UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 42 TAHUN 2009
TENTANG
PERUBAHAN
KETIGA ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 8 TAHUN 1983
TENTANG PAJAK PERTAMBAHAN NILAI BARANG DAN JASA
DAN PAJAK PENJUALAN ATAS BARANG MEWAH
DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
Menimbang : a. bahwa dalam rangka lebih meningkatkan
kepastian hokum dan keadilan, menciptakan sistem perpajakan yang lebih sederhana,
serta mengamankan penerimaan negara agar pembangunan nasional dapat
dilaksanakan secara mandiri perlu dilakukan perubahan terhadap Undang-Undang Nomor
8 Tahun 1983 tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak
Penjualan atas Barang Mewah sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir
dengan Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2000 tentang Perubahan Kedua atas
Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1983 tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang dan
Jasa dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah;
b. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a,
perlu membentuk Undang-Undang tentang Perubahan Ketiga atas Undang-Undang Nomor
8 Tahun 1983 tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak
Penjualan atas Barang Mewah;
Mengingat
: 1.
Pasal 5 ayat (1), Pasal 20, dan Pasal
23A Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
2. Undang-Undang Nomor 6
Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 1983 Nomor 49, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia
Nomor 3262) sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang
Nomor 16 Tahun 2009 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti
Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2008 tentang Perubahan Keempat atas Undang- Undang
Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan Menjadi
Undang-Undang (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 62, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4999);
3. Undang-Undang Nomor 8
Tahun 1983 tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan atas
Barang Mewah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1983 Nomor 51, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3264) sebagaimana telah beberapa kali
diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2000 tentang Perubahan
Kedua atas Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1983 tentang Pajak Pertambahan Nilai
Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2000 Nomor 128, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia
Nomor 3986);
Dengan Persetujuan Bersama
DEWAN
PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA
dan
PRESIDEN
REPUBLIK INDONESIA
MEMUTUSKAN:
Menetapkan : UNDANG-UNDANG
TENTANG PERUBAHAN KETIGA ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 8 TAHUN 1983 TENTANG PAJAK PERTAMBAHAN
NILAI BARANG DAN JASA DAN PAJAK PENJUALAN ATAS BARANG MEWAH.
Pasal I
Beberapa ketentuan dalam Undang-Undang
Nomor 8 Tahun 1983 tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak
Penjualan atas Barang Mewah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1983
Nomor 51, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3264) yang telah
beberapa kali diubah dengan Undang-Undang:
a. Nomor 11 Tahun 1994 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1994
Nomor 61, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3568);
b. Nomor 18 Tahun 2000 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2000
Nomor 128, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3986), diubah
sebagai berikut:
1. Ketentuan Pasal 1 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:
Pasal 1
Dalam Undang-Undang ini yang dimaksud
dengan:
1. Daerah Pabean adalah wilayah Republik Indonesia yang meliputi
wilayah darat, perairan, dan ruang udara di atasnya, serta tempat-tempat
tertentu di Zona Ekonomi Eksklusif dan landas kontinen yang di dalamnya berlaku
Undang-Undang yang mengatur mengenai kepabeanan.
2. Barang adalah barang berwujud, yang menurut sifat atau hukumnya dapat
berupa barang bergerak atau barang tidak bergerak, dan barang tidak berwujud.
3. Barang Kena Pajak adalah barang yang dikenai pajak berdasarkan
Undang-Undang ini.
4. Penyerahan Barang Kena Pajak adalah setiap kegiatan penyerahan
Barang Kena Pajak.
5. Jasa adalah setiap
kegiatan pelayanan yang berdasarkan suatu perikatan atau perbuatan hukum yang
menyebabkan suatu barang, fasilitas, kemudahan, atau hak tersedia untuk
dipakai, termasuk jasa yang dilakukan untuk menghasilkan barang karena pesanan
atau permintaan dengan bahan dan atas petunjuk dari pemesan.
6. Jasa Kena Pajak adalah jasa yang dikenai pajak berdasarkan
Undang-Undang ini.
7. Penyerahan Jasa Kena Pajak adalah setiap kegiatan pemberian Jasa
Kena Pajak.
8. Pemanfaatan Jasa Kena Pajak dari luar Daerah Pabean adalah setiap
kegiatan pemanfaatan Jasa Kena Pajak dari luar Daerah Pabean di dalam Daerah
Pabean.
9. Impor adalah setiap kegiatan memasukkan barang dari luar Daerah
Pabean ke dalam Daerah Pabean.
10. Pemanfaatan Barang Kena Pajak Tidak Berwujud dari luar Daerah Pabean
adalah setiap kegiatan pemanfaatan Barang Kena Pajak Tidak Berwujud dari luar
Daerah Pabean di dalam Daerah Pabean.
11. Ekspor Barang Kena
Pajak Berwujud adalah setiap kegiatan mengeluarkan Barang Kena Pajak Berwujud dari
dalam Daerah Pabean ke luar Daerah Pabean.
12. Perdagangan adalah
kegiatan usaha membeli dan menjual, termasuk kegiatan tukar-menukar barang, tanpa
mengubah bentuk dan/atau sifatnya.
13. Badan adalah sekumpulan
orang dan/atau modal yang merupakan kesatuan baik yang melakukan usaha maupun
yang tidak melakukan usaha yang meliputi perseroan terbatas, perseroan
komanditer, perseroan lainnya, badan usaha milik negara atau badan usaha milik
daerah dengan nama dan dalam bentuk apapun, firma, kongsi, koperasi, dana pensiun,
persekutuan, perkumpulan, yayasan, organisasi massa, organisasi sosial politik,
atau organisasi lainnya, lembaga dan bentuk badan lainnya termasuk kontrak
investasi kolektif dan bentuk usaha tetap.
14. Pengusaha adalah orang pribadi atau badan dalam bentuk apa pun yang
dalam kegiatan usaha atau pekerjaannya menghasilkan barang, mengimpor barang,
mengekspor barang, melakukan usaha perdagangan, memanfaatkan barang tidak
berwujud dari luar Daerah Pabean, melakukan usaha jasa termasuk mengekspor
jasa, atau memanfaatkan jasa dari luar Daerah Pabean.
15. Pengusaha Kena Pajak
adalah pengusaha yang melakukan penyerahan Barang Kena Pajak dan/atau penyerahan
Jasa Kena Pajak yang dikenai pajak berdasarkan Undang-Undang ini.
16. Menghasilkan adalah kegiatan mengolah melalui proses mengubah bentuk
dan/atau sifat suatu barang dari bentuk aslinya menjadi barang baru atau
mempunyai daya guna baru atau kegiatan mengolah sumber daya alam, termasuk
menyuruh orang pribadi atau badan lain melakukan kegiatan tersebut.
17. Dasar Pengenaan Pajak adalah jumlah Harga Jual, Penggantian, Nilai
Impor, Nilai Ekspor, atau nilai lain yang dipakai sebagai dasar untuk
menghitung pajak yang terutang.
18. Harga Jual adalah nilai berupa uang, termasuk semua biaya yang
diminta atau seharusnya diminta oleh penjual karena penyerahan Barang Kena
Pajak, tidak termasuk Pajak Pertambahan Nilai yang dipungut menurut
Undang-Undang ini dan potongan harga yang dicantumkan dalam Faktur Pajak.
19. Penggantian adalah nilai berupa uang, termasuk semua biaya yang
diminta atau seharusnya diminta oleh pengusaha karena penyerahan Jasa Kena
Pajak, ekspor Jasa Kena Pajak, atau ekspor Barang Kena Pajak Tidak Berwujud,
tetapi tidak termasuk Pajak Pertambahan Nilai yang dipungut menurut Undang- Undang
ini dan potongan harga yang dicantumkan dalam Faktur Pajak atau nilai berupa
uang yang dibayar atau seharusnya dibayar oleh Penerima Jasa karena pemanfaatan
Jasa Kena Pajak dan/atau oleh penerima manfaat Barang Kena Pajak Tidak Berwujud
karena pemanfaatan Barang Kena Pajak Tidak Berwujud dari luar Daerah Pabean di
dalam Daerah Pabean.
20. Nilai Impor adalah nilai berupa uang yang menjadi dasar penghitungan
bea masuk ditambah pungutan berdasarkan ketentuan dalam peraturan
perundangundangan yang mengatur mengenai kepabeanan dan cukai untuk impor
Barang Kena Pajak, tidak termasuk Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan
atasBarang Mewah yang dipungut menurut Undang-Undang ini.
21. Pembeli adalah orang pribadi atau badan yang menerima atau
seharusnya menerima penyerahan Barang Kena Pajak dan yang membayar atau seharusnya
membayar harga Barang Kena Pajak tersebut.
22. Penerima Jasa adalah orang pribadi atau badan yang menerima atau
seharusnya menerima penyerahan Jasa Kena Pajak dan yang membayar atau
seharusnya membayar Penggantian atas Jasa Kena Pajak tersebut.
23. Faktur Pajak adalah bukti pungutan pajak yang dibuat oleh Pengusaha
Kena Pajak yang melakukan penyerahan Barang Kena Pajak atau penyerahan Jasa Kena
Pajak.
24. Pajak Masukan adalah Pajak Pertambahan Nilai yang seharusnya sudah
dibayar oleh Pengusaha Kena Pajak karena perolehan Barang Kena Pajak dan/atau perolehan
Jasa Kena Pajak dan/atau pemanfaatan Barang Kena Pajak Tidak Berwujud dari luar
Daerah Pabean dan/atau pemanfaatan Jasa Kena Pajak dari luar Daerah Pabean
dan/atau impor Barang Kena Pajak.
25. Pajak Keluaran adalah Pajak Pertambahan Nilai terutang yang wajib
dipungut oleh Pengusaha Kena Pajak yang melakukan penyerahan Barang Kena Pajak,
penyerahan Jasa Kena Pajak, ekspor Barang Kena Pajak Berwujud, ekspor Barang
Kena Pajak Tidak Berwujud, dan/atau ekspor Jasa Kena Pajak.
26. Nilai Ekspor adalah nilai berupa uang, termasuk semua biaya yang
diminta atau seharusnya diminta oleh eksportir.
27. Pemungut Pajak Pertambahan Nilai adalah bendahara pemerintah, badan,
atau instansi pemerintah yang ditunjuk oleh Menteri Keuangan untuk memungut, menyetor,
dan melaporkan pajak yang terutang oleh Pengusaha Kena Pajak atas penyerahan
Barang Kena Pajak dan/atau penyerahan Jasa Kena Pajak kepada bendahara
pemerintah, badan, atau instansi pemerintah tersebut.
28. Ekspor Barang Kena Pajak Tidak Berwujud adalah setiap kegiatan
pemanfaatan Barang Kena Pajak Tidak Berwujud dari dalam Daerah Pabean di luar
Daerah Pabean.
29. Ekspor Jasa Kena Pajak adalah setiap kegiatan penyerahan Jasa Kena
Pajak ke luar Daerah Pabean.
2. Ketentuan Pasal 1A diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:
Pasal 1A
(1) Yang termasuk dalam pengertian penyerahan Barang Kena Pajak adalah:
a. penyerahan hak atas Barang Kena Pajak karena suatu perjanjian;
b. pengalihan Barang Kena Pajak karena suatu perjanjian sewa beli
dan/atau perjanjian sewa guna usaha (leasing);
c. penyerahan Barang Kena Pajak kepada pedagang perantara atau melalui
juru lelang;
d. pemakaian sendiri dan/atau pemberian cumacuma atas Barang Kena
Pajak;
e. Barang Kena Pajak berupa persediaan dan/atau aktiva yang menurut
tujuan semula tidak untuk diperjualbelikan, yang masih tersisa pada saat pembubaran
perusahaan;
f. penyerahan Barang Kena Pajak dari pusat ke cabang atau sebaliknya
dan/atau penyerahan Barang Kena Pajak antar cabang;
g. penyerahan Barang Kena Pajak secara konsinyasi; dan
h. penyerahan Barang Kena Pajak oleh Pengusaha Kena Pajak dalam rangka
perjanjian pembiayaan yang dilakukan berdasarkan prinsip syariah, yang penyerahannya
dianggap langsung dari Pengusaha Kena Pajak kepada pihak yang membutuhkan Barang
Kena Pajak.
(2) Yang tidak termasuk dalam pengertian penyerahan Barang Kena Pajak
adalah:
a. penyerahan Barang Kena Pajak kepada makelar sebagaimana dimaksud
dalam Kitab Undang-Undang Hukum Dagang;
b. penyerahan Barang Kena Pajak untuk jaminan utang-piutang;
c. penyerahan Barang Kena Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
huruf f dalam hal Pengusaha Kena Pajak melakukan pemusatan tempat pajak
terutang;
d. pengalihan Barang Kena Pajak dalam rangka penggabungan, peleburan,
pemekaran, pemecahan, dan pengambilalihan usaha dengan syarat pihak yang
melakukan pengalihan dan yang menerima pengalihan adalah Pengusaha Kena Pajak;
dan
e. Barang Kena Pajak berupa aktiva yang menurut tujuan semula tidak
untuk diperjualbelikan, yang masih tersisa pada saat pembubaran perusahaan, dan
yang Pajak Masukan atas perolehannya tidak dapat dikreditkan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 9 ayat (8) huruf b dan huruf c.
