serta
penyederhanaan lapisan yang dimaksudkan untuk memberikan beban pajak yang lebih
proporsional bagi tiap-tiap golongan Wajib Pajak tersebut; dan
c. untuk lebih memberikan kemudahan kepada Wajib
Pajak, sistem self assessment tetap dipertahankan dan diperbaiki. Perbaikan
terutama dilakukan pada sistem pelaporan dan tata cara pembayaran pajak dalam
tahun berjalan agar tidak mengganggu likuiditas Wajib Pajak dan lebih sesuai
dengan perkiraan pajak yang akan terutang. Bagi Wajib Pajak orang pribadi yang
menjalankan usaha atau pekerjaan bebas, kemudahan yang diberikan berupa
peningkatan batas peredaran bruto untuk dapat menggunakan norma penghitungan penghasilan
neto. Peningkatan batas peredaran bruto untuk menggunakan norma ini sejalan
dengan realitas dunia usaha saat ini yang makin berkembang tanpa melupakan
usaha dan pembinaan Wajib Pajak agar dapat melaksanakan pembukuan dengan tertib
dan taat asas.
II. PASAL DEMI PASAL
Pasal I
Angka 1
Pasal 1
Undang-Undang ini mengatur pengenaan Pajak Penghasilan terhadap
subjek pajak berkenaan dengan penghasilan yang diterima atau diperolehnya dalam
tahun pajak. Subjek pajak tersebut dikenai pajak apabila menerima atau
memperoleh penghasilan. Subjek pajak yang menerima atau memperoleh penghasilan,
dalam Undang-Undang ini disebut Wajib Pajak. Wajib Pajak dikenai pajak atas
penghasilan yang diterima atau diperolehnya selama satu tahun pajak atau dapat
pula dikenai pajak untuk penghasilan dalam bagian tahun pajak apabila kewajiban
pajak subjektifnya dimulai atau berakhir dalam tahun pajak.
Yang dimaksud dengan “tahun pajak” dalam Undang-Undang ini adalah
tahun kalender, tetapi Wajib Pajak dapat menggunakan tahun buku yang tidak sama
dengan tahun kalender, sepanjang tahun buku tersebut meliputi jangka waktu 12
(dua belas) bulan.
Angka 2
Pasal 2
Ayat (1)
Huruf a
Orang pribadi sebagai subjek pajak dapat bertempat tinggal atau
berada di Indonesia ataupun di luar Indonesia. Warisan yang belum terbagi
sebagai satu kesatuan merupakan subjek pajak pengganti, menggantikan mereka
yang berhak yaitu ahli waris. Penunjukan warisan yang belum terbagi sebagai
subjek pajak pengganti dimaksudkan agar pengenaan pajak atas penghasilan yang
berasal dari warisan tersebut tetap dapat dilaksanakan.
Huruf b
Badan adalah sekumpulan orang dan/atau modal yang merupakan
kesatuan baik yang melakukan usaha maupun yang tidak melakukan usaha yang
meliputi perseroan terbatas, perseroan komanditer, perseroan lainnya, badan usaha
milik negara atau badan usaha milik daerah dengan nama dan dalam bentuk apa
pun, firma, kongsi, koperasi, dana pensiun, persekutuan, perkumpulan, yayasan, organisasi
massa, organisasi sosial politik, atau organisasi lainnya, lembaga, dan bentuk
badan lainnya termasuk kontrak investasi kolektif dan bentuk usaha tetap.
Badan usaha milik negara dan badan usaha milik daerah merupakan
subjek pajak tanpa memperhatikan nama dan bentuknya sehingga setiap unit
tertentu dari badan Pemerintah, misalnya lembaga, badan, dan sebagainya yang dimiliki
oleh Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah yang menjalankan usaha atau
melakukan kegiatan untuk memperoleh penghasilan merupakan subjek pajak.
Dalam pengertian perkumpulan termasuk pula asosiasi, persatuan,
perhimpunan, atau ikatan dari pihak-pihak yang mempunyai kepentingan yang sama.
Huruf c
Cukup jelas.
Ayat (1a)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Subjek pajak dibedakan menjadi subjek pajak dalam negeri dan
subjek pajak luar negeri. Subjek pajak orang pribadi dalam negeri menjadi Wajib
Pajak apabila telah menerima atau memperoleh penghasilan yang besarnya melebihi
Penghasilan Tidak Kena Pajak. Subjek pajak badan dalam negeri menjadi Wajib
Pajak sejak saat didirikan, atau bertempat kedudukan di Indonesia. Subjek pajak
luar negeri baik orang pribadi maupun badan sekaligus menjadi Wajib Pajak
karena menerima dan/atau memperoleh penghasilan yang bersumber dari Indonesia
atau menerima dan/atau memperoleh penghasilan yang bersumber dari Indonesia
melalui bentuk usaha tetap di Indonesia. Dengan perkataan lain, Wajib Pajak
adalah orang pribadi atau badan yang telah memenuhi kewajiban subjektif dan
objektif. Sehubungan dengan pemilikan Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP), Wajib
Pajak orang pribadi yang menerima penghasilan di bawah Penghasilan Tidak Kena
Pajak (PTKP) tidak wajib mendaftarkan diri untuk memperoleh NPWP.
Perbedaan yang penting antara Wajib Pajak dalam negeri dan Wajib
Pajak luar negeri terletak dalam pemenuhan kewajiban pajaknya, antara lain:
a. Wajib Pajak dalam negeri dikenai pajak atas
penghasilan baik yang diterima atau diperoleh dari Indonesia maupun dari luar
Indonesia, sedangkan Wajib Pajak luar negeri dikenai pajak hanya atas
penghasilan yang berasal dari sumber penghasilan di Indonesia;
b. Wajib Pajak dalam negeri dikenai pajak
berdasarkan penghasilan neto dengan tarif umum, sedangkan Wajib Pajak luar
negeri dikenai pajak berdasarkan penghasilan bruto dengan tarif pajak sepadan;
dan
c. Wajib Pajak dalam negeri wajib menyampaikan
Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan sebagai sarana untuk menetapkan
pajak yang terutang dalam suatu tahun pajak, sedangkan Wajib Pajak luar negeri
tidak wajib menyampaikan Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan karena
kewajiban pajaknya dipenuhi melalui pemotongan pajak yang bersifat final.
Bagi Wajib Pajak luar negeri yang menjalankan usaha atau melakukan
kegiatan melalui bentuk usaha tetap di Indonesia, pemenuhan kewajiban
perpajakannya dipersamakan dengan pemenuhan kewajiban perpajakan Wajib Pajak
badan dalam negeri sebagaimana diatur dalam Undang-Undang ini dan Undang-Undang
yang mengatur mengenai ketentuan umum dan tata cara perpajakan.
Ayat (3)
Huruf a
Pada prinsipnya orang pribadi yang menjadi subjek pajak dalam
negeri adalah orang pribadi yang bertempat tinggal atau berada di Indonesia.
Termasuk dalam pengertian orang pribadi yang bertempat tinggal di Indonesia
adalah mereka yang mempunyai niat untuk bertempat tinggal di Indonesia.
Apakah seseorang mempunyai niat untuk bertempat tinggal di
Indonesia ditimbang menurut keadaan.
Keberadaan orang pribadi di Indonesia lebih dari 183 (seratus
delapan puluh tiga) hari tidaklah harus berturutturut, tetapi ditentukan oleh
jumlah hari orang tersebut berada di Indonesia dalam jangka waktu 12 (dua
belas) bulan sejak kedatangannya di Indonesia.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Warisan yang belum terbagi yang ditinggalkan oleh orang pribadi
subjek pajak dalam negeri dianggap sebagai subjek pajak dalam negeri dalam
pengertian Undang-Undang ini mengikuti status pewaris. Adapun untuk pelaksanaan
pemenuhan kewajiban perpajakannya, warisan tersebut menggantikan kewajiban ahli
waris yang berhak. Apabila warisan tersebut telah dibagi, kewajiban
perpajakannya beralih kepada ahli waris.
Warisan yang belum terbagi yang ditinggalkan oleh orang pribadi
sebagai subjek pajak luar negeri yang tidak menjalankan usaha atau melakukan
kegiatan melalui suatu bentuk usaha tetap di Indonesia, tidak dianggap sebagai subjek
pajak pengganti karena pengenaan pajak atas penghasilan yang diterima atau
diperoleh orang pribadi dimaksud melekat pada objeknya.
Ayat (4)
Huruf a dan huruf b
Subjek pajak luar negeri adalah orang pribadi atau badan yang
bertempat tinggal atau bertempat kedudukan di luar Indonesia yang dapat
menerima atau memperoleh penghasilan dari Indonesia, baik melalui maupun tanpa melalui
bentuk usaha tetap. Orang pribadi yang tidak bertempat tinggal di Indonesia,
tetapi berada di Indonesia tidak lebih dari 183 (seratus delapan puluh tiga)
hari dalam jangka waktu 12 (dua belas) bulan maka orang tersebut adalah subjek
pajak luar negeri.
Apabila penghasilan diterima atau diperoleh melalui bentuk usaha
tetap maka terhadap orang pribadi atau badan tersebut dikenai pajak melalui
bentuk usaha tetap. Orang pribadi atau badan tersebut, statusnya tetap sebagai
subjek pajak luar negeri. Dengan demikian, bentuk usaha tetap tersebut
menggantikan orang pribadi atau badan sebagai subjek pajak luar negeri dalam
memenuhi kewajiban perpajakannya di Indonesia. Dalam hal penghasilan tersebut diterima
atau diperoleh tanpa melalui bentuk usaha tetap maka pengenaan pajaknya
dilakukan langsung kepada subjek pajak luar negeri tersebut.
Ayat (5)
Suatu bentuk usaha tetap mengandung pengertian adanya suatu
tempat usaha (place of business) yaitu fasilitas
yang dapat berupa tanah dan gedung termasuk juga mesin-mesin, peralatan, gudang
dan komputer atau agen elektronik atau peralatan otomatis (automated
equipment) yang dimiliki, disewa, atau digunakan oleh penyelenggara
transaksi elektronik untuk menjalankan aktivitas usaha melalui internet.
Tempat usaha tersebut bersifat permanen dan digunakan untuk
menjalankan usaha atau melakukan kegiatan dari orang pribadi yang tidak
bertempat tinggal atau badan yang tidak didirikan dan tidak bertempat kedudukan
di Indonesia.
Pengertian bentuk usaha tetap mencakup pula orang pribadi atau
badan selaku agen yang kedudukannya tidak bebas yang bertindak untuk dan atas
nama orang pribadi atau badan yang tidak bertempat tinggal atau tidak bertempat
kedudukan di Indonesia. Orang pribadi yang tidak bertempat tinggal atau badan
yang tidak didirikan dan tidak bertempat kedudukan di Indonesia tidak dapat
dianggap mempunyai bentuk usaha tetap di Indonesia apabila orang pribadi atau
badan dalam menjalankan usaha atau melakukan kegiatan di Indonesia menggunakan
agen, broker atau perantara yang mempunyai kedudukan bebas, asalkan agen atau
perantara tersebut dalam kenyataannya bertindak sepenuhnya dalam rangka menjalankan
perusahaannya sendiri.
Perusahaan asuransi yang didirikan dan bertempat kedudukan di
luar Indonesia dianggap mempunyai bentuk usaha tetap di Indonesia apabila
perusahaan asuransi tersebut menerima pembayaran premi asuransi atau menanggung
risiko di Indonesia melalui pegawai, perwakilan atau agennya di Indonesia.
Menanggung risiko di Indonesia tidak berarti bahwa peristiwa yang mengakibatkan
risiko tersebut terjadi di Indonesia. Yang perlu diperhatikan adalah bahwa
pihak tertanggung bertempat tinggal, berada, atau bertempat kedudukan di
Indonesia.
Ayat (6)
Penentuan tempat tinggal orang pribadi atau tempat kedudukan
badan penting untuk menetapkan Kantor Pelayanan Pajak mana yang mempunyai
yurisdiksi pemajakan atas penghasilan yang diterima atau diperoleh orang
pribadi atau badan tersebut.
Pada dasarnya tempat tinggal orang pribadi atau tempat kedudukan
badan ditentukan menurut keadaan yang sebenarnya. Dengan demikian penentuan
tempat tinggal atau tempat kedudukan tidak hanya didasarkan pada pertimbangan yang
bersifat formal, tetapi lebih didasarkan pada kenyataan.
Beberapa hal yang perlu dipertimbangkan oleh Direktur Jenderal
Pajak dalam menentukan tempat tinggal seseorang atau tempat kedudukan badan
tersebut, antara lain domisili, alamat tempat tinggal, tempat tinggal keluarga,
tempat menjalankan usaha pokok atau hal-hal lain yang perlu dipertimbangkan
untuk memudahkan pelaksanaan pemenuhan kewajiban pajak.
Angka 3
Pasal 3
Ayat (1)
Sesuai dengan kelaziman internasional, kantor perwakilan negara
asing beserta pejabat-pejabat perwakilan diplomatik, konsulat dan
pejabat-pejabat lainnya, dikecualikan sebagai subjek pajak di tempat mereka
mewakili negaranya.
Pengecualian sebagai subjek pajak bagi pejabat-pejabat tersebut
tidak berlaku apabila mereka memperoleh penghasilan lain di luar jabatannya
atau mereka adalah Warga Negara Indonesia.
Dengan demikian apabila pejabat perwakilan suatu negara asing
memperoleh penghasilan lain di Indonesia di luar jabatan atau pekerjaannya
tersebut, maka ia termasuk subjek pajak yang dapat dikenai pajak atas penghasilan
lain tersebut.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Angka 4
Pasal 4
Ayat (1)
Undang-Undang ini menganut prinsip pemajakan atas penghasilan
dalam pengertian yang luas, yaitu bahwa pajak dikenakan atas setiap tambahan
kemampuan ekonomis yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak dari manapun
asalnya yang dapat dipergunakan untuk konsumsi atau menambah kekayaan Wajib
Pajak tersebut.
Pengertian penghasilan dalam Undang-Undang ini tidak memperhatikan
adanya penghasilan dari sumber tertentu, tetapi pada adanya tambahan kemampuan
ekonomis.
Tambahan kemampuan ekonomis yang diterima atau diperoleh Wajib
Pajak merupakan ukuran terbaik mengenai kemampuan Wajib Pajak tersebut untuk
ikut bersama-sama memikul biaya yang diperlukan pemerintah untuk kegiatan rutin
dan pembangunan.
Dilihat dari mengalirnya tambahan kemampuan ekonomis kepada
Wajib Pajak, penghasilan dapat dikelompokkan menjadi:
i. penghasilan dari pekerjaan dalam hubungan
kerja dan pekerjaan bebas seperti gaji, honorarium, penghasilan dari praktek
dokter, notaris, aktuaris, akuntan, pengacara, dan sebagainya;
ii. penghasilan dari usaha dan kegiatan;
iii. penghasilan dari modal, yang berupa harta gerak
ataupun harta tak gerak, seperti bunga, dividen, royalti, sewa, dan keuntungan
penjualan harta atau hak yang tidak dipergunakan untuk usaha; dan
iv. penghasilan lain-lain, seperti pembebasan
utang dan hadiah.
Dilihat dari penggunaannya, penghasilan dapat dipakai untuk konsumsi
dan dapat pula ditabung untuk menambah kekayaan Wajib Pajak.
Karena Undang-Undang ini menganut pengertian penghasilan yang
luas maka semua jenis penghasilan yang diterima atau diperoleh dalam suatu
tahun pajak digabungkan untuk mendapatkan dasar pengenaan pajak. Dengan
demikian, apabila dalam satu tahun pajak suatu usaha atau kegiatan menderita
kerugian, kerugian tersebut dikompensasikan dengan penghasilan lainnya
(kompensasi horizontal), kecuali kerugian yang diderita di luar negeri. Namun
demikian, apabila suatu jenis penghasilan dikenai pajak dengan tarif yang
bersifat final atau dikecualikan dari objek pajak, maka penghasilan tersebut
tidak boleh digabungkan dengan penghasilan lain yang dikenai tarif umum.
Contoh-contoh penghasilan yang disebut dalam ketentuan ini dimaksudkan
untuk memperjelas pengertian tentang penghasilan yang luas yang tidak terbatas
pada contoh-contoh dimaksud.
Huruf a
Semua pembayaran atau imbalan sehubungan dengan pekerjaan,
seperti upah, gaji, premi asuransi jiwa, dan asuransi kesehatan yang dibayar
oleh pemberi kerja, atau imbalan dalam bentuk lainnya adalah Objek Pajak.
Pengertian imbalan dalam bentuk lainnya termasuk imbalan dalam
bentuk natura yang pada hakikatnya merupakan penghasilan.
Huruf b
Dalam pengertian hadiah termasuk hadiah dari undian, pekerjaan,
dan kegiatan seperti hadiah undian tabungan, hadiah dari pertandingan olahraga
dan lain sebagainya.
Yang dimaksud dengan penghargaan adalah imbalan yang diberikan
sehubungan dengan kegiatan tertentu, misalnya imbalan yang diterima sehubungan
dengan penemuan benda-benda purbakala.
Huruf c
Cukup jelas.
Huruf d
Apabila Wajib Pajak menjual harta dengan harga yang lebih tinggi
dari nilai sisa buku atau lebih tinggi dari harga atau nilai perolehan, selisih
harga tersebut merupakan keuntungan. Dalam hal penjualan harta tersebut terjadi
antara badan usaha dan pemegang sahamnya, harga jual yang dipakai sebagai dasar
untuk penghitungan keuntungan dari penjualan tersebut adalah harga pasar.