3. Ketentuan Pasal 3A diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:
Pasal 3A
(1) Pengusaha yang
melakukan penyerahan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1) huruf a, huruf
c, huruf f, huruf g, dan huruf h, kecuali pengusaha kecil yang batasannya
ditetapkan oleh Menteri Keuangan, wajib melaporkan usahanya untuk dikukuhkan
sebagai Pengusaha Kena Pajak dan wajib memungut, menyetor, dan melaporkan Pajak
Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah yang terutang.
(1a) Pengusaha kecil sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat memilih
untuk dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak.
(2) Pengusaha kecil yang
memilih untuk dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak wajib melaksanakan ketentuan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1).
(3) Orang pribadi atau
badan yang memanfaatkan Barang Kena Pajak Tidak Berwujud dari luar Daerah
Pabean sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1) huruf d dan/atau yang
memanfaatkan Jasa Kena Pajak dari luar Daerah Pabean sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 4 ayat (1) huruf e wajib memungut, menyetor, dan melaporkan Pajak
Pertambahan Nilai yang terutang yang penghitungan dan tata caranya diatur dengan
Peraturan Menteri Keuangan.
4. Ketentuan Pasal 4 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:
Pasal 4
(1) Pajak Pertambahan Nilai dikenakan atas:
a. penyerahan Barang Kena Pajak di dalam Daerah Pabean yang dilakukan
oleh pengusaha;
b. impor Barang Kena Pajak;
c. penyerahan Jasa Kena Pajak di dalam Daerah Pabean yang dilakukan
oleh pengusaha;
d. pemanfaatan Barang Kena Pajak Tidak Berwujud dari luar Daerah
Pabean di dalam Daerah Pabean;
e. pemanfaatan Jasa Kena Pajak dari luar Daerah Pabean di dalam Daerah
Pabean;
f. ekspor Barang Kena Pajak Berwujud oleh Pengusaha Kena Pajak;
g. ekspor Barang Kena Pajak Tidak Berwujud oleh Pengusaha Kena Pajak;
dan
h. ekspor Jasa Kena Pajak oleh Pengusaha Kena Pajak.
(2) Ketentuan mengenai batasan kegiatan dan jenis Jasa Kena Pajak yang
atas ekspornya dikenai Pajak Pertambahan Nilai sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) huruf h diatur dengan Peraturan Menteri Keuangan.
5. Ketentuan Pasal 4A diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:
Pasal 4A
(1) Dihapus.
(2) Jenis barang yang tidak dikenai Pajak Pertambahan Nilai adalah
barang tertentu dalam kelompok barang sebagai berikut:
a. barang hasil pertambangan atau hasil pengeboran yang diambil
langsung dari sumbernya;
b. barang kebutuhan pokok yang sangat dibutuhkan oleh rakyat banyak;
c. makanan dan minuman yang disajikan di hotel, restoran, rumah makan,
warung, dan sejenisnya, meliputi makanan dan minuman baik yang dikonsumsi di
tempat maupun tidak, termasuk makanan dan minuman yang diserahkan oleh usaha
jasa boga atau katering; dan
d. uang, emas batangan, dan surat berharga.
(3) Jenis jasa yang tidak dikenai Pajak Pertambahan Nilai adalah jasa
tertentu dalam kelompok jasa sebagai berikut:
a. jasa pelayanan kesehatan medis;
b. jasa pelayanan sosial;
c. jasa pengiriman surat dengan perangko;
d. jasa keuangan;
e. jasa asuransi;
f. jasa keagamaan;
g. jasa pendidikan;
h. jasa kesenian dan hiburan;
i. jasa penyiaran yang tidak bersifat iklan;
j. jasa angkutan umum di darat dan di air serta jasa angkutan udara
dalam negeri yang menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari jasa angkutan
udara luar negeri;
k. jasa tenaga kerja;
l. jasa perhotelan;
m. jasa yang disediakan oleh pemerintah dalam rangka menjalankan
pemerintahan secara umum;
n. jasa penyediaan tempat parkir;
o. jasa telepon umum dengan menggunakan uang logam;
p. jasa pengiriman uang dengan wesel pos; dan
q. jasa boga atau katering.
6. Ketentuan Pasal 5 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:
Pasal 5
(1) Di samping pengenaan Pajak Pertambahan Nilai sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 4 ayat (1), dikenai juga Pajak Penjualan atas Barang Mewah
terhadap:
a. penyerahan Barang Kena Pajak yang tergolong mewah yang dilakukan
oleh pengusaha yang menghasilkan barang tersebut di dalam Daerah Pabean dalam
kegiatan usaha atau pekerjaannya; dan
b. impor Barang Kena Pajak yang tergolong mewah.
(2) Pajak Penjualan atas Barang Mewah dikenakan hanya 1 (satu) kali
pada waktu penyerahan Barang Kena Pajak yang tergolong mewah oleh pengusaha
yang menghasilkan atau pada waktu impor Barang Kena Pajak yang tergolong mewah.
7. Ketentuan Pasal 5A diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:
Pasal 5A
(1) Pajak Pertambahan Nilai
atau Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah atas penyerahan
Barang Kena Pajak yang dikembalikan dapat dikurangkan dari Pajak Pertambahan
Nilai atau Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah yang
terutang dalam Masa Pajak terjadinya pengembalian Barang Kena Pajak tersebut.
(2) Pajak Pertambahan Nilai atas penyerahan Jasa Kena Pajak yang
dibatalkan, baik seluruhnya maupun sebagian, dapat dikurangkan dari Pajak
Pertambahan Nilai yang terutang dalam Masa Pajak terjadinya pembatalan tersebut.
(3) Ketentuan mengenai tata cara pengurangan Pajak Pertambahan Nilai
atau Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) dan pengurangan Pajak Pertambahan Nilai sebagaimana dimaksud pada
ayat (2) diatur dengan Peraturan Menteri Keuangan.
8. Ketentuan Pasal 7 ayat (2) dan ayat (3) diubah sehingga Pasal 7
berbunyi sebagai berikut:
Pasal 7
(1) Tarif Pajak Pertambahan Nilai adalah 10% (sepuluh persen).
(2) Tarif Pajak Pertambahan Nilai sebesar 0% (nol persen) diterapkan
atas:
a. ekspor Barang Kena Pajak Berwujud;
b. ekspor Barang Kena Pajak Tidak Berwujud; dan
c. ekspor Jasa Kena Pajak.
(3) Tarif pajak sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) dapat diubah menjadi paling rendah 5% (lima persen) dan paling
tinggi 15% (lima belas persen) yang perubahan tarifnya diatur dengan Peraturan
Pemerintah.
9. Ketentuan Pasal 8 diubah sehingga berbunyi sebagaiberikut:
Pasal 8
(1) Tarif Pajak Penjualan atas Barang Mewah ditetapkan paling rendah
10% (sepuluh persen) dan paling tinggi 200% (dua ratus persen).
(2) Ekspor Barang Kena Pajak yang tergolong mewah dikenai pajak dengan
tarif 0% (nol persen).
(3) Ketentuan mengenai kelompok Barang Kena Pajak yang tergolong mewah
yang dikenai Pajak Penjualan atas Barang Mewah dengan tarif sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Pemerintah.
(4) Ketentuan mengenai jenis barang yang dikenai PajakPenjualan atas
Barang Mewah sebagaimana dimaksud pada ayat (3) diatur dengan atau berdasarkan Peraturan
Menteri Keuangan.
10. Di antara Pasal 8 dan
Pasal 9 disisipkan 1 (satu) pasal, yakni Pasal 8A yang berbunyi sebagai
berikut:
Pasal 8A
(1) Pajak Pertambahan Nilai yang terutang dihitung
dengan cara mengalikan tarif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 dengan Dasar
Pengenaan Pajak yang meliputi Harga Jual, Penggantian, Nilai Impor, Nilai Ekspor,
atau nilai lain.
(2) Ketentuan
mengenai nilai lain sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan atau
berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan.
11. Ketentuan Pasal 9 ayat
(1) dihapus, ayat (2), ayat (2a), ayat (3), ayat (4), ayat (5), ayat (6), ayat
(7), ayat (8), ayat (13) dan ayat (14) diubah, di antara ayat (2a) dan ayat (3)
disisipkan 1 (satu) ayat, yakni ayat (2b), di antara ayat (4) dan ayat (5) disisipkan
6 (enam) ayat, yakni ayat (4a) sampai dengan ayat (4f), di antara ayat (6) dan
ayat (7) disisipkan 2 (dua) ayat, yakni ayat (6a) dan ayat (6b), dan di antara
ayat (7) dan ayat (8) disisipkan 2 (dua) ayat, yakni ayat (7a) dan ayat (7b) sehingga
Pasal 9 berbunyi sebagai berikut:
Pasal 9
(1) Dihapus.
(2) Pajak Masukan dalam
suatu Masa Pajak dikreditkan dengan Pajak Keluaran dalam Masa Pajak yang sama.
(2a) Bagi Pengusaha Kena Pajak yang belum berproduksi sehingga belum
melakukan penyerahan yang terutang pajak, Pajak Masukan atas perolehan dan/atau
impor barang modal dapat dikreditkan.
(2b) Pajak Masukan yang dikreditkan harus menggunakan Faktur Pajak yang
memenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 ayat (5) dan ayat (9).
(3) Apabila dalam suatu Masa Pajak, Pajak Keluaran lebih besar daripada
Pajak Masukan, selisihnya merupakan Pajak Pertambahan Nilai yang harus disetor
oleh Pengusaha Kena Pajak.
(4) Apabila dalam suatu
Masa Pajak, Pajak Masukan yang dapat dikreditkan lebih besar daripada Pajak
Keluaran, selisihnya merupakan kelebihan pajak yang dikompensasikan ke Masa
Pajak berikutnya.
(4a) Atas kelebihan Pajak
Masukan sebagaimana dimaksud pada ayat (4) dapat diajukan permohonan pengembalian
pada akhir tahun buku.
(4b) Dikecualikan dari ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (4) dan
ayat (4a), atas kelebihan Pajak Masukan dapat diajukan permohonan pengembalian pada
setiap Masa Pajak oleh:
a. Pengusaha Kena Pajak yang melakukan ekspor Barang Kena Pajak
Berwujud;
b. Pengusaha Kena Pajak yang melakukan penyerahan Barang Kena Pajak
dan/atau penyerahan Jasa Kena Pajak kepada Pemungut Pajak Pertambahan Nilai;
c. Pengusaha Kena Pajak yang melakukan penyerahan Barang Kena Pajak
dan/atau penyerahan Jasa Kena Pajak yang Pajak Pertambahan Nilainya tidak
dipungut;
d. Pengusaha Kena Pajak yang melakukan ekspor Barang Kena Pajak Tidak
Berwujud;
e. Pengusaha Kena Pajak yang melakukan ekspor Jasa Kena Pajak;
dan/atau
f. Pengusaha Kena Pajak dalam tahap belum berproduksi sebagaimana
dimaksud pada ayat (2a).
(4c) Pengembalian kelebihan Pajak Masukan kepada Pengusaha Kena Pajak
sebagaimana dimaksud pada ayat (4b) huruf a sampai dengan huruf e, yang mempunyai
kriteria sebagai Pengusaha Kena Pajak berisiko rendah, dilakukan dengan
pengembalian pendahuluan kelebihan pajak sesuai ketentuan sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 17C ayat (1) Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan
Umum dan Tata Cara Perpajakan dan perubahannya.
(4d) Ketentuan mengenai Pengusaha Kena Pajak berisiko rendah yang
diberikan pengembalian pendahuluan kelebihan pajak sebagaimana dimaksud pada
ayat (4c) diatur dengan Peraturan Menteri Keuangan.
(4e) Direktur Jenderal Pajak dapat melakukan pemeriksaan terhadap
Pengusaha Kena Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (4c) dan menerbitkan surat ketetapan
pajak setelah melakukan pengembalian pendahuluan kelebihan pajak.
(4f) Apabila berdasarkan hasil pemeriksaan sebagaimana dimaksud pada
ayat (4e), Direktur Jenderal Pajak menerbitkan Surat Ketetapan Pajak Kurang
Bayar, jumlah kekurangan pajak ditambah dengan sanksi administrasi berupa bunga
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 ayat (2) Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983
tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan dan perubahannya.
(5) Apabila dalam suatu Masa Pajak Pengusaha Kena Pajak selain
melakukan penyerahan yang terutang pajak juga melakukan penyerahan yang tidak
terutang pajak, sepanjang bagian penyerahan yang terutang pajak dapat diketahui
dengan pasti dari pembukuannya, jumlah Pajak Masukan yang dapat dikreditkan
adalah Pajak Masukan yang berkenaan dengan penyerahan yang terutang pajak.
(6) Apabila dalam suatu Masa Pajak Pengusaha Kena Pajak selain
melakukan penyerahan yang terutang pajak juga melakukan penyerahan yang tidak
terutang pajak, sedangkan Pajak Masukan untuk penyerahan yang terutang pajak
tidak dapat diketahui dengan pasti, jumlah Pajak Masukan yang dapat dikreditkan
untuk penyerahan yang terutang pajak dihitung dengan menggunakan pedoman yang
diatur dengan Peraturan Menteri Keuangan.
(6a) Pajak Masukan yang telah dikreditkan sebagaimana dimaksud pada ayat
(2a) dan telah diberikan pengembalian wajib dibayar kembali oleh Pengusaha Kena
Pajak dalam hal Pengusaha Kena Pajak tersebut mengalami keadaan gagal
berproduksi dalam jangka waktu paling lama 3 (tiga) tahun sejak Masa Pajak pengkreditan
Pajak Masukan dimulai.
(6b) Ketentuan mengenai penentuan waktu, penghitungan, dan tata cara
pembayaran kembali sebagaimana dimaksud pada ayat (6a) diatur dengan atau berdasarkan
Peraturan Menteri Keuangan.
(7) Besarnya Pajak Masukan
yang dapat dikreditkan oleh Pengusaha Kena Pajak yang peredaran usahanya dalam
1 (satu) tahun tidak melebihi jumlah tertentu, kecuali Pengusaha Kena Pajak
sebagaimana dimaksud pada ayat (7a), dapat dihitung dengan menggunakan pedoman
penghitungan pengkreditan Pajak Masukan.
(7a) Besarnya Pajak Masukan yang dapat dikreditkan oleh Pengusaha Kena
Pajak yang melakukan kegiatan usaha tertentu dihitung dengan menggunakan
pedoman penghitungan pengkreditan Pajak Masukan.
(7b) Ketentuan mengenai peredaran usaha sebagaimana dimaksud pada ayat
(7), kegiatan usaha tertentu sebagaimana dimaksud pada ayat (7a), dan pedoman penghitungan
pengkreditan Pajak Masukan sebagaimana dimaksud pada ayat (7) dan ayat (7a) diatur
dengan atau berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan.
(8) Pengkreditan Pajak
Masukan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) tidak dapat diberlakukan bagi pengeluaran
untuk:
a. perolehan Barang Kena Pajak atau Jasa Kena Pajak sebelum pengusaha
dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak;
b. perolehan Barang Kena Pajak atau Jasa Kena Pajak yang tidak
mempunyai hubungan langsung dengan kegiatan usaha;
c. perolehan dan pemeliharaan kendaraan bermotor berupa sedan dan station
wagon, kecuali merupakan barang dagangan atau disewakan;
d. pemanfaatan Barang Kena Pajak Tidak Berwujud atau pemanfaatan Jasa
Kena Pajak dari luar Daerah Pabean sebelum pengusaha dikukuhkan sebagai
Pengusaha Kena Pajak;
e. dihapus;
f. perolehan Barang Kena Pajak atau Jasa Kena Pajak yang Faktur
Pajaknya tidak memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 ayat (5)
atau ayat (9) atau tidak mencantumkan nama, alamat, dan Nomor Pokok Wajib Pajak
pembeli Barang Kena Pajak atau penerima Jasa Kena Pajak;
g. pemanfaatan Barang Kena Pajak Tidak Berwujud atau pemanfaatan Jasa
Kena Pajak dari luar Daerah Pabean yang Faktur Pajaknya tidak memenuhi
ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 ayat (6);
h. perolehan Barang Kena Pajak atau Jasa Kena Pajak yang Pajak
Masukannya ditagih dengan penerbitan ketetapan pajak;
i. perolehan Barang Kena Pajak atau Jasa Kena Pajak yang Pajak
Masukannya tidak dilaporkan dalam Surat Pemberitahuan Masa Pajak Pertambahan
Nilai, yang ditemukan pada waktu dilakukan pemeriksaan; dan
j. perolehan Barang Kena Pajak selain barang modal atau Jasa Kena
Pajak sebelum Pengusaha Kena Pajak berproduksi sebagaimana dimaksud pada ayat
(2a).
(9) Pajak Masukan yang dapat dikreditkan, tetapi belum dikreditkan
dengan Pajak Keluaran pada Masa Pajak yang sama, dapat dikreditkan pada Masa
Pajak berikutnya paling lama 3 (tiga) bulan setelah berakhirnya Masa Pajak yang
bersangkutan sepanjang belum dibebankan sebagai biaya dan belum dilakukan pemeriksaan.
(10) Dihapus.
(11) Dihapus.
(12) Dihapus.
(13) Ketentuan mengenai penghitungan dan tata cara pengembalian kelebihan
Pajak Masukan sebagaimana dimaksud pada ayat (4a), ayat (4b), dan ayat (4c)
diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan.
(14) Dalam hal terjadi pengalihan Barang Kena Pajak dalam rangka
penggabungan, peleburan, pemekaran, pemecahan, dan pengambilalihan usaha, Pajak
Masukan atas Barang Kena Pajak yang dialihkan yang belum dikreditkan oleh
Pengusaha Kena Pajak yang mengalihkan dapat dikreditkan oleh Pengusaha Kena Pajak
yang menerima pengalihan, sepanjang Faktur Pajaknya diterima setelah terjadinya
pengalihan dan Pajak Masukan tersebut belum dibebankan sebagai biaya atau
dikapitalisasi.
12. Ketentuan Pasal 11 ayat (1) dan Penjelasan ayat (2) diubah sehingga
Pasal 11 berbunyi sebagai berikut:
Pasal 11
(1) Terutangnya pajak terjadi pada saat:
a. penyerahan Barang Kena Pajak;
b. impor Barang Kena Pajak;
c. penyerahan Jasa Kena Pajak;
d. pemanfaatan Barang Kena Pajak Tidak Berwujud dari luar Daerah
Pabean;
e. pemanfaatan Jasa Kena Pajak dari luar Daerah Pabean;
f. ekspor Barang Kena Pajak Berwujud;
g. ekspor Barang Kena Pajak Tidak Berwujud; atau
h. ekspor Jasa Kena Pajak.
(2) Dalam hal pembayaran diterima sebelum penyerahan Barang Kena Pajak
atau sebelum penyerahan Jasa Kena Pajak atau dalam hal pembayaran dilakukan sebelum
dimulainya pemanfaatan Barang Kena Pajak Tidak Berwujud atau Jasa Kena Pajak
dari luar Daerah Pabean, saat terutangnya pajak adalah pada saat pembayaran.
(3) Dihapus.
(4) Direktur Jenderal Pajak dapat menetapkan saat lain sebagai saat
terutangnya pajak dalam hal saat terutangnya pajak sukar ditetapkan atau
terjadi perubahan ketentuan yang dapat menimbulkan ketidakadilan.
(5) Dihapus.
13. Ketentuan Pasal 12 ayat (1), ayat (2), dan ayat (4) diubah sehingga
Pasal 12 berbunyi sebagai berikut:
Pasal 12
(1) Pengusaha Kena Pajak
yang melakukan penyerahan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1) huruf a, huruf
c, huruf f, huruf g, dan/atau huruf h terutang pajak di tempat tinggal atau
tempat kedudukan dan/atau tempat kegiatan usaha dilakukan atau tempat lain
selain tempat tinggal atau tempat kedudukan dan/atau tempat kegiatan usaha
dilakukan yang diatur dengan Peraturan Direktur Jenderal Pajak.
(2) Atas pemberitahuan
secara tertulis dari Pengusaha Kena Pajak, Direktur Jenderal Pajak dapat
menetapkan 1 (satu) tempat atau lebih sebagai tempat pajak terutang.
(3) Dalam hal impor,
terutangnya pajak terjadi di tempat Barang Kena Pajak dimasukkan dan dipungut
melalui Direktorat Jenderal Bea dan Cukai.
(4) Orang pribadi atau
badan yang memanfaatkan Barang Kena Pajak Tidak Berwujud dan/atau Jasa Kena
Pajak dari luar Daerah Pabean di dalam Daerah Pabean sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 4 ayat (1) huruf d dan huruf e terutang pajak di tempat tinggal atau tempat
kedudukan dan/atau tempat kegiatan usaha.
14. Ketentuan Pasal 13 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:
Pasal 13
(1) Pengusaha Kena Pajak wajib
membuat Faktur Pajak untuk setiap:
a. penyerahan Barang Kena Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4
ayat (1) huruf a atau huruf f dan/atau Pasal 16D;
b. penyerahan Jasa Kena Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat
(1) huruf c;
c. ekspor Barang Kena Pajak Tidak Berwujud sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 4 ayat (1) huruf g; dan/atau
d. ekspor Jasa Kena Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1)
huruf h.
(1a) Faktur Pajak
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus dibuat pada:
a. saat penyerahan Barang Kena Pajak dan/atau penyerahan Jasa Kena
Pajak;
b. saat penerimaan pembayaran dalam hal penerimaan pembayaran terjadi
sebelum penyerahan Barang Kena Pajak dan/atau sebelum penyerahan Jasa Kena
Pajak;
c. saat penerimaan pembayaran termin dalam hal penyerahan sebagian
tahap pekerjaan; atau
d. saat lain yang diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Menteri
Keuangan.
(2) Dikecualikan dari ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1),
Pengusaha Kena Pajak dapat membuat 1 (satu) Faktur Pajak meliputi seluruh
penyerahan yang dilakukan kepada pembeli Barang Kena Pajak atau penerima Jasa
Kena Pajak yang sama selama 1 (satu) bulan kalender.
(2a) Faktur Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (2) harus dibuat paling
lama pada akhir bulan penyerahan.
(3) Dihapus.
(4) Dihapus.
(5) Dalam Faktur Pajak harus dicantumkan keterangan tentang penyerahan
Barang Kena Pajak dan/atau penyerahan Jasa Kena Pajak yang paling sedikit memuat:
a. nama, alamat, dan Nomor Pokok Wajib Pajak yang menyerahkan Barang
Kena Pajak atau Jasa Kena Pajak;
b. nama, alamat, dan Nomor Pokok Wajib Pajak pembeli Barang Kena Pajak
atau penerima Jasa Kena Pajak;
c. jenis barang atau jasa, jumlah Harga Jual atau Penggantian, dan
potongan harga;
d. Pajak Pertambahan Nilai yang dipungut;
e. Pajak Penjualan atas Barang Mewah yang dipungut;
f. kode, nomor seri, dan tanggal pembuatan Faktur Pajak; dan
g. nama dan tanda tangan yang berhak menandatangani Faktur Pajak.
(6) Direktur Jenderal Pajak dapat menetapkan dokumen tertentu yang
kedudukannya dipersamakan dengan Faktur Pajak.
(7) Dihapus.
(8) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pembuatan Faktur Pajak dan
tata cara pembetulan atau penggantian Faktur Pajak diatur dengan atau berdasarkan
Peraturan Menteri Keuangan.
(9) Faktur Pajak harus memenuhi persyaratan formal dan material.
15. Di antara Pasal 15 dan Pasal 16 disisipkan 1 (satu) pasal yakni
Pasal 15A sehingga berbunyi sebagai berikut:
Pasal 15A
(1)
Penyetoran
Pajak Pertambahan Nilai oleh Pengusaha Kena Pajak sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 9 ayat (3) harus dilakukan paling lama akhir bulan berikutnya setelah
berakhirnya Masa Pajak dan sebelum Surat Pemberitahuan Masa Pajak Pertambahan
Nilai disampaikan.
(2) Surat Pemberitahuan
Masa Pajak Pertambahan Nilai disampaikan paling lama akhir bulan berikutnya setelah
berakhirnya Masa Pajak.
16. Ketentuan Pasal 16B
ayat (1) diubah sehingga Pasal 16B berbunyi sebagai berikut:
Pasal 16B
(1)
Pajak
terutang tidak dipungut sebagian atau seluruhnya atau dibebaskan dari pengenaan
pajak, baik untuk sementara waktu maupun selamanya, untuk:
a. kegiatan di kawasan tertentu atau tempat tertentu di dalam Daerah
Pabean;
b. penyerahan Barang Kena Pajak tertentu atau penyerahan Jasa Kena
Pajak tertentu;
c. impor Barang Kena Pajak tertentu;
d. pemanfaatan Barang Kena Pajak Tidak Berwujud tertentu dari luar
Daerah Pabean di dalam Daerah Pabean; dan
e. pemanfaatan Jasa Kena Pajak tertentu dari luar Daerah Pabean di
dalam Daerah Pabean, diatur dengan Peraturan Pemerintah.
(2) Pajak Masukan yang dibayar untuk perolehan Barang Kena Pajak
dan/atau perolehan Jasa Kena Pajak yang atas penyerahannya tidak dipungut Pajak
Pertambahan Nilai dapat dikreditkan.
(3) Pajak Masukan yang dibayar untuk perolehan Barang Kena Pajak
dan/atau perolehan Jasa Kena Pajak yang atas penyerahannya dibebaskan dari
pengenaan Pajak Pertambahan Nilai tidak dapat dikreditkan.