Misalnya, PT S memiliki sebuah mobil yang digunakan dalam
kegiatan usahanya dengan nilai sisa buku sebesar Rp40.000.000,00 (empat puluh
juta rupiah). Mobil tersebut dijual dengan harga Rp60.000.000,00 (enam puluh
juta rupiah). Dengan demikian, keuntungan PT S yang diperoleh karena penjualan
mobil tersebut adalah Rp20.000.000,00 (dua puluh juta rupiah). Apabila mobil
tersebut dijual kepada salah seorang pemegang sahamnya dengan harga Rp55.000.000,00
(lima puluh lima juta rupiah), nilai jual mobil tersebut tetap dihitung
berdasarkan harga pasar sebesar Rp60.000.000,00 (enam puluh juta rupiah).
Selisih sebesar Rp20.000.000,00 (dua puluh juta rupiah) merupakan keuntungan
bagi PT S dan bagi pemegang saham yang membeli mobil tersebut selisih sebesar Rp5.000.000,00
(lima juta rupiah) merupakan penghasilan.
Apabila suatu badan dilikuidasi, keuntungan dari penjualan harta,
yaitu selisih antara harga jual berdasarkan harga pasar dan nilai sisa buku
harta tersebut, merupakan objek pajak. Demikian juga selisih lebih antara harga
pasar dan nilai sisa buku dalam hal terjadi penggabungan, peleburan, pemekaran,
pemecahan, dan pengambilalihan usaha merupakan penghasilan.
Dalam hal terjadi pengalihan harta sebagai pengganti saham atau
penyertaan modal, keuntungan berupa selisih antara harga pasar dari harta yang
diserahkan dan nilai bukunya merupakan penghasilan.
Keuntungan berupa selisih antara harga pasar dan nilai perolehan
atau nilai sisa buku atas pengalihan harta berupa hibah, bantuan atau sumbangan
merupakan penghasilan bagi pihak yang mengalihkan kecuali harta tersebut dihibahkan
kepada keluarga sedarah dalam garis keturunan lurus satu derajat. Demikian juga,
keuntungan berupa selisih antara harga pasar dan nilai perolehan atau nilai
sisa buku atas pengalihan harta berupa bantuan atau sumbangan dan hibah kepada
badan keagamaan, badan pendidikan, badan sosial termasuk yayasan, koperasi,
atau orang pribadi yang menjalankan usaha mikro dan kecil, yang ketentuannya
diatur lebih lanjut dengan Peraturan Menteri Keuangan bukan merupakan
penghasilan, sepanjang tidak ada hubungannya dengan usaha, pekerjaan,
kepemilikan, atau penguasaan di antara pihak-pihak yang bersangkutan.
Dalam hal Wajib Pajak pemilik hak penambangan mengalihkan
sebagian atau seluruh hak tersebut kepada Wajib Pajak lain, keuntungan yang
diperoleh merupakan objek pajak.
Huruf e
Pengembalian pajak yang telah dibebankan sebagai biaya pada
saat menghitung Penghasilan Kena Pajak merupakan objek pajak.
Sebagai contoh, Pajak Bumi dan Bangunan yang sudah dibayar
dan dibebankan sebagai biaya, yang karena sesuatu sebab dikembalikan, maka
jumlah sebesar pengembalian tersebut merupakan penghasilan.
Huruf f
Dalam pengertian bunga termasuk pula premium, diskonto dan
imbalan sehubungan dengan jaminan pengembalian utang.
Premium terjadi apabila misalnya surat obligasi dijual di atas
nilai nominalnya sedangkan diskonto terjadi apabila surat obligasi dibeli di
bawah nilai nominalnya. Premium tersebut merupakan penghasilan bagi yang
menerbitkan obligasi dan diskonto merupakan penghasilan bagi yang membeli
obligasi.
Huruf g
Dividen merupakan bagian laba yang diperoleh pemegang saham
atau pemegang polis asuransi atau pembagian sisa hasil usaha koperasi yang
diperoleh anggota koperasi.
Termasuk dalam pengertian dividen adalah:
1)
pembagian laba baik secara langsung ataupun
tidak langsung, dengan nama dan dalam bentuk apapun;
2)
pembayaran kembali karena likuidasi yang
melebihi jumlah modal yang disetor;
3)
pemberian saham bonus yang dilakukan tanpa penyetoran
termasuk saham bonus yang berasal dari kapitalisasi agio saham;
4)
pembagian laba dalam bentuk saham;
5)
pencatatan tambahan modal yang dilakukan
tanpa penyetoran;
6)
jumlah yang melebihi jumlah setoran sahamnya
yang diterima atau diperoleh pemegang saham karena pembelian kembali
saham-saham oleh perseroan yang bersangkutan;
7)
pembayaran kembali seluruhnya atau sebagian
dari modal yang disetorkan, jika dalam tahun-tahun yang lampau diperoleh
keuntungan, kecuali jika pembayaran kembali itu adalah akibat dari pengecilan
modal dasar (statuter) yang dilakukan secara sah;
8)
pembayaran sehubungan dengan tanda-tanda
laba, termasuk yang diterima sebagai penebusan tanda-tanda laba tersebut;
9)
bagian laba sehubungan dengan pemilikan
obligasi;
10)
bagian laba yang diterima oleh pemegang
polis;
11)
pembagian berupa sisa hasil usaha kepada
anggota koperasi;
12)
pengeluaran perusahaan untuk keperluan
pribadi pemegang saham yang dibebankan sebagai biaya perusahaan. Dalam praktek
sering dijumpai pembagian atau pembayaran dividen secara terselubung, misalnya
dalam hal pemegang saham yang telah menyetor penuh modalnya dan memberikan
pinjaman kepada perseroan dengan imbalan bunga yang melebihi kewajaran. Apabila
terjadi hal yang demikian maka selisih lebih antara bunga yang dibayarkan dan
tingkat bunga yang berlaku di pasar, diperlakukan sebagai dividen. Bagian bunga
yang diperlakukan sebagai dividen tersebut tidak boleh dibebankan sebagai biaya
oleh perseroan yang bersangkutan.
Huruf h
Royalti adalah suatu jumlah yang dibayarkan atau terutang dengan
cara atau perhitungan apa pun, baik dilakukan secara berkala maupun tidak,
sebagai imbalan atas:
1.
penggunaan atau hak menggunakan hak cipta di
bidang kesusastraan, kesenian atau karya ilmiah, paten, desain atau model,
rencana, formula atau proses rahasia, merek dagang, atau bentuk hak kekayaan
intelektual/industrial atau hak serupa lainnya;
2.
penggunaan atau hak menggunakan peralatan/perlengkapan
industrial, komersial, atau ilmiah;
3.
pemberian pengetahuan atau informasi di
bidang ilmiah, teknikal, industrial, atau komersial;
4.
pemberian bantuan tambahan atau pelengkap sehubungan
dengan penggunaan atau hak menggunakan hak-hak tersebut pada angka 1,
penggunaan atau hak menggunakan peralatan/perlengkapan tersebut pada angka 2,
atau pemberian pengetahuan atau informasi tersebut pada angka 3, berupa:
a)
penerimaan atau hak menerima rekaman gambar
atau rekaman suara atau keduanya, yang disalurkan kepada masyarakat melalui
satelit, kabel, serat optik, atau teknologi yang serupa;
b)
penggunaan atau hak menggunakan rekaman
gambar atau rekaman suara atau keduanya, untuk siaran televisi atau radio yang
disiarkan/dipancarkan melalui satelit, kabel, serat optik, atau teknologi yang
serupa;
c)
penggunaan atau hak menggunakan sebagian atau
seluruh spektrum radio komunikasi;
5.
penggunaan atau hak menggunakan film gambar
hidup (motion picture films), film atau pita
video untuk siaran televisi, atau pita suara untuk siaran radio; dan
6.
pelepasan seluruhnya atau sebagian hak yang
berkenaan dengan penggunaan atau pemberian hak kekayaan intelektual/industrial
atau hak-hak lainnya sebagaimana tersebut di atas.
Huruf i
Dalam pengertian sewa termasuk imbalan yang diterima atau
diperoleh dengan nama dan dalam bentuk apapun sehubungan dengan penggunaan
harta gerak atau harta tak gerak, misalnya sewa mobil, sewa kantor, sewa rumah,
dan sewa gudang.
Huruf j
Penerimaan berupa pembayaran berkala, misalnya "alimentasi"
atau tunjangan seumur hidup yang dibayar secara berulang-ulang dalam waktu
tertentu.
Huruf k
Pembebasan utang oleh pihak yang berpiutang dianggap sebagai
penghasilan bagi pihak yang semula berutang, sedangkan bagi pihak yang
berpiutang dapat dibebankan sebagai biaya. Namun, dengan Peraturan Pemerintah
dapat ditetapkan bahwa pembebasan utang debitur kecil misalnya Kredit Usaha
Keluarga Prasejahtera (Kukesra), Kredit Usaha Tani (KUT), Kredit Usaha Rakyat
(KUR), kredit untuk perumahan sangat sederhana, serta kredit kecil lainnya sampai
dengan jumlah tertentu dikecualikan sebagai objek pajak.
Huruf l
Keuntungan yang diperoleh karena fluktuasi kurs mata uang asing
diakui berdasarkan sistem pembukuan yang dianut dan dilakukan secara taat asas
sesuai dengan Standar Akuntansi Keuangan yang berlaku di Indonesia.
Huruf m
Selisih lebih karena penilaian kembali aktiva sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 19 merupakan penghasilan.
Huruf n
Dalam pengertian premi asuransi termasuk premi reasuransi.
Huruf o
Cukup jelas.
Huruf p
Tambahan kekayaan neto pada hakekatnya merupakan akumulasi
penghasilan baik yang telah dikenakan pajak dan yang bukan Objek Pajak serta
yang belum dikenakan pajak. Apabila diketahui adanya tambahan kekayaan neto
yang melebihi akumulasi penghasilan yang telah dikenakan pajak dan yang bukan
Objek Pajak, maka tambahan kekayaan neto tersebut merupakan penghasilan.
Huruf q
Kegiatan usaha berbasis syariah memiliki landasan filosofi yang
berbeda dengan kegiatan usaha yang bersifat konvensional. Namun, penghasilan
yang diterima atau diperoleh dari kegiatan usaha berbasis syariah tersebut tetap
merupakan objek pajak menurut Undang-Undang ini.
Huruf r
Cukup jelas.
Huruf s
Cukup jelas.
Ayat (2)
Sesuai dengan ketentuan pada ayat (1), penghasilanpenghasilan
sebagaimana dimaksud pada ayat ini merupakan objek pajak. Berdasarkan
pertimbangan-pertimbangan antara lain:
-
perlu adanya dorongan dalam rangka
perkembangan investasi dan tabungan masyarakat;
-
kesederhanaan dalam pemungutan pajak;
-
berkurangnya beban administrasi baik bagi
Wajib Pajak maupun Direktorat Jenderal Pajak;
-
pemerataan dalam pengenaan pajaknya; dan
-
memerhatikan perkembangan ekonomi dan
moneter, atas penghasilan-penghasilan tersebut
perlu diberikan perlakuan tersendiri dalam pengenaan pajaknya. Perlakuan
tersendiri dalam pengenaan pajak atas jenis penghasilan tersebut termasuk sifat,
besarnya, dan tata cara pelaksanaan pembayaran, pemotongan, atau pemungutan iatur
dengan Peraturan Pemerintah. Obligasi sebagaimana dimaksud pada ayat ini
termasuk surat utang berjangka waktu lebih dari 12 (dua belas) bulan, seperti Medium
Term Note, Floating Rate Note yang
berjangka waktu lebih dari 12 (dua belas) bulan. Surat Utang Negara yang
dimaksud pada ayat ini meliputi Obligasi Negara dan Surat Perbendaharaan
Negara.
Ayat (3)
Huruf a
Bantuan atau sumbangan bagi pihak yang menerima bukan merupakan
objek pajak sepanjang diterima tidak dalam rangka hubungan kerja, hubungan
usaha, hubungan kepemilikan, atau hubungan penguasaan di antara pihakpihak yang
bersangkutan. Zakat yang diterima oleh badan amil zakat atau lembaga amil zakat
yang dibentuk atau disahkan oleh pemerintah dan para penerima zakat yang berhak
serta sumbangan keagamaan yang sifatnya wajib bagi pemeluk agama lainnya yang
diakui di Indonesia yang diterima oleh lembaga keagamaan yang dibentuk atau disahkan
oleh pemerintah dan yang diterima oleh penerima sumbangan yang berhak
diperlakukan sama seperti bantuan atau sumbangan. Yang dimaksud dengan “zakat”
adalah zakat sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang yang mengatur mengenai
zakat. Hubungan usaha antara pihak yang memberi dan yang menerima dapat
terjadi, misalnya PT A sebagai produsen suatu jenis barang yang bahan baku
utamanya diproduksi oleh PT B. Apabila PT B memberikan sumbangan bahan baku
kepada PT A, sumbangan bahan baku yang diterima oleh PT A merupakan objek
pajak. Harta hibahan bagi pihak yang menerima bukan merupakan objek pajak
apabila diterima oleh keluarga sedarah dalam garis keturunan lurus satu
derajat, dan oleh badan keagamaan, badan pendidikan, atau badan sosial termasuk
yayasan atau orang pribadi yang menjalankan usaha mikro dan kecil termasuk
koperasi yang ditetapkan oleh Menteri Keuangan, sepanjang diterima tidak dalam
rangka hubungan kerja, hubungan usaha, hubungan kepemilikan, atau hubungan
penguasaan antara pihak-pihak yang bersangkutan.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Pada prinsipnya harta, termasuk setoran tunai, yang diterima
oleh badan merupakan tambahan kemampuan ekonomis bagi badan tersebut. Namun
karena harta tersebut diterima sebagai pengganti saham atau penyertaan modal, maka
berdasarkan ketentuan ini, harta yang diterima tersebut bukan merupakan objek
pajak.
Huruf d
Penggantian atau imbalan dalam bentuk natura atau kenikmatan
berkenaan dengan pekerjaan atau jasa merupakan tambahan kemampuan ekonomis yang
diterima bukan dalam bentuk uang. Penggantian atau imbalan dalam bentuk natura
seperti beras, gula, dan sebagainya, dan imbalan dalam bentuk kenikmatan,
seperti penggunaan mobil, rumah, dan fasilitas pengobatan bukan merupakan objek
pajak. Apabila yang memberi imbalan berupa natura atau kenikmatan tersebut
bukan Wajib Pajak atau Wajib Pajak yang dikenai Pajak Penghasilan yang bersifat
final dan Wajib Pajak yang dikenai Pajak Penghasilan berdasarkan norma penghitungan
khusus (deemed profit), imbalan dalam bentuk natura atau kenikmatan
tersebut merupakan penghasilan bagi yang menerima atau memperolehnya. Misalnya,
seorang penduduk Indonesia menjadi pegawai pada suatu perwakilan diplomatik
asing di Jakarta. Pegawai tersebut memperoleh kenikmatan menempati rumah yang disewa
oleh perwakilan diplomatik tersebut atau kenikmatan-kenikmatan lainnya.
Kenikmatan-kenikmatan tersebut merupakan penghasilan bagi pegawai tersebut sebab
perwakilan diplomatik yang bersangkutan bukan merupakan Wajib Pajak.
Huruf e
Penggantian atau santunan yang diterima oleh orang pribadi dari
perusahaan asuransi sehubungan dengan polis asuransi kesehatan, asuransi
kecelakaan, asuransi jiwa, asuransi dwiguna, dan asuransi bea siswa, bukan merupakan
Objek Pajak. Hal ini selaras dengan ketentuan dalam Pasal 9 ayat (1) huruf d,
yaitu bahwa premi asuransi yang dibayar oleh Wajib Pajak orang pribadi untuk kepentingan
dirinya tidak boleh dikurangkan dalam penghitungan Penghasilan Kena Pajak.
Huruf f
Berdasarkan ketentuan ini, dividen yang dananya berasal dari
laba setelah dikurangi pajak dan diterima atau diperoleh perseroan terbatas
sebagai Wajib Pajak dalam negeri, dan badan usaha milik negara atau badan usaha
milik daerah, dari penyertaannya pada badan usaha lainnya yang didirikan dan
bertempat kedudukan di Indonesia, dengan penyertaan sekurang-kurangnya 25% (dua
puluh lima persen), tidak termasuk objek pajak. Yang dimaksud dengan “badan
usaha milik negara” dan “badan usaha milik daerah” pada ayat ini, antara lain,
adalah perusahaan perseroan (Persero), bank pemerintah, dan bank pembangunan
daerah. Perlu ditegaskan bahwa dalam hal penerima dividen atau bagian laba
adalah Wajib Pajak selain badan-badan tersebut di atas, seperti orang pribadi
baik dalam negeri maupun luar negeri, firma, perseroan komanditer, yayasan dan
organisasi sejenis dan sebagainya, penghasilan berupa dividen atau bagian laba
tersebut tetap merupakan objek pajak.
Huruf g
Pengecualian sebagai Objek Pajak berdasarkan ketentuan ini hanya
berlaku bagi dana pensiun yang pendiriannya telah mendapat pengesahan dari
Menteri Keuangan. Yang dikecualikan dari Objek Pajak adalah iuran yang diterima
dari peserta pensiun, baik atas beban sendiri maupun yang ditanggung pemberi
kerja. Pada dasarnya iuran yang diterima oleh dana pensiun tersebut merupakan
dana milik dari peserta pensiun, yang akan dibayarkan kembali kepada mereka
pada waktunya. Pengenaan pajak atas iuran tersebut berarti mengurangi hak para
peserta pensiun, dan oleh karena itu iuran tersebut dikecualikan sebagai Objek Pajak.
Huruf h
Sebagaimana tersebut dalam huruf g, pengecualian sebagai Objek
Pajak berdasarkan ketentuan ini hanya berlaku bagi dana pensiun yang
pendiriannya telah mendapat pengesahan dari Menteri Keuangan. Yang dikecualikan
dari Objek Pajak dalam hal ini adalah penghasilan dari modal yang ditanamkan di
bidang-bidang tertentu berdasarkan Keputusan Menteri Keuangan. Penanaman modal
oleh dana pensiun dimaksudkan untuk pengembangan dan merupakan dana untuk
pembayaran kembali kepada peserta pensiun di kemudian hari, sehingga penanaman
modal tersebut perlu diarahkan pada bidang-bidang yang tidak bersifat
spekulatif atau yang berisiko tinggi. Oleh karena itu penentuan bidang-bidang
tertentu dimaksud ditetapkan dengan Keputusan Menteri Keuangan.
Huruf i
Untuk kepentingan pengenaan pajak, badan-badan sebagaimana
disebut dalam ketentuan ini yang merupakan himpunan para anggotanya dikenai
pajak sebagai satu kesatuan, yaitu pada tingkat badan tersebut. Oleh karena itu,
bagian laba yang diterima oleh para anggota badan tersebut bukan lagi merupakan
objek pajak.
Huruf j
Cukup jelas.
Huruf k
Yang dimaksud dengan “perusahaan modal ventura” adalah suatu
perusahaan yang kegiatan usahanya membiayai badan usaha (sebagai pasangan
usaha) dalam bentuk penyertaan modal untuk suatu jangka waktu tertentu. Berdasarkan
ketentuan ini, bagian laba yang diterima atau diperoleh dari perusahaan
pasangan usaha tidak termasuk sebagai objek pajak, dengan syarat perusahaan
pasangan usaha tersebut merupakan perusahaan mikro, kecil, menengah, atau yang
menjalankan usaha atau melakukan kegiatan dalam sektor-sektor tertentu yang
ditetapkan oleh Menteri Keuangan, dan saham perusahaan tersebut tidak diperdagangkan
di bursa efek di Indonesia. Apabila pasangan usaha perusahaan modal ventura memenuhi
ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf f, dividen yang diterima atau
diperoleh perusahaan modal ventura bukan merupakan objek pajak. Agar kegiatan
perusahaan modal ventura dapat diarahkan kepada sektor-sektor kegiatan ekonomi
yang memperoleh prioritas untuk dikembangkan, misalnya untuk meningkatkan
ekspor nonmigas, usaha atau kegiatan dari perusahaan pasangan usaha tersebut
diatur oleh Menteri Keuangan. Mengingat perusahaan modal ventura merupakan
alternatif pembiayaan dalam bentuk penyertaan modal, penyertaan modal yang akan
dilakukan oleh perusahaan modal ventura diarahkan pada perusahaan-perusahaan
yang belum mempunyai akses ke bursa efek.
Huruf l
Cukup jelas.
Huruf m
Bahwa dalam rangka mendukung usaha peningkatan kualitas
sumber daya manusia melalui pendidikan dan/atau penelitian dan pengembangan
diperlukan sarana dan prasarana yang memadai. Untuk itu dipandang perlu memberikan
fasilitas perpajakan berupa pengecualian pengenaan pajak atas sisa lebih yang
diterima atau diperoleh sepanjang sisa lebih tersebut ditanamkan kembali dalam bentuk
pembangunan dan pengadaan sarana dan prasarana kegiatan dimaksud. Penanaman
kembali sisa lebih dimaksud harus direalisasikan paling lama dalam jangka waktu
4 (empat) tahun sejak sisa lebih tersebut diterima atau diperoleh. Untuk
menjamin tercapainya tujuan pemberian fasilitas ini, maka lembaga atau badan
yang menyelenggarakan pendidikan harus bersifat nirlaba. Pendidikan serta penelitian
dan pengembangan yang diselenggarakan bersifat terbuka kepada siapa saja dan
telah mendapat pengesahan dari instansi
yang membidanginya.
Huruf n
Bantuan atau santunan yang diberikan oleh Badan Penyelenggara
Jaminan Sosial (BPJS) kepada Wajib Pajak tertentu adalah bantuan sosial yang
diberikan khusus kepada Wajib Pajak atau anggota masyarakat yang tidak mampu
atau sedang mendapat bencana alam atau tertimpa musibah.
Angka 5
Pasal 6
Ayat (1)
Beban-beban yang dapat dikurangkan dari penghasilan bruto dapat
dibagi dalam 2 (dua) golongan, yaitu beban atau biaya yang mempunyai masa
manfaat tidak lebih dari 1 (satu) tahun dan yang mempunyai masa manfaat lebih
dari 1 (satu) tahun. Beban yang mempunyai masa manfaat tidak lebih dari 1
(satu) tahun merupakan biaya pada tahun yang bersangkutan, misalnya gaji, biaya
administrasi dan bunga, biaya rutin pengolahan limbah dan sebagainya, sedangkan
pengeluaran yang mempunyai masa manfaat lebih dari 1 (satu) tahun, pembebanannya
dilakukan melalui penyusutan atau melalui amortisasi. Di samping itu, apabila
dalam suatu tahun pajak didapat kerugian karena penjualan harta atau karena
selisih kurs, kerugian-kerugian tersebut dapat dikurangkan dari penghasilan
bruto.
Huruf a
Biaya-biaya yang dimaksud pada ayat ini lazim disebut biaya sehari-hari
yang boleh dibebankan pada tahun pengeluaran. Untuk dapat dibebankan sebagai
biaya, pengeluaranpengeluaran tersebut harus mempunyai hubungan langsung maupun
tidak langsung dengan kegiatan usaha atau kegiatan untuk mendapatkan, menagih,
dan memelihara penghasilan yang merupakan objek pajak. Dengan demikian,
pengeluaran-pengeluaran untuk mendapatkan, menagih, dan memelihara penghasilan
yang bukan merupakan objek pajak tidak boleh dibebankan sebagai biaya.
Contoh:
Dana Pensiun A yang pendiriannya telah mendapat pengesahan
dari Menteri Keuangan memperoleh penghasilan bruto yang terdiri dari:
a. penghasilan yang bukan merupakan objek pajak
sesuai
dengan Pasal 4 ayat (3) huruf h Rp100.000.000,00
b. penghasilan bruto lainnya sebesar Rp300.000.000,00
(+)
Jumlah penghasilan bruto Rp400.000.000,00
Apabila seluruh biaya adalah sebesar Rp200.000.000,00 (dua
ratus juta rupiah), biaya yang boleh dikurangkan untuk mendapatkan, menagih dan
memelihara penghasilan adalah sebesar 3/4 x Rp200.000.000,00 =
Rp150.000.000,00. Demikian pula bunga atas pinjaman yang dipergunakan untuk
membeli saham tidak dapat dibebankan sebagai biaya sepanjang dividen yang
diterimanya tidak merupakan objek pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat
(3) huruf f. Bunga pinjaman yang tidak boleh dibiayakan tersebut dapat dikapitalisasi
sebagai penambah harga perolehan saham. Pengeluaran-pengeluaran yang tidak ada
hubungannya dengan upaya untuk mendapatkan, menagih, dan memelihara
penghasilan, misalnya pengeluaran-pengeluaran untuk keperluan pribadi pemegang
saham, pembayaran bunga atas pinjaman yang dipergunakan untuk keperluan pribadi
peminjam serta pembayaran premi asuransi untuk kepentingan pribadi, tidak boleh
dibebankan sebagai biaya. Pembayaran premi asuransi oleh pemberi kerja untuk kepentingan
pegawainya boleh dibebankan sebagai biaya perusahaan, tetapi bagi pegawai yang
bersangkutan premi tersebut merupakan penghasilan. Pengeluaran-pengeluaran
sehubungan dengan pekerjaan yang boleh dikurangkan dari penghasilan bruto harus
dilakukan dalam bentuk uang. Pengeluaran yang dilakukan dalam bentuk natura
atau kenikmatan, misalnya fasilitas menempati rumah dengan cuma-cuma, tidak
boleh dibebankan sebagai biaya, dan bagi pihak yang menerima atau menikmati
bukan merupakan penghasilan. Namun, pengeluaran dalam bentuk natura atau
kenikmatan tertentu sebagaimana diatur dalam Pasal 9 ayat (1) huruf e, boleh dibebankan
sebagai biaya dan bagi pihak yang menerima atau menikmati bukan merupakan
penghasilan. Pengeluaran-pengeluaran yang dapat dikurangkan dari penghasilan
bruto harus dilakukan dalam batas-batas yang wajar sesuai dengan adat kebiasaan
pedagang yang baik. Dengan demikian, apabila pengeluaran yang melampaui batas
kewajaran tersebut dipengaruhi oleh hubungan istimewa, jumlah yang melampaui
batas kewajaran tersebut tidak boleh dikurangkan dari penghasilan bruto. Selanjutnya
lihat ketentuan dalam Pasal 9 ayat (1) huruf f dan Pasal 18 beserta
penjelasannya. Pajak-pajak yang menjadi beban perusahaan dalam rangka usahanya
selain Pajak Penghasilan, misalnya Pajak Bumi dan Bangunan (PBB), Bea Meterai
(BM), Pajak Hotel, dan Pajak Restoran, dapat dibebankan sebagai biaya. Mengenai
pengeluaran untuk promosi perlu dibedakan antara biaya yang benar-benar
dikeluarkan untuk promosi dan biaya yang pada hakikatnya merupakan sumbangan. Biaya
yang benar-benar dikeluarkan untuk promosi boleh dikurangkan dari penghasilan
bruto. Besarnya biaya promosi dan penjualan yang diperkenankan sebagai
pengurang penghasilan bruto diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Menteri
Keuangan.
Huruf b
Pengeluaran-pengeluaran untuk memperoleh harta berwujud dan
harta tak berwujud serta pengeluaran lain yang mempunyai masa manfaat lebih
dari 1 (satu) tahun, pembebanannya dilakukan melalui penyusutan atau amortisasi.
Selanjutnya lihat ketentuan Pasal 9 ayat (2), Pasal 11, dan Pasal 11A beserta
penjelasannya. Pengeluaran yang menurut sifatnya merupakan pembayaran di muka,
misalnya sewa untuk beberapa tahun yang dibayar sekaligus, pembebanannya dapat
dilakukan melalui alokasi.
Huruf c
Iuran kepada dana pensiun yang pendiriannya telah disahkan
oleh Menteri Keuangan boleh dibebankan sebagai biaya, sedangkan iuran yang
dibayarkan kepada dana pensiun yang pendiriannya tidak atau belum disahkan oleh
Menteri Keuangan tidak boleh dibebankan sebagai biaya.
Huruf d
Kerugian karena penjualan atau pengalihan harta yang menurut
tujuan semula tidak dimaksudkan untuk dijual atau dialihkan yang dimiliki dan
dipergunakan dalam perusahaan atau yang dimiliki untuk mendapatkan, menagih dan
memelihara penghasilan dapat dikurangkan dari penghasilan bruto. Kerugian
karena penjualan atau pengalihan harta yang dimiliki tetapi tidak digunakan
dalam perusahaan, atau yang dimiliki tetapi tidak digunakan untuk mendapatkan, menagih
dan memelihara penghasilan, tidak boleh dikurangkan dari penghasilan bruto.
Huruf e
Kerugian karena fluktuasi kurs mata uang asing diakui berdasarkan
sistem pembukuan yang dianut dan dilakukan secara taat asas sesuai dengan
Standar Akuntansi Keuangan yang berlaku di Indonesia.
Huruf f
Biaya penelitian dan pengembangan perusahaan yang dilakukan
di Indonesia dalam jumlah yang wajar untuk menemukan teknologi atau sistem baru
bagi pengembangan perusahaan boleh dibebankan sebagai biaya perusahaan.
Huruf g
Biaya yang dikeluarkan untuk keperluan beasiswa, magang, dan
pelatihan dalam rangka peningkatan kualitas sumber daya manusia dapat
dibebankan sebagai biaya perusahaan dengan memperhatikan kewajaran, termasuk
beasiswa yang dapat dibebankan sebagai biaya adalah beasiswa yang diberikan
kepada pelajar, mahasiswa, dan pihak lain.
Huruf h
Piutang yang nyata-nyata tidak dapat ditagih dapat dibebankan
sebagai biaya sepanjang Wajib Pajak telah mengakuinya sebagai biaya dalam
laporan laba-rugi komersial dan telah melakukan upaya-upaya penagihan yang
maksimal atau terakhir. Yang dimaksud dengan penerbitan tidak hanya berarti penerbitan
berskala nasional, melainkan juga penerbitan internal asosiasi dan sejenisnya. Tata
cara pelaksanaan persyaratan yang ditentukan dalam ayat (1) huruf h ini diatur
lebih lanjut dengan atau berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan.
Huruf i
Cukup jelas.
Huruf j
Cukup jelas.
Huruf k
Cukup jelas.
Huruf l
Cukup jelas.
Huruf m
Cukup jelas.
Ayat (2)
Jika pengeluaran-pengeluaran yang diperkenankan berdasarkan
ketentuan pada ayat (1) setelah dikurangkan dari penghasilan bruto didapat
kerugian, kerugian tersebut dikompensasikan dengan penghasilan neto atau laba
fiskal selama 5 (lima) tahun berturut-turut dimulai sejak tahun berikutnya
sesudah tahun didapatnya kerugian tersebut.
Contoh :
PT A dalam tahun 2009 menderita kerugian fiskal sebesar Rp1.200.000.000,00
(satu miliar dua ratus juta rupiah). Dalam 5 (lima) tahun berikutnya laba rugi
fiskal PT A sebagai berikut :
2010 : laba fiskal Rp200.000.000,00
2011 : rugi fiskal (Rp300.000.000,00)
2012 : laba fiskal Rp N I H I L
2013 : laba fiskal Rp100.000.000,00
2014 : laba fiskal Rp800.000.000,00
Kompensasi kerugian dilakukan sebagai berikut :
Rugi fiskal tahun 2009 (Rp1.200.000.000,00)
Laba fiskal tahun 2010 Rp 200.000.000,00 (+)
Sisa rugi fiskal tahun 2009 (Rp1.000.000.000,00)
Rugi fiskal tahun 2011 (Rp
300.000.000,00)
Sisa rugi fiskal tahun 2009 (Rp1.000.000.000,00)
Laba fiskal tahun 2012 Rp N I H I L (+)
Sisa rugi fiskal tahun 2009 (Rp1.000.000.000,00)
Laba fiskal tahun 2013 Rp
100.000.000,00 (+)
Sisa rugi fiskal tahun 2009 (Rp
900.000.000,00)
Laba fiskal tahun 2014 Rp
800.000.000,00 (+)
Sisa rugi fiskal tahun 2009 (Rp
100.000.000,00)
Rugi fiskal tahun 2009 sebesar Rp100.000.000,00 (seratus juta
rupiah) yang masih tersisa pada akhir tahun 2014 tidak boleh dikompensasikan
lagi dengan laba fiskal tahun 2015, sedangkan rugi fiskal tahun 2011 sebesar
Rp300.000.000,00 (tiga ratus juta rupiah) hanya boleh dikompensasikan dengan laba
fiskal tahun 2015 dan tahun 2016, karena jangka waktu lima tahun yang dimulai
sejak tahun 2012 berakhir pada akhir tahun 2016.
Ayat (3)
Dalam menghitung Penghasilan Kena Pajak Wajib Pajak orang pribadi
dalam negeri, kepadanya diberikan pengurangan berupa Penghasilan Tidak Kena
Pajak (PTKP) berdasarkan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7.
Angka 6
Pasal 7
Ayat (1)
Untuk menghitung besarnya Penghasilan Kena Pajak dari Wajib Pajak
orang pribadi dalam negeri, penghasilan netonya dikurangi dengan jumlah
Penghasilan Tidak Kena Pajak. Di samping untuk dirinya, kepada Wajib Pajak yang
sudah kawin diberikan tambahan Penghasilan Tidak Kena Pajak. Bagi Wajib Pajak
yang isterinya menerima atau memperoleh penghasilan yang digabung dengan
penghasilannya, Wajib Pajak tersebut mendapat tambahan Penghasilan Tidak Kena Pajak
untuk seorang isteri paling sedikit sebesar Rp15.840.000,00 (lima belas juta
delapan ratus empat puluh ribu rupiah). Wajib Pajak yang mempunyai anggota
keluarga sedarah dan semenda dalam garis keturunan lurus yang menjadi tanggungan
sepenuhnya, misalnya orang tua, mertua, anak kandung, atau anak angkat
diberikan tambahan Penghasilan Tidak Kena Pajak untuk paling banyak 3 (tiga) orang.
Yang dimaksud dengan “anggota keluarga yang menjadi tanggungan sepenuhnya”
adalah anggota keluarga yang tidak mempunyai penghasilan dan seluruh biaya
hidupnya ditanggung oleh Wajib Pajak.
Contoh:
Wajib Pajak A mempunyai seorang isteri dengan tanggungan 4 (empat)
orang anak. Apabila isterinya memperoleh penghasilan dari satu pemberi kerja
yang sudah dipotong Pajak Penghasilan Pasal 21 dan pekerjaan tersebut tidak ada
hubungannya dengan usaha suami atau anggota keluarga lainnya, besarnya Penghasilan
Tidak Kena Pajak yang diberikan kepada Wajib Pajak A adalah sebesar
Rp21.120.000,00 {Rp15.840.000,00 + Rp1.320.000,00 + (3 x Rp1.320.000,00)},
sedangkan untuk isterinya, pada saat pemotongan Pajak Penghasilan Pasal 21 oleh
pemberi kerja diberikan Penghasilan Tidak Kena Pajak sebesar Rp15.840.000,00.