17. Ketentuan Pasal 16D diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:
Pasal 16D
Pajak Pertambahan Nilai dikenakan atas
penyerahan Barang Kena Pajak berupa aktiva yang menurut tujuan semula tidak
untuk diperjualbelikan oleh Pengusaha Kena Pajak, kecuali atas penyerahan
aktiva yang Pajak Masukannya tidak dapat dikreditkan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 9 ayat (8) huruf b dan huruf c.
18. Di antara Pasal 16D dan Pasal 17 disisipkan 2 (dua) pasal, yakni
Pasal 16E dan Pasal 16F sehingga berbunyi sebagai berikut:
Pasal 16E
(1) Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah yang
sudah dibayar atas pembelian Barang Kena Pajak yang dibawa ke luar Daerah
Pabean oleh orang pribadi pemegang paspor luar negeri dapat diminta kembali.
(2) Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah yang
dapat diminta kembali sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus memenuhi syarat:
a. nilai Pajak Pertambahan Nilai paling sedikit Rp500.000,00 (lima
ratus ribu rupiah) dan dapat disesuaikan dengan Peraturan Pemerintah;
b. pembelian Barang Kena Pajak dilakukan dalam jangka waktu 1 (satu)
bulan sebelum keberangkatan ke luar Daerah Pabean; dan
c. Faktur Pajak memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13
ayat (5), kecuali pada kolom Nomor Pokok Wajib Pajak dan alamat pembeli diisi
dengan nomor paspor dan alamat lengkap di negara yang menerbitkan paspor atas penjualan
kepada orang pribadi pemegang paspor luar negeri yang tidak mempunyai Nomor
Pokok Wajib Pajak.
(3) Permintaan kembali Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas
Barang Mewah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan pada saat orang pribadi
pemegang paspor luar negeri meninggalkan Indonesia dan disampaikan kepada
Direktur Jenderal Pajak melalui Kantor Direktorat Jenderal Pajak di bandar
udara yang ditetapkan oleh Menteri Keuangan.
(4) Dokumen yang harus ditunjukkan pada saat meminta kembali Pajak
Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah adalah:
a. paspor;
b. pas naik (boarding
pass) untuk keberangkatan orang pribadi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ke
luar Daerah Pabean; dan
c. Faktur Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf c.
(5) Ketentuan mengenai tata cara pengajuan dan penyelesaian permintaan
kembali Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Menteri
Keuangan.
Pasal 16F
Pembeli Barang Kena Pajak atau
penerima Jasa Kena Pajak bertanggung jawab secara renteng atas pembayaran
pajak, sepanjang tidak dapat menunjukkan bukti bahwa pajak telah dibayar.
PASAL II
Undang-Undang ini mulai berlaku pada
tanggal 1 April 2010.
Agar setiap orang mengetahuinya,
memerintahkan pengundangan Undang-Undang ini dengan penempatannya dalam
Lembaran Negara Republik Indonesia.
Disahkan di Jakarta
pada tanggal 15 Oktober 2009
PRESIDEN
REPUBLIK INDONESIA,
ttd
DR.
H. SUSILO BAMBANG YUDHOYONO
Diundangkan di Jakarta
pada tanggal 15 Oktober
2009
MENTERI
HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA
REPUBLIK
INDONESIA,
ttd
ANDI
MATTALATTA
LEMBARAN NEGARA
REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2009 NOMOR 150
Salinan sesuai dengan
aslinya
SEKRETARIAT NEGARA REPUBLIK
INDONESIA
Kepala Biro Peraturan
Perundang-undangan
Bidang Perekonomian dan
Industri,
ttd
SETIO SAPTO NUGROHO
PENJELASAN
ATAS
UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 42 TAHUN 2009
TENTANG
PERUBAHAN
KETIGA ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 8 TAHUN 1983
TENTANG PAJAK PERTAMBAHAN NILAI BARANG DAN JASA
DAN PAJAK PENJUALAN ATAS BARANG MEWAH
I.
U M U M
Pajak Pertambahan Nilai adalah pajak
atas konsumsi barang dan jasa di Daerah Pabean yang dikenakan secara bertingkat
di setiap jalur produksidan distribusi. Pengenaan Pajak Pertambahan Nilai
sangat dipengaruhi oleh perkembangan transaksi bisnis serta pola konsumsi
masyarakat yang merupakan objek dari Pajak Pertambahan Nilai. Perkembangan
ekonomi yang sangat dinamis baik di tingkat nasional, regional, maupun internasional
terus menciptakan jenis serta pola transaksi bisnis yang baru. Sebagai contoh,
di bidang jasa, banyak timbul transaksi jasa baru atau modifikasi dari
transaksi sebelumnya yang pengenaan Pajak Pertambahan Nilainya belum diatur
dalam Undang-Undang Pajak Pertambahan Nilai.
Dalam rangka menjawab perubahan yang
sangat cepat tersebut, perlu dilakukan pembaruan dan penyempurnaan
Undang-Undang Pajak Pertambahan Nilai. Pembaruan (reformasi) sistem pajak
konsumsi telah dilakukan pada tahun 1983 dengan diterbitkannya Undang-Undang
Nomor 8 Tahun 1983 tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak
Penjualan atas Barang Mewah. Langkah pembaruan dan penyempurnaan terus
dilakukan secara konsisten pada tahun 1994 dengan diterbitkannya Undang-Undang
Nomor 11 Tahun 1994 dan terakhir tahun 2000 dengan diterbitkannya Undang-Undang
Nomor 18 Tahun 2000.
Perubahan Undang-Undang Pajak
Pertambahan Nilai ini bertujuan sebagai berikut.
1. Meningkatkan kepastian hukum dan keadilan bagi pengenaan Pajak Pertambahan
Nilai.
Perkembangan transaksi bisnis,
terutama jasa, telah menciptakan jenis dan pola transaksi baru yang perlu
ditegaskan lebih lanjut pengenaannya dalam Undang-Undang Pajak Pertambahan
Nilai.
2. Menyederhanakan sistem Pajak Pertambahan Nilai.
Penyederhanaan sistem Pajak
Pertambahan Nilai dilakukan dengan mengubah atau menyempurnakan ketentuan dalam
Undang-Undang Pajak Pertambahan Nilai yang menyulitkan Wajib Pajak dalam rangka
melaksanakan hak dan kewajiban perpajakannya.
3. Mengurangi biaya kepatuhan.
Penyederhanaan sistem Pajak
Pertambahan Nilai diharapkan pula dapat mengurangi biaya, baik biaya
administrasi bagi Wajib Pajak dalam rangka melaksanakan hak dan kewajibannya
maupun biaya pengawasan yang dikeluarkan oleh Pemerintah dalam rangka mengawasi
kepatuhan Wajib Pajak.
4. Meningkatkan kepatuhan Wajib Pajak.
Tercapainya tujuan tersebut diharapkan
dapat meningkatkan tingkat kepatuhan sukarela Wajib Pajak. Tingkat kepatuhan
sukarela yang tinggi diharapkan dapat meningkatkan penerimaan pajak yang tercermin
dengan naiknya rasio pajak (tax ratio).
5. Tidak mengganggu penerimaan Pajak Pertambahan Nilai.
Di samping tujuan di atas, fungsi
pajak sebagai sumber penerimaan negara tetap menjadi pertimbangan.
6. Mengurangi distorsi dan peningkatan kegiatan ekonomi.
II.
PASAL DEMI PASAL
Pasal I
Angka 1
Pasal 1
Cukup jelas.
Angka 2
Pasal 1A
Ayat (1)
Huruf a
Yang dimaksud dengan “perjanjian”
meliputi jual beli, tukar-menukar, jual beli dengan angsuran, atau perjanjian
lain yang mengakibatkan penyerahan hak atas barang.
Huruf b
Penyerahan Barang Kena Pajak dapat
terjadi karena perjanjian sewa beli dan/atau perjanjian sewa guna usaha (leasing).
Yang dimaksud dengan “pengalihan
Barang Kena Pajak karena suatu perjanjian sewa guna usaha (leasing)”
adalah penyerahan Barang Kena Pajak yang disebabkan oleh perjanjian sewa guna usaha
(leasing) dengan hak opsi.
Dalam hal penyerahan Barang Kena Pajak
oleh Pengusaha Kena Pajak dalam rangka perjanjian sewa guna usaha (leasing)
dengan hak opsi, Barang Kena Pajak dianggap diserahkan langsung dari Pengusaha
Kena Pajak pemasok (supplier) kepada pihak yang membutuhkan barang (lessee).
Huruf c
Yang dimaksud dengan “pedagang
perantara” adalah orang pribadi atau badan yang dalam kegiatan usaha atau
pekerjaannya dengan nama sendiri melakukan perjanjian atau perikatan atas dan
untuk tanggungan orang lain dengan mendapat upah atau balas jasa tertentu, misalnya
komisioner.
Yang dimaksud dengan “juru lelang”
adalah juru lelang Pemerintah atau yang ditunjuk oleh Pemerintah.
Huruf d
Yang dimaksud dengan “pemakaian
sendiri” adalah pemakaian untuk kepentingan pengusaha sendiri, pengurus, atau
karyawan, baik barang produksi sendiri maupun bukan produksi sendiri.
Yang dimaksud dengan “pemberian
cuma-cuma” adalah pemberian yang diberikan tanpa pembayaran baik barang
produksi sendiri maupun bukan produksi sendiri, seperti pemberian contoh barang
untuk promosi kepada relasi atau pembeli.
Huruf e
Barang Kena Pajak berupa persediaan
dan/atau aktiva yang menurut tujuan semula tidak untuk diperjualbelikan, yang
masih tersisa pada saat pembubaran perusahaan, disamakan dengan pemakaian
sendiri sehingga dianggap sebagai penyerahan Barang Kena Pajak.
Dikecualikan dari ketentuan pada huruf
e ini adalah penyerahan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1A ayat (2) huruf e.
Huruf f
Dalam hal suatu perusahaan mempunyai
lebih dari satu tempat pajak terutang baik sebagai pusat maupun sebagai cabang
perusahaan, pemindahan Barang Kena Pajak antartempat tersebut merupakan
penyerahan Barang Kena Pajak.
Yang dimaksud dengan “pusat” adalah
tempat tinggal atau tempat kedudukan.
Yang dimaksud dengan “cabang” antara
lain lokasi usaha, perwakilan, unit pemasaran, dan tempat kegiatan usaha
sejenisnya.
Huruf g
Dalam hal penyerahan secara
konsinyasi, Pajak Pertambahan Nilai yang sudah dibayar pada waktu Barang Kena
Pajak yang bersangkutan diserahkan untuk dititipkan dapat dikreditkan dengan
Pajak Keluaran pada Masa Pajak terjadinya penyerahan Barang Kena Pajak yang dititipkan
tersebut.
Sebaliknya, jika Barang Kena Pajak
titipan tersebut tidak laku dijual dan diputuskan untuk dikembalikan kepada
pemilik Barang Kena Pajak, pengusaha yang menerima titipan tersebut dapat menggunakan
ketentuan mengenai pengembalian Barang Kena Pajak (retur) sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 5A Undang-Undang ini.
Huruf h
Contoh:
Dalam transaksi murabahah, bank
syariah bertindak sebagai penyedia dana untuk membeli sebuah kendaraan bermotor
dari Pengusaha Kena Pajak A atas pesanan nasabah bank syariah (Tuan B).
Meskipun berdasarkan prinsip syariah, bank
syariah harus membeli dahulu kendaraan bermotor tersebut dan kemudian
menjualnya kepada Tuan B, berdasarkan Undang-Undang ini, penyerahan kendaraan
bermotor tersebut dianggap dilakukan langsung oleh Pengusaha Kena Pajak A
kepada Tuan B.
Ayat (2)
Huruf a
Yang dimaksud dengan ”makelar” adalah
makelar sebagaimana dimaksud dalam Kitab Undang-Undang Hukum Dagang, yaitu
pedagang perantara yang diangkat oleh Presiden atau oleh pejabat yang oleh
Presiden dinyatakan berwenang untuk itu. Mereka menyelenggarakan perusahaan
mereka dengan melakukan pekerjaan dengan mendapat upah atau provisi tertentu,
atas amanat dan atas nama orangorang lain yang dengan mereka tidak terdapat hubungan
kerja.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Dalam hal Pengusaha Kena Pajak
mempunyai lebih dari satu tempat kegiatan usaha, baik sebagai pusat maupun
cabang perusahaan, dan Pengusaha Kena Pajak tersebut telah menyampaikan
pemberitahuan secara tertulis kepada Direktur Jenderal Pajak, pemindahan Barang
Kena Pajak dari satu tempat kegiatan usaha ke tempat kegiatan usaha lainnya
(pusat ke cabang atau sebaliknya atau antarcabang) dianggap tidak termasuk
dalam pengertian penyerahan Barang Kena Pajak, kecuali pemindahan Barang Kena
Pajak antartempat pajak terutang.
Huruf d
Yang dimaksud dengan “pemecahan usaha”
adalah pemisahan usaha sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang yang mengatur
mengenai perseroan terbatas.
Huruf e
Barang Kena Pajak berupa aktiva yang
menurut tujuan semula tidak untuk diperjualbelikan yang masih tersisa pada saat
pembubaran perusahaan, yang Pajak Masukan atas perolehannya tidak dapat
dikreditkan karena tidak mempunyai hubungan langsung dengan kegiatan usaha
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (8) huruf b dan/atau aktiva berupa kendaraan
bermotor sedan dan station wagon yang Pajak Masukan atas perolehannya tidak dapat
dikreditkan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (8) huruf c tidak termasuk
dalam pengertian penyerahan Barang Kena Pajak.
Angka 3
Pasal 3A
Ayat (1)
Pengusaha yang melakukan penyerahan
Barang Kena Pajak dan/atau penyerahan Jasa Kena Pajak di dalam Daerah Pabean
dan/atau melakukan ekspor Barang Kena Pajak Berwujud, ekspor Jasa Kena Pajak,
dan/atau ekspor Barang Kena Pajak Tidak Berwujud diwajibkan:
a. melaporkan usahanya untuk dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak;
b. memungut pajak yang terutang;
c. menyetorkan Pajak Pertambahan Nilai yang masih harus dibayar dalam
hal Pajak Keluaran lebih besar daripada Pajak Masukan yang dapat dikreditkan
serta menyetorkan Pajak Penjualan atas Barang Mewah yang terutang; dan
d. melaporkan penghitungan pajak. Kewajiban di atas tidak berlaku
untuk pengusaha kecil yang batasannya ditetapkan oleh Menteri Keuangan.
Ayat (1a)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Pengusaha kecil diperkenankan untuk
memilih dikukuhkan menjadi Pengusaha Kena Pajak. Apabila pengusaha kecil
memilih menjadi Pengusaha Kena Pajak, Undang-Undang ini berlaku sepenuhnya bagi
pengusaha kecil tersebut.
Ayat (3)
Pajak Pertambahan Nilai yang terutang
atas pemanfaatan Barang Kena Pajak Tidak Berwujud dan/atau pemanfaatan Jasa
Kena Pajak dari luar Daerah Pabean harus dipungut oleh orang pribadi atau badan
yang memanfaatkan Barang Kena Pajak Tidak Berwujud dan/atau Jasa Kena Pajak
tersebut.
Angka 4
Pasal 4
Ayat (1)
Huruf a
Pengusaha yang melakukan kegiatan penyerahan
Barang Kena Pajak meliputi baik pengusaha yang telah dikukuhkan menjadi Pengusaha
Kena Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3A ayat (1) maupun pengusaha yang
seharusnya dikukuhkan menjadi Pengusaha Kena Pajak, tetapi belum dikukuhkan.
Penyerahan barang yang dikenai pajak
harus memenuhi syarat-syarat sebagai berikut:
a. barang berwujud yang diserahkan merupakan Barang Kena Pajak;
b. barang tidak berwujud yang diserahkan merupakan Barang Kena Pajak
Tidak Berwujud;
c. penyerahan dilakukan di dalam Daerah Pabean; dan
d. penyerahan dilakukan dalam rangka kegiatan usaha atau pekerjaannya.
Huruf b
Pajak juga dipungut pada saat impor
Barang Kena Pajak. Pemungutan dilakukan melalui Direktorat Jenderal Bea dan
Cukai. Berbeda dengan penyerahan Barang Kena Pajak pada huruf a, siapapun yang
memasukkan Barang Kena Pajak ke dalam Daerah Pabean, tanpa memperhatikan apakah
dilakukan dalam rangka kegiatan usaha atau pekerjaannya atau tidak, tetap
dikenai pajak.
Huruf c
Pengusaha yang melakukan kegiatan penyerahan
Jasa Kena Pajak meliputi baik pengusaha yang telah dikukuhkan sebagai Pengusaha
Kena Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3A ayat (1) maupun pengusaha yang
seharusnya dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak, tetapi belum dikukuhkan.
Penyerahan jasa yang terutang pajak
harus memenuhi syarat-syarat sebagai berikut:
a. jasa yang diserahkan merupakan Jasa Kena Pajak;
b. penyerahan dilakukan di dalam Daerah Pabean; dan
c. penyerahan dilakukan dalam kegiatan usaha atau pekerjaannya. Termasuk
dalam pengertian penyerahan Jasa Kena Pajak adalah Jasa Kena Pajak yang dimanfaatkan
untuk kepentingan sendiri dan/atau yang diberikan secara cuma-cuma.
Huruf d
Untuk dapat memberikan perlakuan
pengenaan pajak yang sama dengan impor Barang Kena Pajak, atas Barang Kena
Pajak Tidak Berwujud yang berasal dari luar Daerah Pabean yang dimanfaatkan
oleh siapa pun di dalam Daerah Pabean juga dikenai Pajak Pertambahan Nilai.
Contoh:
Pengusaha A yang berkedudukan di
Jakarta memperoleh hak menggunakan merek yang dimiliki Pengusaha B yang
berkedudukan di Hongkong. Atas pemanfaatan merek tersebut oleh Pengusaha A di
dalam Daerah Pabean terutang Pajak Pertambahan Nilai.
Huruf e
Jasa yang berasal dari luar Daerah
Pabean yang dimanfaatkan oleh siapa pun di dalam Daerah Pabean dikenai Pajak
Pertambahan Nilai.
Misalnya, Pengusaha Kena Pajak C di
Surabaya memanfaatkan Jasa Kena Pajak dari Pengusaha B yang berkedudukan di
Singapura. Atas pemanfaatan Jasa Kena Pajak tersebut terutang Pajak Pertambahan
Nilai.
Huruf f
Berbeda dengan pengusaha yang
melakukan kegiatan sebagaimana dimaksud pada huruf a dan/atau huruf c,
pengusaha yang melakukan ekspor Barang Kena Pajak Berwujud hanya pengusaha yang
telah dikukuhkan menjadi Pengusaha Kena Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal
3A ayat (1).
Huruf g
Sebagaimana halnya dengan kegiatan
ekspor Barang Kena Pajak Berwujud, pengusaha yang melakukan ekspor Barang Kena
Pajak Tidak Berwujud hanya pengusaha yang telah dikukuhkan menjadi Pengusaha
Kena Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3A ayat (1).
Yang dimaksud dengan ”Barang Kena
Pajak Tidak Berwujud” adalah:
1. penggunaan atau hak menggunakan hak cipta di bidang kesusastraan,
kesenian atau karya ilmiah, paten, desain atau model, rencana, formula atau
proses rahasia, merek dagang, atau bentuk hak kekayaan intelektual/industrial
atau hak serupa lainnya;
2. penggunaan atau hak menggunakan peralatan/perlengkapan industrial, komersial,
atau ilmiah;
3. pemberian pengetahuan atau informasi di bidang ilmiah, teknikal,
industrial, atau komersial;
4. pemberian bantuan tambahan atau pelengkap sehubungan dengan
penggunaan atau hak menggunakan hak-hak tersebut pada angka 1, penggunaan atau
hak menggunakan peralatan/perlengkapan tersebut pada angka 2, atau pemberian pengetahuan
atau informasi tersebut pada angka 3, berupa:
a) penerimaan atau hak menerima rekaman gambar atau rekaman suara atau
keduanya, yang disalurkan kepada masyarakat melalui satelit, kabel, serat
optik, atau teknologi yang serupa;
b) penggunaan atau hak menggunakan rekaman gambar atau rekaman suara atau
keduanya, untuk siaran televise atau radio yang disiarkan/dipancarkan melalui
satelit, kabel, serat optik, atau teknologi yang serupa; dan
c) penggunaan atau hak menggunakan sebagian atau seluruh spektrum
radio komunikasi;
5. penggunaan atau hak menggunakan film gambar hidup (motion
picture films), film atau pita video untuk siaran televisi, atau pita suara
untuk siaran radio; dan
6. pelepasan seluruhnya atau sebagian hak yang berkenaan dengan
penggunaan atau pemberian hak kekayaan intelektual/industrial atau hak-hak
lainnya sebagaimana tersebut di atas.
Huruf h
Termasuk dalam pengertian ekspor Jasa
Kena Pajak adalah penyerahan Jasa Kena Pajak dari dalam Daerah Pabean ke luar
Daerah Pabean oleh Pengusaha Kena Pajak yang menghasilkan dan melakukan ekspor
Barang Kena Pajak Berwujud atas dasar pesanan atau permintaan dengan bahan dan
atas petunjuk dari pemesan di luar Daerah Pabean.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Angka 5
Pasal 4A
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Huruf a
Barang hasil pertambangan atau hasil pengeboran
yang diambil langsung dari sumbernya meliputi:
a. minyak mentah (crude oil);
b. gas bumi, tidak termasuk gas bumi seperti elpiji yang siap
dikonsumsi langsung oleh masyarakat;
c. panas bumi;
d. asbes, batu tulis, batu setengah permata, batu kapur, batu apung,
batu permata, bentonit, dolomit, felspar (feldspar), garam batu (halite),
grafit, granit/andesit, gips, kalsit, kaolin, leusit, magnesit, mika, marmer,
nitrat, opsidien, oker, pasir dan kerikil, pasir kuarsa, perlit, fosfat (phospat),
talk, tanah serap (fullers earth), tanah diatome, tanah liat, tawas (alum),
tras, yarosif, zeolit, basal, dan trakkit;
e. batubara sebelum diproses menjadi briket batubara; dan
f. bijih besi, bijih timah, bijih emas, bijih tembaga, bijih nikel,
bijih perak, serta bijih bauksit.
Huruf b
Barang kebutuhan pokok yang sangat dibutuhkan
oleh rakyat banyak meliputi:
a. beras;
b. gabah;
c. jagung;
d. sagu;
e. kedelai;
f. garam, baik yang beryodium maupun yang tidak beryodium;
g. daging, yaitu daging segar yang tanpa diolah, tetapi telah melalui
proses disembelih, dikuliti, dipotong, didinginkan, dibekukan, dikemas atau
tidak dikemas, digarami, dikapur, diasamkan, diawetkan dengan cara lain,
dan/atau direbus;
h. telur, yaitu telur yang tidak diolah, termasuk telur yang
dibersihkan, diasinkan, atau dikemas;
i. susu, yaitu susu perah baik yang telah melalui proses didinginkan
maupun dipanaskan, tidak mengandung tambahan gula atau bahan lainnya, dan/atau
dikemas atau tidak dikemas;
j. buah-buahan, yaitu buah-buahan segar yang dipetik, baik yang telah
melalui proses dicuci, disortasi, dikupas, dipotong, diiris, di-grading,
dan/atau dikemas atau tidak dikemas; dan
k. sayur-sayuran, yaitu sayuran segar yang dipetik, dicuci,
ditiriskan, dan/atau disimpan pada suhu rendah, termasuk sayuran segar yang
dicacah.
Huruf c
Ketentuan ini dimaksudkan untuk menghindari
pengenaan pajak berganda karena sudah merupakan objek pengenaan Pajak Daerah.
Huruf d
Cukup jelas.
Ayat (3)
Huruf a
Jasa pelayanan kesehatan medis
meliputi:
1. jasa dokter umum, dokter spesialis, dan dokter gigi;
2. jasa dokter hewan;
3. jasa ahli kesehatan seperti ahli akupunktur, ahli gigi, ahli gizi,
dan ahli fisioterapi;
4. jasa kebidanan dan dukun bayi;
5. jasa paramedis dan perawat;
6. jasa rumah sakit, rumah bersalin, klinik kesehatan, laboratorium
kesehatan, dan sanatorium;
7. jasa psikolog dan psikiater; dan
8. jasa pengobatan alternatif, termasuk yang dilakukan oleh
paranormal.
Huruf b
Jasa pelayanan sosial meliputi:
1. jasa pelayanan panti asuhan dan panti jompo;
2. jasa pemadam kebakaran;
3. jasa pemberian pertolongan pada kecelakaan;
4. jasa lembaga rehabilitasi;
5. jasa penyediaan rumah duka atau jasa pemakaman, termasuk
krematorium; dan
6. jasa di bidang olah raga kecuali yang bersifat komersial.
Huruf c
Jasa pengiriman surat dengan perangko meliputi
jasa pengiriman surat dengan menggunakan perangko tempel dan menggunakan cara
lain pengganti perangko tempel.
Huruf d
Jasa keuangan meliputi:
1. jasa menghimpun dana dari masyarakat berupa giro, deposito
berjangka, sertifikat deposito, tabungan, dan/atau bentuk lain yang
dipersamakan dengan itu;
2. jasa menempatkan dana, meminjam dana, atau meminjamkan dana kepada pihak
lain dengan menggunakan surat, sarana telekomunikasi maupun dengan wesel unjuk,
cek, atau sarana lainnya;
3. jasa pembiayaan, termasuk pembiayaan berdasarkan prinsip syariah,
berupa:
a) sewa guna usaha dengan hak opsi;
b) anjak piutang;
c) usaha kartu kredit; dan/atau
d) pembiayaan konsumen;
4. jasa penyaluran pinjaman atas dasar hukum gadai, termasuk gadai
syariah dan fidusia; dan
5. jasa penjaminan.