Apabila penghasilan isteri harus digabung dengan penghasilan suami, besarnya
Penghasilan Tidak Kena Pajak yang diberikan kepada Wajib Pajak A adalah sebesar
Rp36.960.000,00 (Rp21.120.000,00 + Rp15.840.000,00).
Ayat (2)
Penghitungan besarnya Penghasilan Tidak Kena Pajak sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) ditentukan menurut keadaan Wajib Pajak pada awal tahun
pajak atau pada awal bagian tahun pajak. Misalnya, pada tanggal 1 Januari 2009
Wajib Pajak B berstatus kawin dengan tanggungan 1 (satu) orang anak. Apabila
anak yang kedua lahir setelah tanggal 1 Januari 2009, besarnya Penghasilan
Tidak Kena Pajak yang diberikan kepada Wajib Pajak B untuk tahun pajak 2009
tetap dihitung berdasarkan status kawin dengan 1 (satu) anak.
Ayat (3)
Berdasarkan ketentuan ini Menteri Keuangan diberikan wewenang
untuk mengubah besarnya Penghasilan Tidak Kena Pajak sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) setelah berkonsultasi dengan Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia
dengan mempertimbangkan perkembangan ekonomi dan moneter serta perkembangan
harga kebutuhan pokok setiap tahunnya.
Angka 7
Pasal 8
Sistem pengenaan pajak berdasarkan Undang-Undang ini menempatkan
keluarga sebagai satu kesatuan ekonomis, artinya penghasilan atau kerugian dari
seluruh anggota keluarga digabungkan sebagai satu kesatuan yang dikenai pajak
dan pemenuhan kewajiban pajaknya dilakukan oleh kepala keluarga. Namun, dalam
hal-hal tertentu pemenuhan kewajiban pajak tersebut dilakukan secara terpisah.
Ayat (1)
Penghasilan atau kerugian bagi wanita yang telah kawin pada awal
tahun pajak atau pada awal bagian tahun pajak dianggap sebagai penghasilan atau
kerugian suaminya dan dikenai pajak sebagai satu kesatuan. Penggabungan
tersebut tidak dilakukan dalam hal penghasilan isteri diperoleh dari pekerjaan
sebagai pegawai yang telah dipotong pajak oleh pemberi kerja, dengan ketentuan
bahwa:
a. penghasilan isteri tersebut semata-mata diperoleh dari
satu pemberi kerja, dan
b. penghasilan isteri tersebut berasal dari pekerjaan yang tidak
ada hubungannya dengan usaha atau pekerjaan bebas suami atau anggota keluarga
lainnya.
Contoh:
Wajib Pajak A yang memperoleh penghasilan neto dari usaha sebesar
Rp100.000.000,00 (seratus juta rupiah) mempunyai seorang isteri yang menjadi
pegawai dengan penghasilan neto sebesar Rp70.000.000,00 (tujuh puluh juta
rupiah). Apabila penghasilan isteri tersebut diperoleh dari satu pemberi kerja dan
telah dipotong pajak oleh pemberi kerja dan pekerjaan tersebut tidak ada
hubungannya dengan usaha suami atau anggota keluarga lainnya, penghasilan neto
sebesar Rp70.000.000,00 (tujuh puluh juta rupiah) tidak digabung dengan
penghasilan A dan pengenaan pajak atas penghasilan isteri tersebut bersifat
final. Apabila selain menjadi pegawai, isteri A juga menjalankan usaha,
misalnya salon kecantikan dengan penghasilan neto sebesar Rp80.000.000,00
(delapan puluh juta rupiah), seluruh penghasilan isteri sebesar
Rp150.000.000,00 (Rp70.000.000,00 + Rp80.000.000,00) digabungkan dengan
penghasilan A. Dengan penggabungan tersebut, A dikenai pajak atas penghasilan
neto sebesar Rp250.000.000,00 (Rp100.000.000,00 + Rp70.000.000,00 +
Rp80.000.000,00). Potongan pajak atas penghasilan isteri tidak bersifat final,
artinya dapat dikreditkan terhadap pajak yang terutang atas penghasilan sebesar
Rp250.000.000,00 (dua ratus lima puluh juta rupiah) tersebut yang dilaporkan
dalam Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan.
Ayat (2) dan ayat (3)
Dalam hal suami-isteri telah hidup berpisah berdasarkan keputusan
hakim, penghitungan Penghasilan Kena Pajak dan pengenaan pajaknya dilakukan
sendiri-sendiri. Apabila suamiisteri mengadakan perjanjian pemisahan harta dan
penghasilan secara tertulis atau jika isteri menghendaki untuk menjalankan hak
dan kewajiban perpajakannya sendiri, penghitungan pajaknya dilakukan
berdasarkan penjumlahan penghasilan neto suami-isteri dan masing-masing memikul
beban pajak sebanding dengan besarnya penghasilan neto.
Contoh:
Penghitungan pajak bagi suami-isteri yang mengadakan perjanjian
pemisahan penghasilan secara tertulis atau jika isteri menghendaki untuk
menjalankan hak dan kewajiban perpajakannya sendiri adalah sebagai berikut. Dari
contoh pada ayat (1), apabila isteri menjalankan usaha salon kecantikan,
pengenaan pajaknya dihitung berdasarkan jumlah penghasilan sebesar
Rp250.000.000,00 (dua ratus limapuluh juta rupiah). Misalnya, pajak yang
terutang atas jumlah penghasilan tersebut adalah sebesar Rp27.550.000,00 (dua
puluh tujuh juta lima ratus lima puluh ribu rupiah) maka untuk
masing-masingsuami dan isteri pengenaan pajaknya dihitung sebagai berikut:
- Suami: 100.000.000,00 x
Rp27.550.000,00= Rp11.020.000,00
250.000.000,00
- Isteri : 150.000.000,00 x
Rp27.550.000,00 = Rp16.530.000,00
250.000.000,00
Ayat (4)
Penghasilan anak yang belum dewasa dari mana pun sumber penghasilannya
dan apa pun sifat pekerjaannya digabung dengan penghasilan orang tuanya dalam
tahun pajak yang sama. Yang dimaksud dengan “anak yang belum dewasa” adalah
anak yang belum berumur 18 (delapan belas) tahun dan belum pernah menikah. Apabila
seorang anak belum dewasa, yang orang tuanya telah berpisah, menerima atau
memperoleh penghasilan, pengenaan pajaknya digabungkan dengan penghasilan ayah
atau ibunya berdasarkan keadaan sebenarnya.
Angka 8
Pasal 9
Ayat (1)
Pengeluaran-pengeluaran yang dilakukan Wajib Pajak dapat dibedakan
antara pengeluaran yang boleh dan yang tidak boleh dibebankan sebagai biaya. Pada
prinsipnya biaya yang boleh dikurangkan dari penghasilan bruto adalah biaya
yang mempunyai hubungan langsung dan tidak langsung dengan usaha atau kegiatan
untuk mendapatkan, menagih, dan memelihara penghasilan yang merupakan objek
pajak yang pembebanannya dapat dilakukan dalam tahun pengeluaran atau selama
masa manfaat dari pengeluaran tersebut. Pengeluaran yang tidak boleh dikurangkan
dari penghasilan bruto meliputi pengeluaran yang sifatnya pemakaian penghasilan
atau yang jumlahnya melebihi kewajaran.
Huruf a
Pembagian laba dengan nama dan dalam bentuk apa pun, termasuk
pembayaran dividen kepada pemilik modal, pembagian sisa hasil usaha koperasi
kepada anggotanya, dan pembayaran dividen oleh perusahaan asuransi kepada pemegang
polis, tidak boleh dikurangkan dari penghasilan badan
yang membagikannya karena pembagian laba tersebut merupakan bagian dari
penghasilan badan tersebut yang akan dikenai pajak berdasarkan Undang-Undang
ini.
Huruf b
Tidak dapat dikurangkan dari penghasilan bruto perusahaan adalah
biaya-biaya yang dikeluarkan atau dibebankan oleh perusahaan untuk kepentingan
pribadi pemegang saham, sekutu atau anggota, seperti perbaikan rumah pribadi,
biaya perjalanan, biaya premi asuransi yang dibayar oleh perusahaan untuk
kepentingan pribadi para pemegang saham atau keluarganya.
Huruf c
Cukup jelas.
Huruf d
Premi untuk asuransi kesehatan, asuransi kecelakaan, asuransi
jiwa, asuransi dwiguna, dan asuransi bea siswa yang dibayar sendiri oleh Wajib
Pajak orang pribadi tidak boleh dikurangkan dari penghasilan bruto, dan pada
saat orang pribadi dimaksud menerima penggantian atau santunan asuransi,
penerimaan tersebut bukan merupakan Objek Pajak. Apabila premi asuransi
tersebut dibayar atau ditanggung oleh pemberi kerja, maka bagi pemberi kerja
pembayaran tersebut boleh dibebankan sebagai biaya dan bagi pegawai yang
bersangkutan merupakan penghasilan yang merupakan Objek Pajak.
Huruf e
Sebagaimana telah diuraikan dalam penjelasan Pasal 4 ayat (3)
huruf d, penggantian atau imbalan dalam bentuk natura dan kenikmatan dianggap
bukan merupakan objek pajak. Selaras dengan hal tersebut, dalam ketentuan ini penggantian
atau imbalan dimaksud dianggap bukan merupakan pengeluaran yang dapat
dibebankan sebagai biaya bagi pemberi kerja. Namun, dengan atau berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan, pemberian natura
dan kenikmatan berikut ini dapat dikurangkan dari penghasilan bruto pemberi
kerja dan bukan merupakan penghasilan pegawai yang menerimanya:
1.
penggantian atau imbalan dalam bentuk natura
atau kenikmatan yang diberikan berkenaan dengan pelaksanaan pekerjaan di daerah
tersebut dalam rangka menunjang kebijakan pemerintah untuk mendorong pembangunan
di daerah terpencil;
2.
pemberian natura dan kenikmatan yang
merupakan keharusan dalam pelaksanaan pekerjaan sebagai sarana keselamatan
kerja atau karena sifat pekerjaan tersebut mengharuskannya, seperti pakaian dan
peralatan untuk keselamatan kerja, pakaian seragam petugas keamanan (satpam),
antar jemput karyawan, serta penginapan untuk awak kapal dan yang sejenisnya;
dan
3.
pemberian atau penyediaan makanan dan atau
minuman bagi seluruh pegawai yang berkaitan dengan pelaksanaan pekerjaan.
Huruf f
Dalam hubungan pekerjaan, kemungkinan dapat terjadi pembayaran
imbalan yang diberikan kepada pegawai yang juga pemegang saham. Karena pada
dasarnya pengeluaran untuk mendapatkan, menagih, dan memelihara penghasilan yang
boleh dikurangkan dari penghasilan bruto adalah pengeluaran yang jumlahnya
wajar sesuai dengan kelaziman usaha, berdasarkan ketentuan ini jumlah yang
melebihi kewajaran tersebut tidak boleh dibebankan sebagai biaya. Misalnya,
seorang tenaga ahli yang merupakan pemegang saham dari suatu badan memberikan
jasa kepada badan tersebut dengan memperoleh imbalan sebesar Rp50.000.000,00
(lima puluh juta rupiah). Apabila untuk jasa yang sama yang diberikan oleh
tenaga ahli lain yang setara hanya dibayar sebesar Rp20.000.000,00 (dua puluh
juta rupiah), jumlah sebesar Rp30.000.000,00 (tiga puluh juta rupiah) tidak
boleh dibebankan sebagai biaya. Bagi tenaga ahli yang juga sebagai pemegang
saham tersebut jumlah sebesar Rp30.000.000,00 (tiga puluh juta rupiah) dimaksud
dianggap sebagai dividen.
Huruf g
Cukup jelas.
Huruf h
Yang dimaksudkan dengan Pajak Penghasilan dalam ketentuan ini
adalah Pajak Penghasilan yang terutang oleh Wajib Pajak yang bersangkutan.
Huruf i
Biaya untuk keperluan pribadi Wajib Pajak atau orang yang menjadi
tanggungannya, pada hakekatnya merupakan penggunaan penghasilan oleh Wajib
Pajak yang bersangkutan. Oleh karena itu biaya tersebut tidak boleh dikurangkan
dari penghasilan bruto perusahaan.
Huruf j
Anggota firma, persekutuan dan perseroan komanditer yang modalnya
tidak terbagi atas saham diperlakukan sebagai satu kesatuan, sehingga tidak ada
imbalan sebagai gaji. Dengan demikian gaji yang diterima oleh anggota persekutuan,
firma, atau perseroan komanditer yang modalnya tidak terbagi atas saham, bukan
merupakan pembayaran yang boleh dikurangkan dari penghasilan bruto badan
tersebut.
Huruf k
Cukup jelas.
Ayat (2)
Sesuai dengan kelaziman usaha, pengeluaran yang mempunyai peranan
terhadap penghasilan untuk beberapa tahun, pembebanannya dilakukan sesuai
dengan jumlah tahun lamanya pengeluaran tersebut berperan terhadap penghasilan.
Sejalan dengan prinsip penyelarasan antara pengeluaran dengan penghasilan,
dalam ketentuan ini pengeluaran untuk mendapatkan, menagih, dan memelihara
penghasilan yang mempunyai masa manfaat lebih dari 1 (satu) tahun tidak dapat dikurangkan
sebagai biaya perusahaan sekaligus pada tahun pengeluaran, melainkan dibebankan
melalui penyusutan dan amortisasi selama masa manfaatnya sebagaimana diatur
dalam Pasal 11 dan Pasal 11A.
Angka 9
Pasal 11
Ayat (1) dan ayat (2)
Pengeluaran untuk memperoleh harta berwujud yang mempunyai
masa manfaat lebih dari 1 (satu) tahun harus dibebankan sebagai biaya untuk
mendapatkan, menagih, dan memelihara penghasilan dengan cara mengalokasikan pengeluaran
tersebut selama masa manfaat harta berwujud melalui penyusutan.
Pengeluaran-pengeluaran untuk memperoleh tanah hak milik, termasuk tanah
berstatus hak guna bangunan, hak guna usaha, dan hak pakai yang pertama kali
tidak boleh disusutkan, kecuali apabila tanah tersebut dipergunakan dalam
perusahaan atau dimiliki untuk memperoleh penghasilan dengan syarat nilai tanah
tersebut berkurang karena penggunaannya untuk memperoleh penghasilan, misalnya
tanah dipergunakan untuk perusahaan genteng, perusahaan keramik, atau
perusahaan batu bata. Yang dimaksud dengan “pengeluaran untuk memperoleh tanah hak
guna bangunan, hak guna usaha, dan hak pakai yang pertama kali” adalah biaya
perolehan tanah berstatus hak guna bangunan, hak guna usaha, dan hak pakai dari
pihak ketiga dan pengurusan hak-hak tersebut dari instansi yang berwenang untuk
pertama kalinya, sedangkan biaya perpanjangan hak guna bangunan, hak guna
usaha, dan hak pakai diamortisasikan selama jangka waktu hak-hak tersebut. Metode
penyusutan yang dibolehkan berdasarkan ketentuan ini dilakukan:
a.
dalam bagian-bagian yang sama besar selama
masa manfaat yang ditetapkan bagi harta tersebut (metode garis lurus atau straight-line
method); atau
b.
dalam bagian-bagian yang menurun dengan cara menerapkan
tarif penyusutan atas nilai sisa buku (metode saldo menurun atau declining
balance method). Penggunaan metode penyusutan atas harta harus dilakukan secara
taat asas. Untuk harta berwujud berupa bangunan hanya dapat disusutkan dengan
metode garis lurus. Harta berwujud selain bangunan dapat disusutkan dengan
metode garis lurus atau metode saldo menurun. Dalam hal Wajib Pajak memilih
menggunakan metode saldo menurun, nilai sisa buku pada akhir masa manfaat harus
disusutkan sekaligus. Sesuai dengan pembukuan Wajib Pajak, alat-alat kecil (small
tools) yang sama atau sejenis dapat disusutkan dalam satu golongan.
Contoh penggunaan
metode garis lurus:
Sebuah gedung
yang harga perolehannya Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah) dan masa
manfaatnya 20 (dua puluh) tahun, penyusutannya setiap tahun adalah sebesar Rp50.000.000,00
(Rp1.000.000.000,00 : 20).
Contoh penggunaan metode saldo menurun:
Sebuah mesin yang dibeli dan ditempatkan pada bulan Januari 2009
dengan harga perolehan sebesar Rp150.000.000,00 (seratus lima puluh juta
rupiah). Masa manfaat dari mesin tersebut adalah 4 (empat) tahun. Kalau tarif
penyusutan misalnya ditetapkan 50% (lima puluh persen), penghitungan penyusutannya
adalah sebagai berikut.
Tahun
|
Tarif
|
Penyusutan
|
Nilai Sisa Buku
|
Harga Perolehan
|
150.000.000,00
|
||
2009
|
50%
|
75.000.000,00
|
75.000.000,00
|
2010
|
50%
|
37.500.000,00
|
37.500.000,00
|
2011
|
50%
|
18.750.000,00
|
18.750.000,00
|
2012
|
Disusutkan sekaligus
|
18.750.000,00
|
0
|
Ayat (3)
Penyusutan dimulai pada bulan dilakukannya pengeluaran atau
pada bulan selesainya pengerjaan suatu harta sehingga penyusutan pada tahun
pertama dihitung secara pro-rata.
Contoh 1:
Pengeluaran untuk pembangunan sebuah gedung adalah sebesar
Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah). Pembangunan dimulai pada bulan Oktober
2009 dan selesai untuk digunakan pada bulan Maret 2010. Penyusutan atas harga
perolehan bangunan gedung tersebut dimulai pada bulan Maret tahun pajak 2010.
Contoh 2:
Sebuah mesin yang dibeli dan ditempatkan pada bulan Juli 2009
dengan harga perolehan sebesar Rp100.000.000,00 (seratus juta rupiah). Masa
manfaat dari mesin tersebut adalah 4 (empat) tahun. Kalau tarif penyusutan
misalnya ditetapkan 50% (lima puluh persen), maka penghitungan penyusutannya adalah
sebagai berikut.
Tahun
|
Tarif
|
Penyusutan
|
Nilai Sisi Buku
|
Harga
|
Perolehan
|
|
100.000.000,00
|
2009
|
6/12 X 50%
|
25.000.000,00
|
75.000.000,00
|
2010
|
50%
|
37.500.000,00
|
37.500.000,00
|
2011
|
50%
|
18.750.000,00
|
18.750.000,00
|
2012
|
50%
|
9.375.000,00
|
9.375.000,00
|
2013
|
Disusutkan
sekaligus
|
9.375.000,00
|
0
|
Ayat (4)
Berdasarkan persetujuan Direktur Jenderal Pajak, saat mulainya
penyusutan dapat dilakukan pada bulan harta tersebut digunakan untuk
mendapatkan, menagih, dan memelihara penghasilan atau pada bulan harta tersebut
mulai menghasilkan. Saat mulai menghasilkan dalam ketentuan ini dikaitkan
dengan saat mulai berproduksi dan tidak dikaitkan dengan saat diterima atau
diperolehnya penghasilan.
Contoh:
PT X yang bergerak di bidang perkebunan membeli traktor pada tahun
2009. Perkebunan tersebut mulai menghasilkan (panen) pada tahun 2010. Dengan
persetujuan Direktur Jenderal Pajak, penyusutan traktor tersebut dapat
dilakukan mulai tahun 2010.
Ayat (5)
Cukup jelas.
Ayat (6)
Untuk memberikan kepastian hukum bagi Wajib Pajak dalam melakukan
penyusutan atas pengeluaran harta berwujud, ketentuan ini mengatur kelompok
masa manfaat harta dan tarif penyusutan baik menurut metode garis lurus maupun
saldo menurun. Yang dimaksud dengan “bangunan tidak permanen” adalah bangunan
yang bersifat sementara dan terbuat dari bahan yang tidak tahan lama atau
bangunan yang dapat dipindahpindahkan, yang masa manfaatnya tidak lebih dari 10
(sepuuh) tahun, misalnya barak atau asrama yang dibuat dari kayu untuk
karyawan.
Ayat (7)
Dalam rangka menyesuaikan dengan karakteristik bidangbidang usaha
tertentu, seperti perkebunan tanaman keras, kehutanan, dan peternakan, perlu
diberikan pengaturan tersendiri untuk penyusutan harta berwujud yang digunakan dalam
bidang-bidang usaha tertentu tersebut yang ketentuannya diatur dengan atau
berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan.
Ayat (8) dan ayat (9)
Pada dasarnya keuntungan atau kerugian karena pengalihan harta
dikenai pajak dalam tahun dilakukannya pengalihan harta tersebut. Apabila harta
tersebut dijual atau terbakar, maka penerimaan neto dari penjualan harta
tersebut, yaitu selisih antara harga penjualan dan biaya yang dikeluarkan
berkenaan dengan penjualan tersebut dan atau penggantian asuransinya, dibukukan
sebagai penghasilan pada tahun terjadinya penjualan atau tahun diterimanya
penggantian asuransi, dan nilai sisa
buku dari harta tersebut dibebankan sebagai kerugian dalam tahun pajak yang bersangkutan.Dalam
hal penggantian asuransi yang diterima jumlahnya baru dapat diketahui dengan
pasti pada masa kemudian, Wajib Pajak dapat mengajukan permohonan kepada
Direktur Jenderal Pajak agar jumlah sebesar kerugian tersebut dapat dibebankan dalam
tahun penggantian asuransi tersebut.
Ayat (10)
Menyimpang dari ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (8),
dalam hal pengalihan harta berwujud yang memenuhi syarat sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 4 ayat (3) huruf a dan huruf b, nilai sisa bukunya tidak boleh
dibebankan sebagai kerugian oleh pihak yang mengalihkan.
Ayat (11)
Dalam rangka memberikan keseragaman kepada Wajib Pajak untuk
melakukan penyusutan, Menteri Keuangan diberi wewenang menetapkan jenis-jenis
harta yang termasuk dalam setiap kelompok dan masa manfaat yang harus diikuti
oleh Wajib Pajak.
Angka 10
Pasal 11A
Ayat (1)
Harga perolehan harta tak berwujud dan pengeluaran lainnya termasuk
biaya perpanjangan hak guna bangunan, hak guna usaha, hak pakai, dan muhibah (goodwill)
yang mempunyai masa manfaat lebih dari 1 (satu) tahun
diamortisasi dengan metode:
a.
dalam bagian-bagian yang sama setiap tahun
selama masa manfaat; atau
b.
dalam bagian-bagian yang menurun setiap tahun
dengan cara menerapkan tarif amortisasi atas nilai sisa buku. Khusus untuk amortisasi
harta tak berwujud yang menggunakan metode saldo menurun, pada akhir masa manfaat
nilai sisa buku harta tak berwujud atau hak-hak tersebut diamortisasi
sekaligus.
Ayat (1a)
Amortisasi dimulai pada bulan dilakukannya pengeluaran sehingga
amortisasi pada tahun pertama dihitung secara prorata. Dalam rangka
menyesuaikan dengan karakteristik bidangbidang usaha tertentu perlu diberikan
pengaturan tersendiri untuk amortisasi yang ketentuannya diatur lebih lanjut
dengan Peraturan Menteri Keuangan.
Ayat (2)
Penentuan masa manfaat dan tarif amortisasi atas pengeluaran harta
tak berwujud dimaksudkan untuk memberikan keseragaman bagi Wajib Pajak dalam
melakukan amortisasi. Wajib Pajak dapat melakukan amortisasi sesuai dengan
metode yang dipilihnya sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berdasarkan masa
manfaat yang sebenarnya dari tiap harta tak berwujud. Tarif amortisasi yang
diterapkan didasarkan pada kelompok masa manfaat sebagaimana yang diatur dalam ketentuan
ini. Untuk harta tidak berwujud yang masa manfaatnya tidak tercantum pada
kelompok masa manfaat yang ada, maka Wajib Pajak menggunakan masa manfaat yang terdekat.
Misalnya harta tak berwujud dengan masa manfaat yang sebenarnya 6 (enam) tahun
dapat menggunakan kelompok masa manfaat 4 (empat) tahun atau 8 (delapan) tahun.
Dalam hal masa manfaat yang sebenarnya 5 (lima) tahun, maka harta tak berwujud
tersebut diamortisasi dengan menggunakan kelompok masa manfaat 4 (empat) tahun.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Metode satuan produksi dilakukan dengan menerapkan persentase
tarif amortisasi yang besarnya setiap tahun sama dengan persentase perbandingan
antara realisasi penambangan minyak dan gas bumi pada tahun yang bersangkutan
dengan taksiran jumlah seluruh kandungan minyak dan gas bumi di lokasi tersebut
yang dapat diproduksi. Apabila ternyata jumlah produksi yang sebenarnya lebih
kecil dari yang diperkirakan, sehingga masih
terdapat sisa pengeluaran untuk memperoleh hak atau pengeluaran lain, maka atas
sisa pengeluaran tersebut boleh dibebankan sekaligus dalam tahun pajak yang
bersangkutan.
Ayat (5)
Pengeluaran untuk memperoleh hak penambangan selain minyak
dan gas bumi, hak pengusahaan hutan, dan hak pengusahaan sumber alam serta
hasil alam lainnya seperti hak pengusahaan hasil laut diamortisasi berdasarkan
metode satuan produksi dengan jumlah paling tinggi 20% (dua puluh persen)
setahun.
Contoh:
Pengeluaran untuk memperoleh hak pengusahaan hutan, yang mempunyai
potensi 10.000.000 (sepuluh juta) ton kayu, sebesar Rp500.000.000,00 (lima
ratus juta rupiah) diamortisasi sesuai dengan persentase satuan produksi yang
direalisasikan dalam tahun yang bersangkutan. Jika dalam 1 (satu) tahun pajak
ternyata jumlah produksi mencapai 3.000.000 (tiga juta) ton yang berarti 30%
(tiga puluh persen) dari potensi yang tersedia, walaupun jumlah produksi pada
tahun tersebut mencapai 30% (tiga puluh persen) dari jumlah potensi yang tersedia,
besarnya amortisasi yang diperkenankan untuk dikurangkan dari penghasilan bruto
pada tahun tersebut adalah 20% (dua puluh persen) dari pengeluaran atau Rp100.000.000,00
(seratus juta rupiah).
Ayat (6)
Dalam pengertian pengeluaran yang dilakukan sebelum operasi komersial,
adalah biaya-biaya yang dikeluarkan sebelum operasi
komersial, misalnya biaya studi kelayakan dan biaya produksi percobaan tetapi tidak
termasuk biaya-biaya operasional yang sifatnya rutin, seperti gaji pegawai,
biaya rekening listrik dan telepon, dan biaya kantor lainnya. Untuk pengeluaran
operasional yang rutin ini tidak boleh dikapitalisasi tetapi dibebankan
sekaligus pada tahun pengeluaran.
Ayat (7)
Contoh:
PT X mengeluarkan biaya untuk memperoleh hak penambangan
minyak dan gas bumi di suatu lokasi sebesar Rp500.000.000,00. Taksiran jumlah
kandungan minyak di daerah tersebut adalah sebanyak 200.000.000 (dua ratus
juta) barel. Setelah produksi minyak dan gas bumi mencapai 100.000.000 (seratus
juta) barel, PT X menjual hak penambangan tersebut kepada pihak lain dengan
harga sebesar Rp300.000.000,00. Penghitungan penghasilan dan kerugian dari
penjualan hak tersebut adalah sebagai berikut:
Harga perolehan Rp500.000.000,00
Amortisasi yang telah dilakukan:
100.000.000/200.000.000 barel (50%) Rp250.000.000,00
Nilai buku harta Rp250.000.000,00
Harga jual harta Rp300.000.000,00
Dengan demikian jumlah nilai sisa buku sebesar Rp250.000.000,00
dibebankan sebagai kerugian dan jumlah sebesar Rp300.000.000,00 dibukukan
sebagai penghasilan.
Ayat (8)
Cukup jelas.
Angka 11
Pasal 14
Informasi yang benar dan lengkap tentang penghasilan Wajib
Pajak sangat penting untuk dapat mengenakan pajak yang adil dan wajar sesuai
dengan kemampuan ekonomis Wajib Pajak. Untuk dapat menyajikan informasi
dimaksud, Wajib Pajak harus menyelenggarakan pembukuan. Namun, disadari bahwa
tidak semua Wajib Pajak mampu menyelenggarakan pembukuan. Semua Wajib Pajak
badan dan bentuk usaha tetap diwajibkan menyelenggarakan pembukuan. Wajib Pajak
orang pribadi yang menjalankan usaha atau melakukan pekerjaan bebas dengan jumlah
peredaran bruto tertentu tidak diwajibkan untuk menyelenggarakan pembukuan. Untuk
memberikan kemudahan dalam menghitung besarnya penghasilan neto bagi Wajib
Pajak orang pribadi yang menjalankan usaha atau pekerjaan bebas dengan
peredaran bruto tertentu, Direktur Jenderal Pajak menerbitkan norma
penghitungan.
Ayat (1)
Norma Penghitungan adalah pedoman untuk menentukan besarnya
penghasilan neto yang diterbitkan oleh Direktur Jenderal Pajak dan
disempurnakan terus-menerus. Penggunaan Norma Penghitungan tersebut pada
dasarnya dilakukan dalam hal-hal:
a.
tidak terdapat dasar penghitungan yang lebih
baik, yaitu pembukuan yang lengkap, atau
b.
pembukuan atau catatan peredaran bruto Wajib
Pajak ternyata diselenggarakan secara tidak benar. Norma Penghitungan disusun
sedemikian rupa berdasarkan hasil penelitian atau data lain, dan dengan
memperhatikan kewajaran. Norma Penghitungan akan sangat membantu Wajib Pajak
yang belum mampu menyelenggarakan pembukuan untuk menghitung penghasilan neto.
Ayat (2)
Norma Penghitungan Penghasilan Neto hanya boleh digunakan oleh
Wajib Pajak orang pribadi yang melakukan kegiatan usaha atau pekerjaan bebas
yang peredaran brutonya kurang dari jumlah Rp4.800.000.000,00 (empat miliar
delapan ratus juta rupiah). Untuk
dapat menggunakan Norma Penghitungan Penghasilan Neto tersebut, Wajib Pajak
orang pribadi harus memberitahukan kepada Direktur Jenderal Pajak dalam jangka waktu
3 (tiga) bulan pertama dari tahun pajak yang bersangkutan.
Ayat (3)
Wajib Pajak orang pribadi yang menggunakan Norma Penghitungan
Penghasilan Neto tersebut wajib menyelenggarakan pencatatan tentang peredaran
brutonya sebagaimana diatur dalam Undang-Undang yang mengatur mengenai
ketentuan umum dan tata cara perpajakan. Pencatatan tersebut dimaksudkan untuk
memudahkan penerapan norma dalam menghitung penghasilan neto.
Ayat (4)
Apabila Wajib Pajak orang pribadi yang berhak bermaksud untuk
menggunakan Norma Penghitungan Penghasilan Neto, tetapi tidak memberitahukannya
kepada Direktur Jenderal Pajak dalam jangka waktu yang ditentukan, Wajib Pajak tersebut
dianggap memilih menyelenggarakan pembukuan.
Ayat (5)
Wajib Pajak yang wajib menyelenggarakan pembukuan, wajib menyelenggarakan
pencatatan, atau dianggap memilih menyelenggarakan pembukuan, tetapi:
a.
tidak atau tidak sepenuhnya menyelenggarakan
kewajiban pencatatan atau pembukuan; atau
b.
tidak bersedia memperlihatkan pembukuan atau
pencatatan atau bukti-bukti pendukungnya pada waktu dilakukan pemeriksaan sehingga
mengakibatkan peredaran bruto dan penghasilan neto yang sebenarnya tidak
diketahui maka peredaran bruto Wajib Pajak yang bersangkutan dihitung dengan
cara lain yang diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan dan penghasilan
netonya dihitung dengan menggunakan Norma Penghitungan Penghasilan Neto.
Ayat (6)
Cukup jelas.
Ayat (7)
Menteri Keuangan dapat menyesuaikan besarnya batas peredaran
bruto sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dengan memerhatikan perkembangan
ekonomi dan kemampuan masyarakat Wajib Pajak untuk menyelenggarakan pembukuan.
Angka 12
Pasal 16
Penghasilan Kena Pajak merupakan dasar penghitungan untuk menentukan
besarnya Pajak Penghasilan yang terutang. Dalam Undang-Undang ini dikenal dua
golongan Wajib Pajak, yaitu Wajib Pajak dalam negeri dan Wajib Pajak luar
negeri. Bagi Wajib Pajak dalam negeri pada dasarnya terdapat dua cara untuk
menentukan besarnya Penghasilan Kena Pajak, yaitu penghitungan dengan cara
biasa dan penghitungan dengan menggunakan Norma Penghitungan. Di samping itu
terdapat cara penghitungan dengan mempergunakan Norma Penghitungan Khusus, yang
diperuntukkan bagi Wajib Pajak tertentu yang diatur dengan atau berdasarkan
Peraturan Menteri Keuangan. Bagi Wajib Pajak luar negeri penentuan besarnya
Penghasilan Kena Pajak dibedakan antara:
1.
Wajib Pajak luar negeri yang menjalankan
usaha atau melakukan kegiatan melalui suatu bentuk usaha tetap di Indonesia;
dan
2.
Wajib Pajak luar negeri lainnya.
Ayat (1)
Bagi Wajib Pajak dalam negeri yang menyelenggarakan pembukuan,
Penghasilan Kena Pajaknya dihitung dengan menggunakan cara penghitungan biasa
dengan contoh sebagai berikut.
- Peredaran bruto Rp6.000.000.000,00
- Biaya untuk mendapatkan, menagih,
dan memelihara penghasilan Rp5.400.000.000,00(-)
- Laba usaha (penghasilan neto usaha) Rp 600.000.000,00
- Penghasilan lainnya Rp50.000.000,00
- Biaya untuk mendapatkan,
menagih, dan memelihara
penghasilan lainnya
tersebut Rp 30.000.000,00(-)
Rp 20.000.000,00(+)
- Jumlah seluruh penghasilan neto Rp620.000.000,00
- Kompensasi kerugian Rp 10.000.000,00(-)
- Penghasilan Kena Pajak
(bagi Wajib Pajak badan) Rp
610.000.000,00
- Pengurangan berupa Penghasilan
Tidak Kena Pajak untuk Wajib Pajak
orang pribadi (isteri + 2 anak) Rp 19.800.000,00(-)
- Penghasilan Kena Pajak
(bagi Wajib Pajak orang pribadi) Rp 590.200. 000,00
Ayat (2)
Bagi Wajib Pajak orang pribadi yang berhak untuk tidak menyelenggarakan
pembukuan, Penghasilan Kena Pajaknya dihitung dengan menggunakan Norma
Penghitungan Penghasilan Neto dengan contoh sebagai berikut.