Huruf e
Yang dimaksud dengan “jasa asuransi”
adalah jasa pertanggungan yang meliputi asuransi kerugian, asuransi jiwa, dan
reasuransi, yang dilakukan oleh perusahaan asuransi kepada pemegang polis
asuransi, tidak termasuk jasa penunjang asuransi seperti agen asuransi, penilai
kerugian asuransi, dan konsultan asuransi.
Huruf f
Jasa keagamaan meliputi:
1. jasa pelayanan rumah ibadah;
2. jasa pemberian khotbah atau dakwah;
3. jasa penyelenggaraan kegiatan keagamaan; dan
4. jasa lainnya di bidang keagamaan.
Huruf g
Jasa pendidikan meliputi:
1. jasa penyelenggaraan pendidikan sekolah, seperti jasa
penyelenggaraan pendidikan umum, pendidikan kejuruan, pendidikan luar biasa,
pendidikan kedinasan, pendidikan keagamaan, pendidikan akademik, dan pendidikan
profesional; dan
2. jasa penyelenggaraan pendidikan luar sekolah.
Huruf h
Jasa kesenian dan hiburan meliputi
semua jenis jasa yang dilakukan oleh pekerja seni dan hiburan.
Huruf i
Jasa penyiaran yang tidak bersifat
iklan meliputi jasa penyiaran radio atau televise yang dilakukan oleh instansi
pemerintah atau swasta yang tidak bersifat iklan dan tidak dibiayai oleh
sponsor yang bertujuan komersial.
Huruf j
Cukup jelas.
Huruf k
Jasa tenaga kerja meliputi:
1. jasa tenaga kerja;
2. jasa penyediaan tenaga kerja sepanjang pengusaha penyedia tenaga
kerja tidak bertanggung jawab atas hasil kerja dari tenaga kerja tersebut; dan
3. jasa penyelenggaraan pelatihan bagi tenaga kerja.
Huruf l
Jasa perhotelan meliputi:
1. jasa penyewaan kamar, termasuk tambahannya di hotel, rumah penginapan,
motel, losmen, hostel, serta fasilitas yang terkait dengan kegiatan perhotelan
untuk tamu yang menginap; dan
2. jasa penyewaan ruangan untuk kegiatan acara atau pertemuan di
hotel, rumah penginapan, motel, losmen, dan hostel.
Huruf m
Jasa yang disediakan oleh pemerintah
dalam rangka menjalankan pemerintahan secara umum meliputi jenis-jenis jasa
yang dilaksanakan oleh instansi pemerintah, antara lain pemberian Izin
Mendirikan Bangunan, pemberian lzin Usaha Perdagangan, pemberian Nomor Pokok
Wajib Pajak, dan pembuatan Kartu Tanda Penduduk.
Huruf n
Yang dimaksud dengan “jasa
penyediaan tempat parkir” adalah jasa penyediaan tempat parkir yang dilakukan
oleh pemilik tempat parkir dan/atau pengusaha kepada pengguna tempat parkir
dengan dipungut bayaran.
Huruf o
Yang dimaksud dengan “jasa telepon
umum dengan menggunakan uang logam” adalah jasa telepon umum dengan menggunakan
uang logam atau koin, yang diselenggarakan oleh pemerintah maupun swasta.
Huruf p
Cukup jelas.
Huruf q
Cukup jelas.
Angka 6
Pasal 5
Ayat (1)
Atas penyerahan Barang Kena Pajak yang
tergolong mewah oleh produsen atau atas impor Barang Kena Pajak yang tergolong
mewah, di samping dikenai Pajak Pertambahan Nilai, dikenai juga Pajak Penjualan
atas Barang Mewah dengan pertimbangan bahwa:
a. perlu keseimbangan
pembebanan pajak antara konsumen yang berpenghasilan rendah dan konsumen yang
berpenghasilan tinggi;
b. perlu adanya pengendalian pola konsumsi atas Barang Kena Pajak yang
tergolong mewah;
c. perlu adanya perlindungan terhadap produsen kecil atau tradisional;
dan
d. perlu untuk mengamankan penerimaan negara.
Yang dimaksud dengan ”Barang Kena
Pajak yang tergolong mewah” adalah:
1. barang yang bukan merupakan barang kebutuhan pokok;
2. barang yang dikonsumsi oleh masyarakat tertentu;
3. barang yang pada umumnya dikonsumsi oleh masyarakat berpenghasilan
tinggi; dan/atau
4. barang yang dikonsumsi untuk menunjukkan status.
Pengenaan Pajak Penjualan atas Barang
Mewah atas impor Barang Kena Pajak yang tergolong mewah tidak memperhatikan
siapa yang mengimpor Barang Kena Pajak tersebut serta tidak memperhatikan
apakah impor tersebut dilakukan secara terus-menerus atau hanya sekali saja.
Selain itu, pengenaan Pajak Penjualan
atas Barang Mewah terhadap suatu penyerahan Barang Kena Pajak yang tergolong
mewah tidak memperhatikan apakah suatu bagian dari Barang Kena Pajak tersebut
telah dikenai atau tidak dikenai Pajak Penjualan atas Barang Mewah pada
transaksi sebelumnya.
Yang termasuk dalam pengertian
menghasilkan pada ayat ini adalah kegiatan:
a. merakit, yaitu menggabungkan bagian-bagian lepas dari suatu barang
menjadi barang setengah jadi atau barang jadi, seperti merakit mobil, barang
elektronik, dan perabot rumah tangga;
b. memasak, yaitu mengolah barang dengan cara memanaskan baik dicampur
bahan lain maupun tidak;
c. mencampur, yaitu mempersatukan dua atau lebih unsur (zat) untuk
menghasilkan satu atau lebih barang lain;
d. mengemas, yaitu menempatkan suatu barang ke dalam suatu benda untuk
melindunginya dari kerusakan dan/atau untuk meningkatkan pemasarannya; dan
e. membotolkan, yaitu memasukkan minuman atau benda cair ke dalam
botol yang ditutup menurut cara tertentu; serta kegiatan lain yang dapat
dipersamakan dengan kegiatan itu atau menyuruh orang atau badan lain melakukan
kegiatan tersebut.
Ayat (2)
Pengertian umum dari Pajak Masukan
hanya berlaku pada Pajak Pertambahan Nilai dan tidak dikenal pada Pajak
Penjualan atas Barang Mewah. Oleh karena itu, Pajak Penjualan atas Barang Mewah
yang telah dibayar tidak dapat dikreditkan dengan Pajak Penjualan atas Barang
Mewah yang terutang. Dengan demikian, prinsip pemungutannya hanya 1 (satu) kali
saja, yaitu pada waktu:
a. penyerahan oleh pabrikan atau produsen Barang Kena Pajak yang
tergolong mewah; atau
b. impor Barang Kena Pajak yang tergolong mewah. Penyerahan pada
tingkat berikutnya tidak lagi dikenai Pajak Penjualan atas Barang Mewah.
Angka 7
Pasal 5A
Ayat (1)
Dalam hal Barang Kena Pajak yang
diserahkan ternyata dikembalikan (retur) oleh pembeli, Pajak Pertambahan Nilai
dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah dari Barang Kena Pajak yang dikembalikan tersebut
mengurangi Pajak Keluaran dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah yang terutang
oleh Pengusaha Kena Pajak penjual dan mengurangi:
a. Pajak Masukan dari Pengusaha Kena Pajak pembeli, dalam hal Pajak
Masukan atas Barang Kena Pajak yang dikembalikan telah dikreditkan;
b. biaya atau harta bagi Pengusaha Kena Pajak pembeli, dalam hal pajak
atas Barang Kena Pajak yang dikembalikan tersebut tidak dikreditkan dan telah
dibebankan sebagai biaya atau telah ditambahkan (dikapitalisasi) dalam harga
perolehan harta tersebut; atau
c. biaya atau harta bagi pembeli yang bukan Pengusaha Kena Pajak dalam
hal pajak atas Barang Kena Pajak yang dikembalikan tersebut telah dibebankan
sebagai biaya atau telah ditambahkan (dikapitalisasi) dalam harga perolehan
harta tersebut.
Ayat (2)
Yang dimaksud dengan “Jasa Kena Pajak
yang dibatalkan” adalah pembatalan seluruhnya atau sebagian hak atau fasilitas
atau kemudahan oleh pihak penerima Jasa Kena Pajak. Dalam hal Jasa Kena Pajak
yang diserahkan ternyata dibatalkan, baik sebagian maupun seluruhnya oleh
penerima Jasa Kena Pajak, Pajak Pertambahan Nilai dari Jasa Kena Pajak yang dibatalkan
tersebut mengurangi Pajak Keluaran yang terutang oleh Pengusaha Kena Pajak
pemberi Jasa Kena Pajak dan mengurangi:
a. Pajak Masukan dari Pengusaha Kena Pajak penerima Jasa Kena Pajak,
dalam hal Pajak Masukan atas Jasa Kena Pajak yang dibatalkan telah dikreditkan;
b. biaya atau harta bagi Pengusaha Kena Pajak penerima Jasa Kena
Pajak, dalam hal Pajak Pertambahan Nilai atas Jasa Kena Pajak yang dibatalkan
tersebut tidak dikreditkan dan telah dibebankan sebagai biaya atau telah ditambahkan
(dikapitalisasi) dalam harga perolehan harta tersebut; atau
c. biaya atau harta bagi penerima Jasa Kena Pajak yang bukan Pengusaha
Kena Pajak dalam hal Pajak Pertambahan Nilai atas Jasa Kena Pajak yang
dibatalkan tersebut telah dibebankan sebagai biaya atau telah ditambahkan (dikapitalisasi)
dalam harga perolehan harta tersebut.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Angka 8
Pasal 7
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Pajak Pertambahan Nilai adalah pajak
yang dikenakan atas konsumsi Barang Kena Pajak di dalam Daerah Pabean. Oleh
karena itu,
a. Barang Kena Pajak Berwujud yang diekspor;
b. Barang Kena Pajak Tidak Berwujud dari dalam Daerah Pabean yang
dimanfaatkan di luar Daerah Pabean; atau
c. Jasa Kena Pajak yang diekspor termasuk Jasa Kena Pajak yang
diserahkan oleh Pengusaha Kena Pajak yang menghasilkan dan melakukan ekspor
Barang Kena Pajak atas dasar pesanan atau permintaan dengan bahan dan atas petunjuk
dari pemesan di luar Daerah Pabean, dikenai Pajak Pertambahan Nilai dengan
tarif 0% (nol persen).
Pengenaan tarif 0% (nol persen) tidak
berarti pembebasan dari pengenaan Pajak Pertambahan Nilai. Dengan demikian,
Pajak Masukan yang telah dibayar untuk perolehan Barang Kena Pajak dan/atau
Jasa Kena Pajak yang berkaitan dengan kegiatan tersebut dapat dikreditkan.
Ayat (3)
Berdasarkan pertimbangan perkembangan
ekonomi dan/atau peningkatan kebutuhan dana untuk pembangunan, Pemerintah
diberi wewenang mengubah tarif Pajak Pertambahan Nilai menjadi paling rendah 5%
(lima persen) dan paling tinggi 15% (lima belas persen) dengan tetap memakai prinsip
tarif tunggal. Perubahan tarif sebagaimana dimaksud pada ayat ini dikemukakan
oleh Pemerintah kepada Dewan Perwakilan Rakyat dalam rangka pembahasan dan
penyusunan Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara.
Angka 9
Pasal 8
Ayat (1)
Tarif Pajak Penjualan atas Barang
Mewah dapat ditetapkan dalam beberapa kelompok tarif, yaitu tariff paling
rendah 10% (sepuluh persen) dan paling tinggi 200% (dua ratus persen).
Perbedaan kelompok tariff tersebut didasarkan pada pengelompokan Barang Kena
Pajak yang tergolong mewah yang dikenai Pajak Penjualan atas Barang Mewah
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (1).
Ayat (2)
Pajak Penjualan atas Barang Mewah
adalah pajak yang dikenakan atas konsumsi Barang Kena Pajak yang tergolong
mewah di dalam Daerah Pabean. Oleh karena itu, Barang Kena Pajak yang tergolong
mewah yang diekspor atau dikonsumsi di luar Daerah Pabean dikenai Pajak
Penjualan atas Barang Mewah dengan tarif 0% (nol persen). Pajak Penjualan atas Barang
Mewah yang telah dibayar atas perolehan Barang Kena Pajak yang tergolong mewah
yang diekspor tersebut dapat diminta kembali.
Ayat (3)
Dengan mengacu pada pertimbangan
sebagaimana tercantum dalam penjelasan Pasal 5 ayat (1), pengelompokan
barang-barang yang dikenai Pajak Penjualan atas Barang Mewah terutama
didasarkan pada tingkat kemampuan golongan masyarakat yang mempergunakan barang
tersebut, di samping didasarkan pada nilai gunanya bagi masyarakat pada umumnya.