- Peredaran bruto Rp4.000.000.000,00
- Penghasilan neto (menurut Norma
Penghitungan) misalnya 20% Rp
800.000.000,00
- Penghasilan neto lainnya Rp 5.000.000,00(+)
- Jumlah seluruh penghasilan neto Rp 805.000.000,00
- Penghasilan Tidak Kena Pajak
(isteri + 3 anak) Rp
21.120.000,00(-)
- Penghasilan Kena Pajak Rp 783.880.000,00
Ayat (3)
Bagi Wajib Pajak luar negeri yang menjalankan usaha atau melakukan
kegiatan melalui suatu bentuk usaha tetap di Indonesia, cara penghitungan
Penghasilan Kena Pajaknya pada dasarnya sama dengan cara penghitungan
Penghasilan Kena Pajak bagi Wajib Pajak badan dalam negeri. Karena bentuk usaha
tetap berkewajiban untuk menyelenggarakan pembukuan, Penghasilan Kena Pajaknya
dihitung dengan cara penghitungan biasa.
Contoh:
- Peredaran bruto Rp 10.000.000.000,00
- Biaya untuk mendapatkan, menagih,
dan memelihara penghasilan Rp
8.000.000.000,00(-)
Rp 2.000.000.000,00
- Penghasilan bunga Rp 50.000.000,00
- Penjualan langsung barang
yang sejenis
dengan barang yang dijual
bentuk usaha tetap
oleh kantor pusat Rp
2.000.000.000,00
- Biaya untuk mendapatkan,
menagih, dan memelihara
penghasilan Rp
1.500.000.000,00(-)
Rp 500.000.000,00
Dividen yang diterima atau diperoleh
kantor pusat yang mempunyai hubungan
efektif dengan bentuk usaha tetap Rp 1.000.000.000,00(+)
Rp 3.550.000.000,00
- Biaya-biaya menurut Pasal 5 ayat (3) Rp 450.000.000,00(-)
- Penghasilan Kena Pajak Rp
3.100.000.000,00
Ayat (4)
Contoh:
Orang pribadi tidak kawin yang kewajiban pajak subjektifnya sebagai
subjek pajak dalam negeri adalah 3 (tiga) bulan dan dalam jangka waktu tersebut
memperoleh penghasilan sebesar Rp150.000.000,00 (seratus lima puluh juta
rupiah) maka penghitungan Penghasilan Kena Pajaknya adalah sebagai berikut.
Penghasilan selama 3 (tiga) bulan Rp 150.000.000,00
Penghasilan setahun sebesar:
(360 : (3x30)) x Rp150.000.000,00 Rp600.000.000,00
Penghasilan Tidak Kena Pajak Rp
15.840.000,00(-)
Penghasilan Kena Pajak Rp584.160.000,00
Angka 13
Pasal 17
Ayat (1)
Huruf a
Contoh penghitungan pajak yang terutang untuk Wajib Pajak orang
pribadi:
Jumlah Penghasilan Kena Pajak Rp600.000.000,00. Pajak
Penghasilan yang terutang:
5% x Rp50.000.000,00 = Rp2.500.000,00
15% x Rp200.000.000,00 = Rp30.000.000,00
25% x Rp250.000.000,00 = Rp62.500.000,00
30% x Rp100.000.000,00 = Rp30.000.000,00 (+)
Rp125.000.000,00
Huruf b
Contoh penghitungan pajak yang terutang untuk Wajib Pajak badan
dalam negeri dan bentuk usaha tetap:
Jumlah Penghasilan Kena Pajak Rp1.250.000.000,00
Pajak Penghasilan yang terutang:
28% x Rp1.250.000.000,00 = Rp350.000.000,00
Ayat (2)
Perubahan tarif sebagaimana dimaksud pada ayat ini akan diberlakukan
secara nasional dimulai per 1 Januari, diumumkan selambat-lambatnya 1 (satu)
bulan sebelum tarif baru itu berlaku efektif, serta dikemukakan oleh Pemerintah
kepada Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia untuk dibahas dalam rangka
penyusunan Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara.
Ayat (2a)
Cukup jelas.
Ayat (2b)
Cukup jelas.
Ayat (2c)
Cukup jelas.
Ayat (2d)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Besarnya lapisan Penghasilan Kena Pajak sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) huruf a tersebut akan disesuaikan dengan faktor penyesuaian,
antara lain tingkat inflasi, yang ditetapkan dengan Keputusan Menteri Keuangan.
Ayat (4)
Contoh:
Penghasilan Kena Pajak sebesar Rp5.050.900,00 untuk penerapan
tarif dibulatkan ke bawah menjadi Rp5.050.000,00.
Ayat (5) dan ayat (6)
Contoh:
Penghasilan Kena Pajak setahun (dihitung sesuai dengan ketentuan
dalam Pasal 16 ayat (4)): Rp584.160.000,00
Pajak Penghasilan setahun:
5% x Rp 50.000.000,00 =
Rp 2.500.000,00
15% x Rp 200.000.000,00 =
Rp 30.000.000,00
25% x Rp250.000.000,00 =
Rp 62.500.000,00
30%x Rp84.160.000,00 =
Rp 25.248.000,00(+)
Rp 120.248.000,00
Pajak Penghasilan yang terutang dalam bagian tahun pajak (3
bulan) ((3 x 30) : 360) x Rp120.248.000,00 = Rp30.062.000,00
Ayat (7)
Ketentuan pada ayat ini memberi wewenang kepada Pemerintah untuk
menentukan tarif pajak tersendiri yang dapat bersifat final atas jenis
penghasilan tertentu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (2), sepanjang
tidak lebih tinggi dari tarif pajak tertinggi sebagaimana dimaksud pada ayat
(1). Penentuan tarif pajak tersendiri tersebut didasarkan atas pertimbangan kesederhanaan,
keadilan, dan pemerataan dalam pengenaan pajak.
Angka 14
Pasal 18
Ayat (1)
Undang-Undang ini memberi wewenang kepada Menteri Keuangan
untuk memberi keputusan tentang besarnya perbandingan antara utang dan modal
perusahaan yang dapat dibenarkan untuk keperluan penghitungan pajak. Dalam
dunia usaha terdapat tingkat perbandingan tertentu yang wajar mengenai besarnya
perbandingan antara utang dan modal (debt to
equity ratio). Apabila perbandingan antara utang dan modal
sangat besar melebihi batas-batas kewajaran, pada umumnya perusahaan
tersebut dalam keadaan tidak sehat. Dalam hal demikian, untuk penghitungan
Penghasilan Kena Pajak, Undang-Undang ini menentukan adanya modal terselubung.
Istilah modal di sini menunjuk kepada istilah atau pengertian
ekuitas menurut standar akuntansi, sedangkan yang dimaksud dengan “kewajaran
atau kelaziman usaha” adalah adat kebiasaan atau praktik menjalankan usaha atau
melakukan kegiatan yang sehat dalam dunia usaha.
Ayat (2)
Dengan makin berkembangnya ekonomi dan perdagangan internasional
sejalan dengan era globalisasi dapat terjadi bahwa Wajib Pajak dalam negeri
menanamkan modalnya di luar negeri. Untuk mengurangi kemungkinan penghindaran
pajak, terhadap penanaman modal di luar negeri selain pada badan usaha yang
menjual sahamnya di bursa efek, Menteri Keuangan berwenang untuk menentukan
saat diperolehnya dividen.
Contoh:
PT A dan PT B masing-masing memiliki saham sebesar 40% dan 20%
pada X Ltd. yang bertempat kedudukan di negara Q.
Saham X Ltd. tersebut tidak diperdagangkan di bursa efek.
Dalam tahun 2009 X Ltd. memperoleh laba setelah pajak sejumlah
Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).
Dalam hal demikian, Menteri Keuangan berwenang menetapkan saat
diperolehnya dividen dan dasar penghitungannya.
Ayat (3)
Maksud diadakannya ketentuan ini adalah untuk mencegah terjadinya
penghindaran pajak yang dapat terjadi karena adanya hubungan istimewa. Apabila
terdapat hubungan istimewa, kemungkinan dapat terjadi penghasilan dilaporkan kurang
dari semestinya ataupun pembebanan biaya melebihi dari yang seharusnya. Dalam
hal demikian, Direktur Jenderal Pajak berwenang untuk menentukan kembali
besarnya penghasilan dan/atau biaya sesuai dengan keadaan seandainya di antara
para Wajib Pajak tersebut tidak terdapat hubungan istimewa. Dalam menentukan
kembali jumlah penghasilan dan/atau biaya tersebut digunakan metode
perbandingan harga antara pihak yang independen (comparable
uncontrolled price method), metode harga penjualan kembali (resale
price method), metode biaya-plus (cost-plus
method), atau metode lainnya seperti metode pembagian laba (profit
split method) dan metode laba bersih transaksional (transactional
net margin method).
Demikian pula kemungkinan terdapat penyertaan modal secara terselubung,
dengan menyatakan penyertaan modal tersebut sebagai utang maka Direktur
Jenderal Pajak berwenang untuk menentukan utang tersebut sebagai modal
perusahaan.
Penentuan tersebut dapat dilakukan, misalnya melalui indikasi
mengenai perbandingan antara modal dan utang yang lazim terjadi di antara para
pihak yang tidak dipengaruhi oleh hubungan istimewa atau berdasar data atau
indikasi lainnya.
Dengan demikian, bunga yang dibayarkan sehubungan dengan utang
yang dianggap sebagai penyertaan modal itu tidak diperbolehkan untuk
dikurangkan, sedangkan bagi pemegang saham yang menerima atau memperoleh bunga
tersebut dianggap sebagai dividen yang dikenai pajak.
Ayat (3a)
Kesepakatan harga transfer (Advance
Pricing Agreement/APA) adalah kesepakatan antara Wajib Pajak dan Direktur
Jenderal Pajak mengenai harga jual wajar produk yang dihasilkannya kepada
pihak-pihak yang mempunyai hubungan istimewa (related
parties) dengannya. Tujuan diadakannya APA adalah untuk mengurangi
terjadinya praktik penyalahgunaan transfer pricing oleh
perusahaan multi nasional. Persetujuan antara Wajib Pajak dan Direktur Jenderal
Pajak tersebut dapat mencakup beberapa hal, antara lain harga jual produk yang dihasilkan,
dan jumlah royalti dan lain-lain, tergantung pada kesepakatan. Keuntungan dari
APA selain memberikan kepastian hukum dan kemudahan penghitungan pajak, Fiskus tidak
perlu melakukan koreksi atas harga jual dan keuntungan produk yang dijual Wajib
Pajak kepada perusahaan dalam grup yang sama. APA dapat bersifat unilateral,
yaitu merupakan kesepakatan antara Direktur Jenderal Pajak dengan Wajib Pajak
atau bilateral, yaitu kesepakatan Direktur Jenderal Pajak dengan otoritas
perpajakan negara lain yang menyangkut Wajib Pajak yang berada di wilayah
yurisdiksinya.
Ayat (3b)
Ketentuan ini dimaksudkan untuk mencegah penghindaran pajak
oleh Wajib Pajak yang melakukan pembelian saham/penyertaan pada suatu
perusahaan Wajib Pajak dalam negeri melalui perusahaan luar negeri yang didirikan
khusus untuk tujuan tersebut (special purpose company).
Ayat (3c)
Contoh:
X Ltd. yang didirikan dan berkedudukan di negara A, sebuah negara
yang memberikan perlindungan pajak (tax
haven country), memiliki 95% (sembilan puluh lima persen) saham PT X yang
didirikan dan bertempat kedudukan di Indonesia. X Ltd.
ini adalah suatu perusahaan antara (conduit
company) yang didirikan dan dimiliki sepenuhnya oleh Y Co., sebuah perusahaan
di negara B, dengan tujuan sebagai perusahaan antara dalam kepemilikannya atas
mayoritas saham PT X.
Apabila Y Co. menjual seluruh kepemilikannya atas saham X Ltd.
kepada PT Z yang merupakan Wajib Pajak dalam negeri, secara legal formal
transaksi di atas merupakan pengalihan saham perusahaan luar negeri oleh Wajib
Pajak luar negeri.
Namun, pada hakikatnya transaksi ini merupakan pengalihan kepemilikan
(saham) perseroan Wajib Pajak dalam negeri oleh Wajib Pajak luar negeri
sehingga atas penghasilan dari pengalihan ini terutang Pajak Penghasilan.
Ayat (3d)
Cukup jelas.
Ayat (3e)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Hubungan istimewa di antara Wajib Pajak dapat terjadi karena ketergantungan
atau keterikatan satu dengan yang lain yang disebabkan:
a. kepemilikan atau penyertaan modal; atau
b. adanya penguasaan melalui manajemen atau penggunaan teknologi.
Selain karena hal-hal tersebut, hubungan istimewa di antara Wajib
Pajak orang pribadi dapat pula terjadi karena adanya hubungan darah atau
perkawinan.
Huruf a
Hubungan istimewa dianggap ada apabila terdapat hubungan
kepemilikan yang berupa penyertaan modal sebesar 25% (dua puluh lima persen)
atau lebih secara langsung ataupun tidak langsung.
Misalnya, PT A mempunyai 50% (lima puluh persen) saham PT B.
Pemilikan saham oleh PT A merupakan penyertaan langsung.
Selanjutnya, apabila PT B mempunyai 50% (lima puluh persen)
saham PT C, PT A sebagai pemegang saham PT B secara tidak langsung mempunyai
penyertaan pada PT C sebesar 25% (dua puluh lima persen). Dalam hal demikian, antara
PT A, PT B, dan PT C dianggap terdapat hubungan istimewa. Apabila PT A juga memiliki
25% (dua puluh lima persen) saham PT D, antara PT B, PT C, dan PT D dianggap terdapat
hubungan istimewa.
Hubungan kepemilikan seperti di atas dapat juga terjadi antara
orang pribadi dan badan.
Huruf b
Hubungan istimewa di antara Wajib Pajak dapat juga terjadi karena
penguasaan melalui manajemen atau penggunaan teknologi walaupun tidak terdapat
hubungan kepemilikan.
Hubungan istimewa dianggap ada apabila satu atau lebih perusahaan
berada di bawah penguasaan yang sama.
Demikian juga hubungan di antara beberapa perusahaan yang
berada dalam penguasaan yang sama tersebut.
Huruf c
Yang dimaksud dengan “hubungan keluarga sedarah dalam garis
keturunan lurus satu derajat” adalah ayah, ibu, dan anak, sedangkan “hubungan
keluarga sedarah dalam garis keturunan ke samping satu derajat” adalah saudara.
Yang dimaksud dengan “keluarga semenda dalam garis keturunan
lurus satu derajat” adalah mertua dan anak tiri, sedangkan “hubungan keluarga
semenda dalam garis keturunan ke samping satu derajat” adalah ipar.
Ayat (5)
Cukup jelas.
Angka 15
Pasal 19
Ayat (1)
Adanya perkembangan harga yang mencolok atau perubahan kebijakan
di bidang moneter dapat menyebabkan kekurangserasian antara biaya dan
penghasilan, yang dapat mengakibatkan timbulnya beban pajak yang kurang wajar.
Dalam keadaan demikian, Menteri Keuangan diberi wewenang menetapkan
peraturan tentang penilaian kembali aktiva tetap (revaluasi) atau indeksasi
biaya dan penghasilan.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Angka 16
Pasal 21
Ayat (1)
Ketentuan ini mengatur tentang pembayaran pajak dalam tahun
berjalan melalui pemotongan pajak atas penghasilan yang diterima atau diperoleh
oleh Wajib Pajak orang pribadi dalam negeri sehubungan dengan pekerjaan, jasa,
dan kegiatan. Pihak yang wajib melakukan pemotongan pajak adalah pemberi kerja,
bendahara pemerintah, dana pensiun, badan, perusahaan, dan penyelenggara
kegiatan.
Huruf a
Pemberi kerja yang wajib melakukan pemotongan pajak adalah
orang pribadi ataupun badan yang merupakan induk, cabang, perwakilan, atau unit
perusahaan yang membayar atau terutang gaji, upah, tunjangan, honorarium, dan
pembayaran lain dengan nama apa pun kepada pengurus, pegawai atau bukan pegawai
sebagai imbalan sehubungan dengan pekerjaan, jasa, atau kegiatan yang dilakukan.
Dalam pengertian pemberi kerja termasuk juga organisasi internasional yang
tidak dikecualikan dari kewajiban memotong pajak.
Yang dimaksud dengan “pembayaran lain” adalah pembayaran
dengan nama apa pun selain gaji, upah, tunjangan, honorarium, dan pembayaran
lain, seperti bonus, gratifikasi, dan tantiem.
Yang dimaksud dengan “bukan pegawai” adalah orang pribadi
yang menerima atau memperoleh penghasilan dari pemberi kerja sehubungan dengan
ikatan kerja tidak tetap, misalnya artis yang menerima atau memperoleh
honorarium dari pemberi kerja.
Huruf b
Bendahara pemerintah termasuk bendahara Pemerintah Pusat,
Pemerintah Daerah, instansi atau lembaga pemerintah, lembaga-lembaga negara
lainnya, dan Kedutaan Besar Republik Indonesia di luar negeri yang membayar
gaji, upah, tunjangan, honorarium, dan pembayaran lain sehubungan dengan
pekerjaan, jasa, atau kegiatan.
Yang termasuk juga dalam pengertian bendahara adalah pemegang
kas dan pejabat lain yang menjalankan fungsi yang sama.
Huruf c
Yang termasuk “badan lain”, misalnya, adalah badan penyelenggara
jaminan sosial tenaga kerja yang membayarkan uang pensiun, tunjangan hari tua,
tabungan hari tua, dan pembayaran lain yang sejenis dengan nama apa pun.
Yang termasuk dalam pengertian uang pensiun atau pembayaran
lain adalah tunjangan-tunjangan baik yang dibayarkan secara berkala ataupun
tidak yang dibayarkan kepada penerima pensiun, penerima tunjangan hari tua, dan
penerima tabungan hari tua.
Huruf d
Yang termasuk dalam pengertian badan adalah organisasi internasional
yang tidak dikecualikan berdasarkan ayat (2).
Yang termasuk tenaga ahli orang pribadi, misalnya, adalah dokter,
pengacara, dan akuntan, yang melakukan pekerjaan bebas dan bertindak untuk dan
atas namanya sendiri, bukan untuk dan atas nama persekutuannya.
Huruf e
Penyelenggara kegiatan wajib memotong pajak atas pembayaran
hadiah atau penghargaan dalam bentuk apa pun yang diterima atau diperoleh Wajib
Pajak orang pribadi dalam negeri berkenaan dengan suatu kegiatan. Dalam pengertian
penyelenggara kegiatan termasuk antara lain badan, badan pemerintah, organisasi
termasuk organisasi internasional, perkumpulan, orang pribadi, serta lembaga lainnya
yang menyelenggarakan kegiatan. Kegiatan yang diselenggarakan, misalnya
kegiatan olahraga, keagamaan, dan kesenian.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Bagi pegawai tetap besarnya penghasilan yang dipotong pajak adalah
penghasilan bruto dikurangi dengan biaya jabatan, iuran pensiun, dan
Penghasilan Tidak Kena Pajak. Dalam pengertian iuran pensiun termasuk juga
iuran tunjangan hari tua atau tabungan hari tua yang dibayar oleh pegawai.
Bagi pensiunan besarnya penghasilan yang dipotong pajak adalah
jumlah penghasilan bruto dikurangi dengan biaya pensiun dan Penghasilan Tidak
Kena Pajak. Dalam pengertian pensiunan termasuk juga penerima tunjangan hari
tua atau tabungan hari tua.
Ayat (4)
Besarnya penghasilan yang dipotong pajak bagi pegawai harian,
mingguan, serta pegawai tidak tetap lainnya adalah jumlah penghasilan bruto
dikurangi dengan bagian penghasilan yang tidak dikenai pemotongan yang besarnya
ditetapkan dengan Peraturan Menteri Keuangan, dengan memerhatikan Penghasilan
Tidak Kena Pajak yang berlaku.
Ayat (5)
Cukup jelas.
Ayat (5a)
Kepemilikan Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP) dapat dibuktikan
oleh Wajib Pajak, antara lain, dengan cara menunjukkan kartu NPWP.
Contoh:
Penghasilan Kena Pajak sebesar Rp75.000.000,00
Pajak Penghasilan yang harus dipotong bagi Wajib Pajak yang memiliki
NPWP adalah:
5% x Rp50.000.000,00 =
Rp2.500.000,00
15% x Rp25.000.000,00 =
Rp3.750.000,00(+)
Jumlah Rp6.250.000,00
Pajak Penghasilan yang harus dipotong jika Wajib Pajak tidak memiliki
NPWP adalah:
5% x 120% x Rp50.000.000,00 =
Rp3.000.000,00
15% x 120% x Rp25.000.000,00 =
Rp4.500.000,00(+)
Jumlah Rp7.500.000,00
Ayat (6)
Cukup jelas.
Ayat (7)
Cukup jelas.
Ayat (8)
Cukup jelas.
Angka 17
Pasal 22
Ayat (1)
Berdasarkan ketentuan ini, yang dapat ditunjuk sebagai pemungut
pajak adalah:
-
bendahara pemerintah, termasuk bendahara pada
Pemerintah Pusat, Pemerintah Daerah, instansi atau lembaga pemerintah, dan
lembaga-lembaga negara lainnya, berkenaan dengan pembayaran atas penyerahan
barang, termasuk juga dalam pengertian bendahara adalah pemegang kas dan
pejabat lain yang menjalankan fungsi yang sama;
-
badan-badan tertentu, baik badan pemerintah
maupun swasta, berkenaan dengan kegiatan di bidang impor atau kegiatan usaha di
bidang lain, seperti kegiatan usaha produksi barang tertentu antara lain
otomotif dan semen;
dan
-
Wajib Pajak badan tertentu untuk memungut
pajak dari pembeli atas penjualan barang yang tergolong sangat mewah.
Pemungutan pajak oleh Wajib Pajak badan tertentu ini akan dikenakan terhadap
pembelian barang yang memenuhi kriteria tertentu sebagai barang yang tergolong sangat
mewah baik dilihat dari jenis barangnya maupun harganya, seperti kapal pesiar,
rumah sangat mewah, apartemen dan kondominium sangat mewah, serta kendaraan
sangat mewah.
Dalam pelaksanaan ketentuan ini Menteri Keuangan mempertimbangkan,
antara lain:
-
penunjukan pemungut pajak secara selektif,
demi pelaksanaan pemungutan pajak secara efektif dan efisien;
-
tidak mengganggu kelancaran lalu lintas
barang; dan
-
prosedur pemungutan yang sederhana sehingga
mudah dilaksanakan.
Pemungutan pajak berdasarkan ketentuan ini dimaksudkan untuk
meningkatkan peran serta masyarakat dalam pengumpulan dana melalui sistem
pembayaran pajak dan untuk tujuan kesederhanaan, kemudahan, dan pengenaan pajak
yang tepat waktu. Sehubungan dengan hal tersebut, pemungutan pajak berdasarkan
ketentuan ini dapat bersifat final.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Kepemilikan Nomor Pokok Wajib Pajak dapat dibuktikan oleh Wajib
Pajak, antara lain, dengan cara menunjukkan kartu Nomor Pokok Wajib Pajak.
Angka 18
Pasal 23
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (1a)
Kepemilikan Nomor Pokok Wajib Pajak dapat dibuktikan oleh Wajib
Pajak, antara lain, dengan cara menunjukkan kartu Nomor Pokok Wajib Pajak.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Angka 19
Pasal 24
Pada dasarnya Wajib Pajak dalam negeri terutang pajak atas seluruh
penghasilan, termasuk penghasilan yang diterima atau diperoleh dari luar
negeri. Untuk meringankan beban pajak ganda yang dapat terjadi karena pengenaan
pajak atas penghasilan yang diterima atau diperoleh di luar negeri, ketentuan
ini mengatur tentang perhitungan besarnya pajak atas penghasilan yang dibayar atau
terutang di luar negeri yang dapat dikreditkan terhadap pajak yang terutang
atas seluruh penghasilan Wajib Pajak dalam negeri.
Ayat (1)
Pajak atas penghasilan yang dibayar atau terutang di luar negeri
yang dapat dikreditkan terhadap pajak yang terutang di Indonesia hanyalah pajak
yang langsung dikenakan atas penghasilan yang diterima atau diperoleh Wajib
Pajak.
Contoh:
PT A di Indonesia merupakan pemegang saham tunggal dari Z Inc.
di Negara X. Z Inc. tersebut dalam tahun 1995 memperoleh keuntungan sebesar
US$100,000.00. Pajak Penghasilan yang berlaku di negara X adalah 48% dan Pajak
Dividen adalah 38%.
Penghitungan pajak atas dividen tersebut adalah sebagai berikut:
Keuntungan Z Inc US$
100,000.00
Pajak Penghasilan (Corporate
income tax)
atas Z Inc.: (48%) US$
48,000.00 (-)
US$ 52,000.00
Pajak atas dividen (38%) US$
19,760.00 (-)
Dividen yang dikirim ke Indonesia US$ 32,240.00
Pajak Penghasilan yang dapat dikreditkan terhadap seluruh Pajak
Penghasilan yang terutang atas PT A adalah pajak yang langsung dikenakan atas
penghasilan yang diterima atau diperoleh di luar negeri, dalam contoh di atas
yaitu jumlah sebesar US$19,760.00.
Pajak Penghasilan (Corporate
income tax) atas Z Inc. sebesar US$48,000.00 tidak dapat dikreditkan
terhadap Pajak Penghasilan yang terutang atas PT A, karena pajak sebesar US$48,000.00
tersebut tidak dikenakan langsung atas penghasilan yang diterima atau diperoleh
PT A dari luar negeri, melainkan pajak yang dikenakan atas keuntungan Z Inc. di
negara X.
Ayat (2)
Untuk memberikan perlakuan pemajakan yang sama antara penghasilan
yang diterima atau diperoleh dari luar negeri dan penghasilan yang diterima
atau diperoleh di Indonesia, maka besarnya pajak yang dibayar atau terutang di
luar negeri dapat dikreditkan terhadap pajak yang terutang di Indonesia tetapi tidak
boleh melebihi besarnya pajak yang dihitung berdasarkan Undang-undang ini. Cara
penghitungan besarnya pajak yang dapat dikreditkan ditetapkan oleh Menteri
Keuangan berdasarkan wewenang sebagaimana diatur pada ayat (6).
Ayat (3) dan (4)
Dalam perhitungan kredit pajak atas penghasilan yang dibayar atau
terutang di luar negeri yang dapat dikreditkan terhadap pajak yang terutang
menurut Undang-Undang ini, penentuan sumber penghasilan menjadi sangat penting.
Selanjutnya, ketentuan ini mengatur tentang penentuan sumber
penghasilan untuk memperhitungkan kredit pajak luar negeri tersebut.
Mengingat Undang-Undang ini menganut pengertian penghasilan
yang luas, maka sesuai dengan ketentuan pada ayat (4) penentuan sumber dari
penghasilan selain yang
tersebut pada ayat (3) dipergunakan prinsip yang sama dengan prinsip
sebagaimana dimaksud pada ayat (3) tersebut, misalnya A sebagai Wajib Pajak
dalam negeri memiliki sebuah rumah di Singapura dan dalam tahun 1995 rumah
tersebut dijual.
Keuntungan yang diperoleh dari penjualan rumah tersebut merupakan
penghasilan yang bersumber di Singapura karena rumah tersebut terletak di
Singapura.
Ayat (5)
Apabila terjadi pengurangan atau pengembalian pajak atas penghasilan
yang dibayar di luar negeri, sehingga besarnya pajak yang dapat dikreditkan di
Indonesia menjadi lebih kecil dari besarnya perhitungan semula, maka selisihnya
ditambahkan pada Pajak Penghasilan yang terutang menurut Undang-undang ini.
Misalnya, dalam tahun 1996, Wajib Pajak mendapat pengurangan pajak atas penghasilan
luar negeri tahun pajak 1995 sebesar Rp5.000.000,00 yang semula telah termasuk
dalam jumlah pajak yang dikreditkan terhadap pajak yang terutang untuk tahun
pajak 1995, maka jumlah sebesar Rp5.000.000,00 tersebut ditambahkan pada Pajak
Penghasilan yang terutang dalam tahun pajak 1996.
Ayat (6)
Cukup jelas.
Angka 20
Pasal 25
Ketentuan ini mengatur tentang penghitungan besarnya angsuran
bulanan yang harus dibayar oleh Wajib Pajak sendiri dalam tahun berjalan.
Ayat (1)
Contoh 1:
Pajak Penghasilan yang terutang berdasarkan Surat Pemberitahuan
Tahunan Pajak Penghasilan tahun 2009 Rp50.000.000,00
dikurangi:
a. Pajak Penghasilan yang dipotong
pemberi Kerja (Pasal 21) Rp15.000.000,00
b. Pajak Penghasilan yang dipungut
oleh pihak lain (Pasal 22) Rp10.000.000,00
c. Pajak Penghasilan yang dipotong
oleh pihak lain (Pasal 23) Rp
2.500.000,00
d. Kredit Pajak Penghasilan
luar negeri (Pasal 24) Rp
7.500.000,00 (+)
Jumlah kredit pajak Rp35.000.000,00
(-)
Selisih Rp15.000.000,00
Besarnya angsuran pajak yang harus dibayar sendiri setiap bulan
untuk tahun 2010 adalah sebesar Rp1.250.000,00 (Rp15.000.000,00 dibagi 12).
Contoh 2:
Apabila Pajak Penghasilan sebagaimana dimaksud dalam contoh
di atas berkenaan dengan penghasilan yang diterima atau diperoleh untuk bagian
tahun pajak yang meliputi masa 6 (enam) bulan dalam tahun 2009, besarnya
angsuran bulanan yang harus dibayar sendiri setiap bulan dalam tahun 2010 adalah
sebesar Rp2.500.000,00 (Rp15.000.000,00 dibagi 6).
Ayat (2)
Mengingat batas waktu penyampaian Surat Pemberitahuan Tahunan
Pajak Penghasilan bagi Wajib Pajak orang pribadi adalah akhir bulan ketiga
tahun pajak berikutnya dan bagi Wajib Pajak badan adalah akhir bulan keempat
tahun pajak berikutnya, besarnya angsuran pajak yang harus dibayar sendiri oleh
Wajib Pajak untuk bulan-bulan sebelum Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak
Penghasilan disampaikan belum dapat dihitung sesuai dengan ketentuan pada ayat
(1).
Berdasarkan ketentuan ini, besarnya angsuran pajak untuk bulan-bulan
sebelum Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan disampaikan sebelum batas
waktu penyampaian Surat Pemberitahuan Tahunan adalah sama dengan angsuran pajak
untuk bulan terakhir dari tahun pajak yang lalu.
Contoh:
Apabila Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan disampaikan
oleh Wajib Pajak orang pribadi pada bulan Februari 2010, besarnya angsuran
pajak yang harus dibayar Wajib Pajak tersebut untuk bulan Januari 2010 adalah
sebesar angsuran pajak bulan Desember 2009, misalnya sebesar Rp1.000.000,00
(satu juta rupiah).
Apabila dalam bulan September 2009 diterbitkan keputusan pengurangan
angsuran pajak menjadi nihil sehingga angsuran pajak sejak bulan Oktober sampai
dengan Desember 2009 menjadi nihil, besarnya angsuran pajak yang harus dibayar Wajib
Pajak untuk bulan Januari 2010 tetap sama dengan angsuran bulan Desember 2009,
yaitu nihil.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Apabila dalam tahun berjalan diterbitkan surat ketetapan
pajak untuk tahun pajak yang lalu, angsuran pajak dihitung berdasarkan surat
ketetapan pajak tersebut. Perubahan angsuran pajak tersebut berlaku mulai bulan
berikutnya setelah bulan diterbitkannya surat ketetapan pajak.
Contoh:
Berdasarkan Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan tahun
pajak 2009 yang disampaikan Wajib Pajak dalam bulan Februari 2010, perhitungan
besarnya angsuran pajak yang harus dibayar adalah sebesar Rp1.250.000,00 (satu
juta dua ratus lima puluh ribu rupiah). Dalam bulan Juni 2010 telah diterbitkan
surat ketetapan pajak tahun pajak 2009 yang menghasilkan besarnya angsuran pajak
setiap bulan sebesar Rp2.000.000,00 (dua juta rupiah).
Berdasarkan ketentuan dalam ayat ini, besarnya angsuran pajak
mulai bulan Juli 2010 adalah sebesar Rp2.000.000,00 (dua juta rupiah).
Penetapan besarnya angsuran pajak berdasarkan surat ketetapan pajak tersebut
bisa sama, lebih besar, atau lebih kecil dari angsuran pajak sebelumnya berdasarkan
Surat Pemberitahuan Tahunan.
Ayat (5)
Cukup jelas.
Ayat (6)
Pada dasarnya besarnya pembayaran angsuran pajak oleh Wajib
Pajak sendiri dalam tahun berjalan sedapat mungkin diupayakan mendekati jumlah
pajak yang akan terutang pada akhir tahun. Oleh karena itu, berdasarkan
ketentuan ini dalam hal-hal tertentu Direktur Jenderal Pajak diberikan wewenang
untuk menyesuaikan perhitungan besarnya angsuran pajak yang harus dibayar
sendiri oleh Wajib Pajak dalam tahun berjalan apabila terdapat kompensasi
kerugian; Wajib Pajak menerima atau memperoleh penghasilan tidak teratur; atau terjadi
perubahan keadaan usaha atau kegiatan Wajib Pajak.
Contoh 1:
- Penghasilan PT X tahun 2009 Rp 120.000.000,00
- Sisa kerugian tahun sebelumnya
yang masih dapat dikompensasikan Rp 150.000.000,00
- Sisa kerugian yang belum
dikompensasikan tahun 2009 Rp
30.000.000,00
Penghitungan Pajak Penghasilan Pasal 25 tahun 2010 adalah:
Penghasilan yang dipakai dasar penghitungan angsuran Pajak Penghasilan
Pasal 25 = Rp120.000.000,00 – Rp30.000.000,00 = Rp90.000.000,00.
Pajak Penghasilan yang terutang:
28% x Rp90.000.000,00 = Rp25.200.000,00
Apabila pada tahun 2009 tidak ada Pajak Penghasilan yang dipotong
atau dipungut oleh pihak lain dan pajak yang dibayar atau terutang di luar
negeri sesuai dengan ketentuan dalam Pasal 24, besarnya angsuran pajak bulanan
PT X tahun 2010 = 1/12 x Rp25.200.000,00= Rp2.100.000,00.