Sehubungan dengan hal itu, tarif yang tinggi dikenakan terhadap barang yang
hanya dikonsumsi oleh masyarakat yang berpenghasilan tinggi. Dalam hal terhadap
barang yang dikonsumsi oleh masyarakat banyak perlu dikenai Pajak Penjualan
atas Barang Mewah, tarif yang dipergunakan adalah tarif yang rendah. Pengelompokan
barang yang dikenai Pajak Penjualan atas Barang Mewah dilakukan setelah
berkonsultasi dengan alat kelengkapan Dewan Perwakilan Rakyat yang membidangi
keuangan.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Angka 10
Pasal 8A
Ayat (1)
Ayat ini mengatur cara menghitung
Pajak Pertambahan Nilai yang terutang. Untuk jelasnya diberikan contoh cara
penghitungan sebagai berikut.
Contoh:
a. Pengusaha Kena Pajak A menjual tunai Barang Kena Pajak dengan Harga
Jual Rp.25.000.000,00. Pajak Pertambahan Nilai yang terutang = 10% x Rp.25.000.000,00
= Rp.2.500.000,00
Pajak Pertambahan Nilai sebesar Rp.2.500.000,00
tersebut merupakan Pajak Keluaran yang dipungut oleh Pengusaha Kena Pajak A.
b. Pengusaha Kena Pajak B melakukan penyerahan Jasa Kena Pajak dengan
memperoleh Penggantian Rp.20.000.000,00.
Pajak Pertambahan Nilai yang terutang
= 10% x Rp.20.000.000,00 = Rp.2.000.000,00.
Pajak Pertambahan Nilai sebesar
Rp2.000.000,00 tersebut merupakan Pajak Keluaran yang dipungut oleh Pengusaha
Kena Pajak B.
c. Seseorang mengimpor Barang Kena Pajak dari luar Daerah Pabean
dengan Nilai Impor Rp.15.000.000,00.
Pajak Pertambahan Nilai yang dipungut
melalui Direktorat Jenderal Bea dan Cukai = 10% x Rp.15.000.000,00 = Rp.1.500.000,00.
d. Pengusaha Kena Pajak D melakukan ekspor Barang Kena Pajak dengan
Nilai Ekspor Rp.10.000.000,00.
Pajak Pertambahan Nilai yang terutang
= 0% x Rp.10.000.000,00 = Rp.0,00.
Pajak Pertambahan Nilai sebesar Rp0,00
tersebut merupakan Pajak Keluaran.
Ayat (2)
Dasar Pengenaan Pajak berupa nilai
lain diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan hanya untuk
menjamin rasa keadilan dalam hal:
a. Harga Jual, Nilai Penggantian, Nilai Impor, dan Nilai Ekspor sukar
ditetapkan; dan/atau
b. penyerahan Barang Kena Pajak yang dibutuhkan oleh masyarakat
banyak, seperti air minum dan listrik.
Angka 11
Pasal 9
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Pembeli Barang Kena Pajak, penerima
Jasa Kena Pajak, pengimpor Barang Kena Pajak, pihak yang memanfaatkan Barang
Kena Pajak Tidak Berwujud dari luar Daerah Pabean, atau pihak yang memanfaatkan
Jasa Kena Pajak dari luar Daerah Pabean wajib membayar Pajak Pertambahan Nilai
dan berhak menerima bukti pungutan pajak. Pajak Pertambahan Nilai yang
seharusnya sudah dibayar tersebut merupakan Pajak Masukan bagi pembeli Barang
Kena Pajak, penerima Jasa Kena Pajak, pengimpor Barang Kena Pajak, pihak yang memanfaatkan
Barang Kena Pajak Tidak Berwujud dari luar Daerah Pabean, atau pihak yang memanfaatkan
Jasa Kena Pajak dari luar Daerah Pabean yang berstatus sebagai Pengusaha Kena Pajak.
Pajak Masukan yang wajib dibayar tersebut oleh Pengusaha Kena Pajak dapat
dikreditkan dengan Pajak Keluaran yang dipungutnya dalam Masa Pajak yang sama.
Ayat (2a)
Pada dasarnya Pajak Masukan
dikreditkan dengan Pajak Keluaran pada Masa Pajak yang sama. Namun, bagi
Pengusaha Kena Pajak yang belum berproduksi, Pajak Masukan atas perolehan
dan/atau impor barang modal diperkenankan untuk dikreditkan sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 9 ayat (2), kecuali Pajak Masukan sebagaimana dimaksud dalam Pasal
9 ayat (8).
Ayat (2b)
Untuk keperluan mengkreditkan Pajak
Masukan, Pengusaha Kena Pajak menggunakan Faktur Pajak yang memenuhi ketentuan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 ayat (5).
Selain itu, Pajak Masukan yang akan
dikreditkan juga harus memenuhi persyaratan kebenaran formal dan material
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 ayat (9).
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Pajak Masukan yang dimaksud pada ayat
ini adalah Pajak Masukan yang dapat dikreditkan. Dalam suatu Masa Pajak dapat
terjadi Pajak Masukan yang dapat dikreditkan lebih besar daripada Pajak
Keluaran. Kelebihan Pajak Masukan tersebut tidak dapat diminta kembali pada
Masa Pajak yang bersangkutan, tetapi dikompensasikan ke Masa Pajak berikutnya.
Contoh:
Masa Pajak Mei 2010
Pajak Keluaran =
Rp.2.000.000,00
Pajak Masukan yang dapat dikreditkan = Rp.4.500.000,00
--------------------(-)
Pajak yang lebih dibayar = Rp.2.500.000,00
Pajak yang lebih dibayar tersebut
dikompensasikan ke Masa Pajak Juni 2010.
Masa Pajak Juni 2010
Pajak Keluaran =
Rp.3.000.000,00
Pajak Masukan yang dapat Dikreditkan
= Rp.2.000.000,00
------------------- (-)
Pajak yang kurang dibayar = Rp.1.000.000,00
Pajak yang lebih dibayar
dari Masa Pajak Mei 2010 yang
dikompensasikan ke Masa
Pajak Juni 2010 = Rp.2.500.000,00
------------------- (-)
Pajak yang lebih dibayar
Masa PajakJuni 2010 = Rp.1.500.000,00
Pajak yang lebih dibayar tersebut
dikompensasikan ke Masa Pajak Juli 2010.
Ayat (4a)
Kelebihan Pajak Masukan dalam suatu
Masa Pajak sesuai dengan ketentuan pada ayat (4) dikompensasikan pada Masa
Pajak berikutnya. Namun, apabila kelebihan Pajak Masukan terjadi pada Masa
Pajak akhir tahun buku, kelebihan Pajak Masukan tersebut dapat diajukan
permohonan pengembalian (restitusi). Termasuk dalam pengertian akhir tahun buku
dalam ketentuan ini adalah Masa Pajak saat Wajib Pajak melakukan pengakhiran
usaha (bubar).
Ayat (4b)
Cukup jelas.
Ayat (4c)
Cukup jelas.
Ayat (4d)
Cukup jelas.
Ayat (4e)
Untuk mengurangi penyalahgunaan
pemberian kemudahan percepatan pengembalian kelebihan pajak, Direktur Jenderal
Pajak dapat melakukan pemeriksaan setelah memberikan pengembalian pendahuluan
kelebihan pajak.
Ayat (4f)
Dalam hal Direktur Jenderal Pajak
setelah melakukan pemeriksaan menerbitkan Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar,
sanksi kenaikan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17C ayat (5) Undang-Undang
Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan dan perubahannya
tidak diterapkan walaupun pada tahap sebelumnya sudah diterbitkan Surat
Keputusan Pengembalian Pendahuluan Kelebihan Pajak. Sebaliknya, sanksi
administrasi yang dikenakan adalah bunga sebesar 2% (dua persen) per bulan paling
lama 24 (dua puluh empat) bulan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 ayat (2)
Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara
Perpajakan dan perubahannya. Apabila dalam pemeriksaan dimaksud ditemukan adanya
indikasi tindak pidana di bidang perpajakan, ketentuan ini tidak berlaku.
Ayat (5)
Yang dimaksud dengan “penyerahan yang
terutang pajak” adalah penyerahan barang atau jasa yang sesuai dengan ketentuan
Undang-Undang ini dikenai Pajak Pertambahan Nilai. Yang dimaksud dengan
“penyerahan yang tidak terutang pajak” adalah penyerahan barang dan jasa yang
tidak dikenai Pajak Pertambahan Nilai sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4A dan
yang dibebaskan dari pengenaan Pajak Pertambahan Nilai sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 16B. Pengusaha Kena Pajak yang dalam suatu Masa Pajak melakukan
penyerahan yang terutang pajak dan penyerahan yang tidak terutang pajak hanya
dapat mengkreditkan Pajak Masukan yang berkenaan dengan penyerahan yang
terutang pajak. Bagian penyerahan yang terutang pajak tersebut harus dapat diketahui
dengan pasti dari pembukuan Pengusaha Kena Pajak.
Contoh:
Pengusaha Kena Pajak
melakukan beberapa macam penyerahan, yaitu:
a. penyerahan yang terutang pajak = Rp.25.000.000,00
Pajak Keluaran = Rp. 2.500.000,00
b. penyerahan yang tidak terutang
Pajak Pertambahan Nilai = Rp. 5.000.000,00
Pajak Keluaran = nihil
c. penyerahan yang dibebaskan dari pengenaan
Pajak Pertambahan Nilai = Rp. 5.000.000,00
Pajak Keluaran = nihil
Pajak Masukan yang dibayar
atas perolehan:
a. Barang Kena Pajak dan Jasa Kena Pajak yang berkaitan
dengan penyerahan yang terutang pajak =
Rp. 1.500.000,00
b. Barang Kena Pajak dan Jasa Kena Pajak
yangberkaitan dengan penyerahan yang tidak dikenai Pajak Pertambahan Nilai = Rp.300.000,00
c. Barang Kena Pajak dan Jasa Kena Pajak yang berkaitan
dengan penyerahan yang dibebaskan dari pengenaan Pajak Pertambahan Nilai = Rp.500.000,00
Menurut ketentuan ini,
Pajak Masukan yang dapat dikreditkan dengan Pajak Keluaran sebesar Rp.2.500.000,00
hanya sebesar Rp1.500.000,00.
Ayat (6)
Dalam hal Pajak Masukan untuk
penyerahan yang terutang pajak tidak dapat diketahui dengan pasti, cara
pengkreditan Pajak Masukan dihitung berdasarkan pedoman yang diatur dengan
Peraturan Menteri Keuangan, yang dimaksudkan untuk memberikan kemudahan dan
kepastian kepada Pengusaha Kena Pajak.
Contoh:
Pengusaha Kena Pajak
melakukan 2 (dua) macam penyerahan, yaitu:
a. penyerahan yang terutang pajak = Rp.35.000.000,00
Pajak Keluaran = Rp3.500.000,00
b. penyerahan yang tidak terutang pajak = Rp15.000.000,00
Pajak Keluaran = nihil
Pajak Masukan yang dibayar atas perolehan
Barang Kena Pajak dan Jasa Kena Pajak yang berkaitan dengan keseluruhan
penyerahan sebesar Rp.2.500.000,00, sedangkan Pajak Masukan yang berkaitan
dengan penyerahan yang terutang pajak tidak dapat diketahui dengan pasti.
Menurut ketentuan ini, Pajak Masukan sebesar Rp2.500.000,00 tidak seluruhnya
dapat dikreditkan dengan Pajak Keluaran sebesar Rp3.500.000,00.
Besarnya Pajak Masukan yang dapat
dikreditkan dihitung berdasarkan pedoman yang diatur dengan Peraturan Menteri
Keuangan.
Ayat (6a)
Agar dapat dikreditkan, Pajak Masukan
atas pengeluaran dalam rangka impor dan/atau perolehan barang modal juga harus
memenuhi syarat bahwa pengeluaran tersebut harus berhubungan dengan adanya
penyerahan yang terutang Pajak Pertambahan Nilai.
Dalam hal Pengusaha Kena Pajak
mengalami keadaan gagal berproduksi, tidak ada penyerahan yang terutang pajak
sehingga tidak ada Pajak
Masukan yang dapat dikreditkan. Oleh
karena itu, sebagai konsekuensinya, Pajak Masukan atas impor dan/atau perolehan
barang modal yang telah dikembalikan harus dibayar kembali.
Ayat (6b)
Cukup jelas.
Ayat (7)
Dalam rangka menyederhanakan
penghitungan Pajak Pertambahan Nilai yang harus disetor, Pengusaha Kena Pajak
yang peredaran usahanya dalam 1 (satu) tahun tidak melebihi jumlah tertentu
dapat menghitung besarnya Pajak Masukan yang dapat dikreditkan dengan
menggunakan pedoman penghitungan pengkreditan Pajak Masukan.
Ayat (7a)
Dalam rangka memberikan kemudahan
dalam menghitung Pajak Pertambahan Nilai yang harus disetor, Pengusaha Kena
Pajak yang melakukan kegiatan usaha tertentu menghitung besarnya Pajak Masukan
yang dapat dikreditkan dengan menggunakan pedoman penghitungan pengkreditan Pajak
Masukan.
Ayat (7b)
Cukup jelas.
Ayat (8)
Pajak Masukan pada dasarnya dapat
dikreditkan dengan Pajak Keluaran. Akan tetapi, untuk pengeluaran yang dimaksud
dalam ayat ini, Pajak Masukannya tidak dapat dikreditkan.