Contoh 2:
Dalam tahun 2009, penghasilan teratur Wajib Pajak A dari usaha
dagang Rp48.000.000,00 (empat puluh delapan juta rupiah) dan penghasilan tidak
teratur sebesar Rp72.000.000,00 (tujuh puluh dua juta rupiah). Penghasilan yang
dipakai sebagai dasar penghitungan Pajak Penghasilan Pasal 25 dari Wajib Pajak
A pada tahun 2010 adalah hanya dari penghasilan teratur tersebut.
Contoh 3:
Perubahan keadaan usaha atau kegiatan Wajib Pajak dapat terjadi
karena penurunan atau peningkatan usaha. PT B yang bergerak di bidang produksi
benang dalam tahun 2009 membayar angsuran bulanan sebesar Rp15.000.000,00 (lima
belas juta rupiah).
Dalam bulan Juni 2009 pabrik milik PT B terbakar. Oleh karena
itu, berdasarkan Keputusan Direktur Jenderal Pajak mulai bulan Juli 2009
angsuran bulanan PT B dapat disesuaikan menjadi lebih kecil dari
Rp15.000.000,00 (lima belas juta rupiah).
Sebaliknya, apabila PT B mengalami peningkatan usaha, misalnya
adanya peningkatan penjualan dan diperkirakan Penghasilan Kena Pajaknya akan
lebih besar dibandingkan dengan tahun sebelumnya, kewajiban angsuran bulanan PT
B dapat disesuaikan oleh Direktur Jenderal Pajak.
Ayat (7)
Pada prinsipnya penghitungan besarnya angsuran bulanan dalam
tahun berjalan didasarkan pada Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan
tahun yang lalu. Namun, ketentuan ini memberi kewenangan kepada Menteri
Keuangan untuk menetapkan dasar penghitungan besarnya angsuran bulanan selain
berdasarkan prinsip tersebut di atas. Hal ini dimaksudkan untuk lebih mendekati
kewajaran perhitungan besarnya angsuran pajak karena didasarkan kepada data terkini
kegiatan usaha perusahaan.
Huruf a
Bagi Wajib Pajak baru yang mulai menjalankan usaha atau melakukan
kegiatan dalam tahun pajak berjalan perlu diatur perhitungan besarnya angsuran,
karena Wajib Pajak belum pernah memasukkan Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan,
penentuan besarnya angsuran pajak didasarkan atas kenyataan usaha atau kegiatan
Wajib Pajak.
Huruf b
Bagi Wajib Pajak yang bergerak dalam bidang perbankan, badan
usaha milik negara dan badan usaha milik daerah, serta Wajib Pajak masuk bursa
dan Wajib Pajak lainnya yang berdasarkan ketentuan diharuskan membuat laporan
keuangan berkala perlu diatur perhitungan besarnya angsuran tersendiri karena
terdapat kewajiban menyampaikan laporan yang berkaitan dengan pengelolaan
keuangan dalam suatu periode tertentu kepada instansi Pemerintah yang dapat
dipakai sebagai dasar penghitungan untuk menentukan besarnya angsuran pajak
dalam tahun berjalan.
Huruf c
Bagi Wajib Pajak orang pribadi pengusaha tertentu, yaitu
Wajib Pajak orang pribadi yang mempunyai 1 (satu) atau lebih tempat usaha,
besarnya angsuran pajak paling tinggi sebesar 0,75% (nol koma tujuh lima
persen) dari peredaran bruto.
Ayat (8)
Cukup jelas.
Ayat (8a)
Cukup jelas.
Ayat (9)
Cukup jelas.
Angka 21
Pasal 26
Atas penghasilan yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak
luar negeri dari Indonesia, Undang-Undang ini menganut dua sistem pengenaan
pajak, yaitu pemenuhan sendiri kewajiban perpajakannya bagi Wajib Pajak luar
negeri yang menjalankan usaha atau melakukan kegiatan melalui suatu bentuk
usaha tetap di Indonesia dan pemotongan oleh pihak yang wajib membayar bagi
Wajib Pajak luar negeri lainnya.
Ketentuan ini mengatur tentang pemotongan atas penghasilan yang
bersumber di Indonesia yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak luar negeri
selain bentuk usaha tetap.
Ayat (1)
Pemotongan pajak berdasarkan ketentuan ini wajib dilakukan oleh
badan pemerintah, subjek pajak dalam negeri, penyelenggara kegiatan, bentuk
usaha tetap, atau perwakilan perusahaan luar negeri lainnya yang melakukan
pembayaran kepada Wajib Pajak luar negeri selain bentuk usaha tetap di Indonesia
dengan tarif sebesar 20% (dua puluh persen) dari jumlah bruto.
Jenis-jenis penghasilan yang wajib dilakukan pemotongan dapat
digolongkan dalam:
1.
penghasilan yang bersumber dari modal dalam
bentuk dividen, bunga termasuk premium, diskonto, dan imbalan karena jaminan
pengembalian utang, royalti, dan sewa serta penghasilan lain sehubungan dengan
penggunaan harta;
2.
imbalan sehubungan dengan jasa, pekerjaan,
atau kegiatan;
3.
hadiah dan penghargaan dengan nama dan dalam
bentuk apa pun;
4.
pensiun dan pembayaran berkala lainnya;
5.
premi swap dan transaksi lindung nilai
lainnya; dan/atau
6.
keuntungan karena pembebasan utang.
Sesuai dengan ketentuan ini, misalnya suatu badan subjek pajak
dalam negeri membayarkan royalti sebesar Rp100.000.000,00 (seratus juta rupiah)
kepada Wajib Pajak luar negeri, subjek pajak dalam negeri tersebut berkewajiban
untuk memotong Pajak Penghasilan sebesar 20% (dua puluh persen) dari
Rp100.000.000,00 (seratus juta rupiah).
Sebagai contoh lain, seorang atlet dari luar negeri yang ikut
mengambil bagian dalam perlombaan lari maraton di Indonesia kemudian merebut
hadiah uang maka atas hadiah tersebut dikenai pemotongan Pajak Penghasilan
sebesar 20% (dua puluh persen).
Ayat (1a)
Negara domisili dari Wajib Pajak luar negeri selain yang menjalankan
usaha atau melakukan kegiatan usaha melalui bentuk usaha tetap di Indonesia
yang menerima penghasilan dari Indonesia ditentukan berdasarkan tempat tinggal
atau tempat kedudukan Wajib Pajak yang sebenarnya menerima manfaat dari
penghasilan tersebut (beneficial owner).
Oleh karena itu, negara domisili tidak hanya ditentukan berdasarkan Surat
Keterangan Domisili, tetapi juga tempat tinggal atau tempat kedudukan dari penerima
manfaat dari penghasilan dimaksud.
Dalam hal penerima manfaat adalah orang pribadi, negara domisilinya
adalah negara tempat orang pribadi tersebut bertempat tinggal atau berada,
sedangkan apabila penerima manfaat adalah badan, negara domisilinya adalah
negara tempat pemilik atau lebih dari 50% (lima puluh persen) pemegang saham
baik sendiri-sendiri maupun bersama-sama berkedudukan atau efektif manajemennya
berada.
Ayat (2)
Ketentuan ini mengatur tentang pemotongan pajak atas penghasilan
yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak luar negeri yang bersumber di
Indonesia, selain dari penghasilan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), yaitu
penghasilan dari penjualan atau pengalihan harta, dan premi asuransi, termasuk
premi reasuransi. Atas penghasilan tersebut dipotong pajak sebesar 20% (dua
puluh persen) dari perkiraan penghasilan neto dan bersifat final. Menteri
Keuangan diberikan wewenang untuk menetapkan besarnya perkiraan penghasilan neto
dimaksud, serta hal-hal lain dalam rangka pelaksanaan pemotongan pajak
tersebut.
Ketentuan ini tidak diterapkan dalam hal Wajib Pajak luar negeri
tersebut menjalankan usaha atau melakukan kegiatan melalui suatu bentuk usaha
tetap di Indonesia atau apabila penghasilan dari penjualan harta tersebut telah
dikenai pajak berdasarkan ketentuan Pasal 4 ayat (2).
Ayat (2a)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Atas Penghasilan Kena Pajak sesudah dikurangi pajak dari bentuk
usaha tetap di Indonesia dipotong pajak sebesar 20% (dua puluh persen).
Contoh:
Penghasilan Kena Pajak bentuk usaha
tetap di Indonesia dalam tahun 2009 Rp17.500.000.000,00
Pajak Penghasilan:
28% x Rp17.500.000.000,00 = Rp4.900.000.000,00
(-)
Penghasilan Kena Pajak setelah pajak Rp12.600.000.000,00
Pajak Penghasilan Pasal 26 yang terutang
20% x Rp12.600.000.000 = Rp2.520.000.000,00
Apabila penghasilan setelah pajak sebesar Rp12.600.000.000,00
(dua belas miliar enam ratus juta rupiah) tersebut ditanamkan kembali di
Indonesia sesuai dengan atau berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan, atas
penghasilan tersebut tidak dipotong pajak.
Ayat (5)
Pada prinsipnya pemotongan pajak atas Wajib Pajak luar negeri
adalah bersifat final, tetapi atas penghasilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal
5 ayat (1) huruf b dan huruf c, dan atas penghasilan Wajib Pajak orang pribadi
atau badan luar negeri yang berubah status menjadi Wajib Pajak dalam negeri
atau bentuk usaha tetap, pemotongan pajaknya tidak bersifat final sehingga
potongan pajak tersebut dapat dikreditkan dalam Surat Pemberitahuan Tahunan
Pajak Penghasilan.
Contoh:
A sebagai tenaga asing orang pribadi membuat perjanjian kerja
dengan PT B sebagai Wajib Pajak dalam negeri untuk bekerja di Indonesia untuk
jangka waktu 5 (lima) bulan terhitung mulai tanggal 1 Januari 2009. Pada
tanggal 20 April 2009 perjanjian kerja tersebut diperpanjang menjadi 8
(delapan) bulan sehingga akan berakhir pada tanggal 31 Agustus 2009.
Jika perjanjian kerja tersebut tidak diperpanjang, status A adalah
tetap sebagai Wajib Pajak luar negeri. Dengan diperpanjangnya perjanjian kerja
tersebut, status A berubah dari Wajib Pajak luar negeri menjadi Wajib Pajak
dalam negeri terhitung sejak tanggal 1 Januari 2009. Selama bulan Januari sampai
dengan Maret 2009 atas penghasilan bruto A telah dipotong Pajak Penghasilan
Pasal 26 oleh PT B.
Berdasarkan ketentuan ini, maka untuk menghitung Pajak Penghasilan
yang terutang atas penghasilan A untuk masa Januari sampai dengan Agustus 2009,
Pajak Penghasilan Pasal 26 yang telah dipotong dan disetor PT B atas
penghasilan A sampai dengan Maret tersebut, dapat dikreditkan terhadap pajak A
sebagai Wajib Pajak dalam negeri.
Angka 22
Pasal 29
Ketentuan ini mewajibkan Wajib Pajak untuk melunasi kekurangan
pembayaran pajak yang terutang menurut ketentuan Undang-Undang ini sebelum
Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan disampaikan dan paling lambat
pada batas akhir penyampaian Surat Pemberitahuan Tahunan. Apabila tahun buku sama
dengan tahun kalender, kekurangan pajak tersebut wajib dilunasi paling lambat
tanggal 31 Maret bagi Wajib Pajak orang pribadi atau 30 April bagi Wajib Pajak
badan setelah tahun pajak berakhir, sedangkan apabila tahun buku tidak sama
dengan tahun kalender, misalnya dimulai tanggal 1 Juli sampai dengan 30 Juni, kekurangan
pajak wajib dilunasi paling lambat tanggal 30 September bagi Wajib Pajak orang
pribadi atau 31 Oktober bagi Wajib Pajak badan.
Angka 23
Pasal 31A
Ayat (1)
Salah satu prinsip yang perlu dipegang teguh di dalam
Undang-Undang perpajakan adalah diterapkannya perlakuan yang sama terhadap
semua Wajib Pajak atau terhadap kasus-kasus dalam bidang perpajakan yang
hakikatnya sama, dengan berpegang pada ketentuan peraturan perundang-undangan.
Oleh karena itu, setiap kemudahan dalam bidang perpajakan jika benarbenar diperlukan
harus mengacu pada kaidah di atas dan perlu dijaga agar di dalam penerapannya
tidak menyimpang dari maksud dan tujuan diberikannya kemudahan tersebut.
Tujuan diberikannya kemudahan pajak ini adalah untuk mendorong
kegiatan investasi langsung di Indonesia baik melalui penanaman modal asing
maupun penanaman modal dalam negeri di bidang-bidang usaha tertentu dan/atau di
daerah-daerah tertentu yang mendapat prioritas tinggi dalam skala nasional.
Ketentuan ini juga dapat digunakan untuk menampung kemungkinan
perjanjian dengan negara-negara lain dalam bidang perdagangan, investasi, dan
bidang lainnya.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Angka 24
Pasal 31B
Cukup jelas.
Angka 25
Pasal 31C
Cukup jelas.
Angka 26
Pasal 31D
Cukup jelas.
Pasal 31E
Ayat (1)
Contoh 1:
Peredaran bruto PT Y dalam tahun pajak 2009 sebesar Rp4.500.000.000,00
(empat miliar lima ratus juta rupiah) dengan Penghasilan Kena Pajak sebesar
Rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah).
Penghitungan pajak yang terutang:
Seluruh Penghasilan Kena Pajak yang diperoleh dari peredaran bruto
tersebut dikenai tarif sebesar 50% (lima puluh persen) dari tarif Pajak
Penghasilan badan yang berlaku karena jumlah peredaran bruto PT Y tidak
melebihi Rp4.800.000.000,00 (empat miliar delapan ratus juta rupiah).
Pajak Penghasilan yang terutang:
(50% x 28%) x Rp500.000.000,00 = Rp70.000.000,00
Contoh 2:
Peredaran bruto PT X dalam tahun pajak 2009 sebesar Rp30.000.000.000,00
(tiga puluh miliar rupiah) dengan Penghasilan Kena Pajak sebesar
Rp3.000.000.000,00 (tiga miliar rupiah).
Penghitungan Pajak Penghasilan yang terutang:
1. Jumlah Penghasilan Kena Pajak dari bagian
peredaran bruto yang memperoleh fasilitas:
(Rp4.800.000.000,00 : Rp30.000.000.000,00) x Rp3.000.000.000,00
= Rp480.000.000,00
2. Jumlah Penghasilan Kena Pajak dari bagian
peredaran bruto yang tidak memperoleh fasilitas:
Rp3.000.000.000,00 – Rp480.000.000,00 = Rp2.520.000.000,00
Pajak Penghasilan yang terutang:
- (50% x 28%) x Rp480.000.000,00 = Rp67.200.000,00
- 28% x Rp2.520.000.000,00 = Rp705.600.000,00(+)
Jumlah Pajak Penghasilan yang terutang Rp772.800.000,00
Ayat (2)
Cukup jelas.
Angka 27
Pasal 32
Cukup jelas.
Angka 28
Pasal 32B
Dalam rangka memperluas pasar Obligasi Negara, pemerintah dapat
mengenakan tarif khusus yang lebih rendah atau membebaskan pengenaan pajak atas
Obligasi Negara yang diperdagangkan di bursa negara lain. Pemerintah hanya
dapat mengenakan perlakuan khusus ini sepanjang negara lain tersebut juga
memberikan perlakuan yang sama atas obligasi negara lain tersebut yang
diperdagangkan di bursa efek di Indonesia.
Angka 29
Pasal 35
Dengan peraturan pemerintah diatur lebih lanjut hal-hal yang belum
cukup diatur dalam rangka pelaksanaan Undang-Undang ini, yaitu semua peraturan
yang diperlukan agar Undang-Undang ini dapat dilaksanakan dengan
sebaik-baiknya, termasuk pula peraturan peralihan.
Pasal II
Angka 1
Apabila Wajib Pajak menggunakan tahun buku yang berakhir
tanggal 30 Juni 2001 atau sebelumnya (tidak sama dengan tahun kalender), tahun
buku tersebut adalah tahun pajak 2000. Pajak yang terutang dalam tahun tersebut
tetap dihitung berdasarkan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 sebagaimana telah
beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1994 tentang Perubahan
Kedua atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan,
sedangkan Wajib Pajak yang tahun bukunya berakhir setelah tanggal 30 Juni 2001
wajib menghitung pajaknya mulai tahun pajak 2001 berdasarkan Undang-Undang
Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan, sebagaimana telah beberapa kali
diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2000 tentang Perubahan
Ketiga atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan.
Angka 2
Apabila Wajib Pajak menggunakan tahun buku yang berakhir
tanggal 30 Juni 2009 atau sebelumnya (tidak sama dengan tahun kalender), tahun
buku tersebut adalah tahun pajak 2008. Pajak yang terutang dalam tahun tersebut
tetap dihitung berdasarkan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 sebagaimana telah
beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2000 tentang Perubahan
Ketiga atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan,
sedangkan Wajib Pajak yang tahun bukunya berakhir setelah tanggal 30 Juni 2009
wajib menghitung pajaknya mulai tahun pajak 2009 berdasarkan Undang-Undang
Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan sebagaimana telah beberapa kali
diubah terakhir dengan Undang-Undang ini.
TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 4893
Online casino online pokies in India | KDGF - Cadango
BalasHapusOnline casino pokies in India · 온카지노 Best online casino pokies febcasino online in India · Online casino 제왕 카지노 pokies in India · Best online casino pokies online in India · Best