Huruf a
Ketentuan ini memberikan kepastian hokum
bahwa Pajak Masukan yang diperoleh sebelum pengusaha dikukuhkan sebagai
Pengusaha Kena Pajak tidak dapat dikreditkan.
Contoh:
Pengusaha A melaporkan usahanya untuk dikukuhkan
sebagai Pengusaha Kena Pajak pada tanggal 19 April 2010. Pengukuhan sebagai
Pengusaha Kena Pajak diberikan pada tanggal 20 April 2010 dan berlaku surut
sejak tanggal 19 April 2010. Pajak Masukan yang diperoleh sebelum tanggal 19
April 2010 tidak dapat dikreditkan berdasarkan ketentuan ini.
Huruf b
Yang dimaksud dengan pengeluaran yang langsung
berhubungan dengan kegiatan usaha adalah pengeluaran untuk kegiatan produksi, distribusi,
pemasaran, dan manajemen. Ketentuan ini berlaku untuk semua bidang usaha. Agar
dapat dikreditkan, Pajak Masukan juga harus memenuhi syarat bahwa pengeluaran
tersebut berkaitan dengan adanya penyerahan yang terutang Pajak Pertambahan Nilai.
Oleh karena itu, meskipun suatu pengeluaran telah memenuhi syarat adanya hubungan
langsung dengan kegiatan usaha, masih dimungkinkan Pajak Masukan tersebut tidak
dapat dikreditkan, yaitu apabila pengeluaran dimaksud tidak ada kaitannya dengan
penyerahan yang terutang Pajak Pertambahan Nilai.
Huruf c
Cukup jelas.
Huruf d
Ketentuan ini memberikan kepastian hokum
bahwa Pajak Masukan yang diperoleh sebelum pengusaha dikukuhkan sebagai
Pengusaha Kena Pajak tidak dapat dikreditkan.
Contoh:
Pengusaha A melaporkan
usahanya untuk dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak pada tanggal 19 April
2010. Pengukuhan sebagai Pengusaha Kena Pajak diberikan pada tanggal 20 April
2010 dan berlaku surut sejak tanggal 19 April 2010. Pajak Masukan atas pemanfaatan
Barang Kena Pajak Tidak Berwujud atau Jasa Kena Pajak dari luar Daerah Pabean
yang diperoleh sebelum tanggal 19 April 2010 tidak dapat dikreditkan berdasarkan
ketentuan ini.
Huruf e
Cukup jelas.
Huruf f
Cukup jelas.
Huruf g
Cukup jelas.
Huruf h
Dalam hal tertentu dapat terjadi
Pengusaha Kena Pajak baru membayar Pajak Pertambahan Nilai yang terutang atas
perolehan atau pemanfaatan Barang Kena Pajak atau Jasa Kena Pajak setelah
diterbitkan ketetapan pajak. Pajak Pertambahan Nilai yang dibayar atas ketetapan
pajak tersebut tidak merupakan Pajak Masukan yang dapat dikreditkan.
Huruf i
Sesuai dengan sistem self
assessment, Pengusaha Kena Pajak wajib melaporkan seluruh kegiatan usahanya
dalam Surat Pemberitahuan Masa Pajak Pertambahan Nilai. Selain itu, kepada
Pengusaha Kena Pajak juga telah diberikan kesempatan untuk melakukan pembetulan
Surat Pemberitahuan Masa Pajak Pertambahan Nilai sehingga sudah selayaknya jika
Pajak Masukan yang tidak dilaporkan dalam Surat Pemberitahuan Masa Pajak Pertambahan
Nilai tidak dapat dikreditkan.
Contoh:
Dalam Surat Pemberitahuan Masa Pajak Pertambahan
Nilai dilaporkan:
Pajak Keluaran = Rp10.000.000,00
Pajak Masukan = Rp 8.000.000,00
Dari hasil pemeriksaan diketahui:
Pajak Keluaran = Rp15.000.000,00
Pajak Masukan = Rp11.000.000,00
Dalam hal ini, Pajak Masukan yang
dapat dikreditkan tidak sebesar Rp11.000.000,00, tetapi tetap sebesar
Rp8.000.000,00 sesuai dengan yang dilaporkan dalam Surat Pemberitahuan Masa
Pajak Pertambahan Nilai.
Dengan demikian, perhitungan hasil pemeriksaan
Pajak Keluaran =
Rp15.000.000,00
Pajak Masukan = Rp
8.000.000,00
-----------------------------------------------(-)
Kurang Bayar menurut hasil
pemeriksaan = Rp. 7.000.000,00
Kurang Bayar menurut Surat
Pemberitahuan = Rp 2.000.000,00
----------------------(-)
Masih kurang dibayar = Rp
5.000.000,00
Huruf j
Cukup jelas.
Ayat (9)
Ketentuan ini memungkinkan Pengusaha
Kena Pajak untuk mengkreditkan Pajak Masukan dengan Pajak Keluaran dalam Masa
Pajak yang tidak sama yang disebabkan, antara lain, Faktur Pajak terlambat diterima.
Pengkreditan Pajak Masukan dalam Masa Pajak yang tidak sama tersebut hanya
diperkenankan dilakukan pada Masa Pajak berikutnya paling lama 3 (tiga) bulan
setelah berakhirnya Masa Pajak yang bersangkutan. Dalam hal jangka waktu
tersebut telah dilampaui, pengkreditan Pajak Masukan tersebut dapat dilakukan
melalui pembetulan Surat Pemberitahuan Masa Pajak Pertambahan Nilai yang bersangkutan.
Kedua cara pengkreditan tersebut hanya dapat dilakukan apabila Pajak Masukan
yang bersangkutan belum dibebankan sebagai biaya atau tidak ditambahkan (dikapitalisasi)
kepada harga perolehan Barang Kena Pajak atau Jasa Kena Pajak yang bersangkutan
dan terhadap Pengusaha Kena Pajak belum dilakukan pemeriksaan.
Contoh:
Pajak Masukan atas perolehan Barang
Kena Pajak yang Faktur Pajaknya tertanggal 7 Juli 2010 dapat dikreditkan dengan
Pajak Keluaran pada Masa Pajak Juli 2010 atau pada Masa Pajak berikutnya paling
lama Masa Pajak Oktober 2010.
Ayat (10)
Cukup jelas.
Ayat (11)
Cukup jelas.
Ayat (12)
Cukup jelas.
Ayat (13)
Cukup jelas.
Ayat (14)
Cukup jelas.
Angka 12
Pasal 11
Ayat (1)
Pemungutan Pajak Pertambahan Nilai dan
Pajak Penjualan atas Barang Mewah menganut prinsip akrual, artinya terutangnya
pajak terjadi pada saat penyerahan Barang Kena Pajak atau Jasa Kena Pajak meskipun
pembayaran atas penyerahan tersebut belum diterima atau belum sepenuhnya
diterima atau pada saat impor Barang Kena Pajak. Saat terutangnya pajak untuk
transaksi yang dilakukan melalui electronic commerce tunduk pada
ketentuan ini.
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Cukup jelas.
Huruf d
Dalam hal orang pribadi atau badan memanfaatkan
Barang Kena Pajak Tidak Berwujud dari luar Daerah Pabean di dalam Daerah Pabean
atau memanfaatkan Jasa Kena Pajak dari luar Daerah Pabean di dalam Daerah Pabean,
terutangnya pajak terjadi pada saat orang pribadi atau badan tersebut mulai memanfaatkan
Barang Kena Pajak Tidak Berwujud atau Jasa Kena Pajak tersebut di dalam Daerah
Pabean. Hal itu dihubungkan dengan kenyataan bahwa yang menyerahkan Barang Kena
Pajak Tidak Berwujud atau Jasa Kena Pajak tersebut di luar Daerah Pabean sehingga
tidak dapat dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak. Oleh karena itu, saat pajak
terutang tidak lagi dikaitkan dengan saat penyerahan, tetapi dikaitkan dengan
saat pemanfaatan.
Huruf e
Cukup jelas.
Huruf f
Cukup jelas.
Huruf g
Cukup jelas.
Huruf h
Cukup jelas.
Ayat (2)
Dalam hal pembayaran diterima sebelum
penyerahan Barang Kena Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1) huruf
a, sebelum penyerahan Jasa Kena Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat
(1) huruf c, sebelum dimulainya pemanfaatan Barang Kena Pajak Tidak Berwujud
dari luar Daerah Pabean sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1) huruf d,
atau sebelum dimulainya pemanfaatan Jasa Kena Pajak dari luar Daerah Pabean
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1) huruf e, saat terutangnya pajak
adalah saat pembayaran.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Ayat (5)
Cukup jelas.
Angka 13
Pasal 12
Ayat (1)
Pengusaha Kena Pajak orang pribadi
terutang pajak di tempat tinggal dan/atau tempat kegiatan usaha, sedangkan bagi
Pengusaha Kena Pajak badan terutang pajak di tempat kedudukan dan tempat kegiatan
usaha.
Apabila Pengusaha Kena Pajak mempunyai
satu atau lebih tempat kegiatan usaha di luar tempat tinggal atau tempat
kedudukannya, setiap tempat tersebut merupakan tempat terutangnya pajak dan
Pengusaha
Kena Pajak dimaksud wajib melaporkan
usahanya untuk dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak.
Apabila Pengusaha Kena Pajak mempunyai
lebih dari satu tempat pajak terutang yang berada di wilayah kerja 1 (satu)
Kantor Direktorat Jenderal Pajak, untuk seluruh tempat terutang tersebut,
Pengusaha Kena Pajak memilih salah satu tempat kegiatan usaha sebagai tempat
pajak terutang yang bertanggung jawab untuk seluruh tempat kegiatan usahanya,
kecuali apabila Pengusaha Kena Pajak tersebut menghendaki lebih dari 1 (satu)
tempat pajak terutang, Pengusaha Kena Pajak wajib memberitahukan kepada
Direktur Jenderal Pajak. Dalam hal-hal tertentu, Direktur Jenderal Pajak dapat
menetapkan tempat lain selain tempat tinggal atau tempat kedudukan dan tempat
kegiatan usaha sebagai tempat pajak terutang.
Contoh 1:
Orang pribadi A yang bertempat tinggal
di Bogor mempunyai usaha di Cibinong. Apabila di tempat tinggal orang pribadi A
tidak ada penyerahan Barang Kena Pajak dan/atau Jasa Kena Pajak, orang pribadi A
hanya wajib melaporkan usahanya untuk dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak
di Kantor Pelayanan Pajak Pratama Cibinong sebab tempat terutangnya pajak bagi
orang pribadi A adalah di Cibinong. Sebaliknya, apabila penyerahan Barang Kena
Pajak dan/atau Jasa Kena Pajak dilakukan oleh orang pribadi A hanya di tempat
tinggalnya saja, orang pribadi A hanya wajib mendaftarkan diri di Kantor
Pelayanan Pajak Pratama Bogor. Namun, apabila baik di tempat tinggal maupun di
tempat kegiatan usahanya orang pribadi A melakukan penyerahan Barang Kena Pajak
dan/atau Jasa Kena Pajak, orang pribadi A wajib mendaftarkan diri di Kantor
Pelayanan Pajak Pratama Bogor dan Kantor Pelayanan Pajak Pratama Cibinong
karena tempat terutangnya pajak berada di Bogor dan Cibinong. Berbeda dengan
orang pribadi, Pengusaha Kena Pajak badan wajib mendaftarkan diri baik di
tempat kedudukan maupun di tempat kegiatan usaha karena bagi Pengusaha Kena
Pajak badan di kedua tempat tersebut dianggap melakukan penyerahan Barang Kena
Pajak dan/atau Jasa Kena Pajak.
Contoh 2:
PT A mempunyai 3 (tiga) tempat
kegiatan usaha, yaitu di kota Bengkulu, Bintuhan, dan Manna yang ketiganya
berada di bawah pelayanan 1 (satu) kantor pelayanan pajak, yaitu Kantor
Pelayanan Pajak Pratama Bengkulu. Ketiga tempat kegiatan usaha tersebut
melakukan penyerahan Barang Kena Pajak dan/atau Jasa Kena Pajak dan melakukan administrasi
penjualan dan administrasi keuangan sehingga PT A terutang pajak di ketiga
tempat atau kota itu. Dalam keadaan demikian, PT A wajib memilih salah satu
tempat kegiatan usaha untuk melaporkan usahanya guna dikukuhkan sebagai Pengusaha
Kena Pajak, misalnya tempat kegiatan usaha di Bengkulu. PT A yang bertempat
kegiatan usaha di Bengkulu ini bertanggung jawab untuk melaporkan seluruh
kegiatan usaha yang dilakukan oleh ketiga tempat kegiatan usaha perusahaan tersebut.
Dalam hal PT A menghendaki tempat
kegiatan usaha di Bengkulu dan Bintuhan ditetapkan sebagai tempat pajak
terutang untuk seluruh kegiatan usahanya, PT A wajib memberitahukan kepada
Kepala Kantor Pelayanan Pajak Pratama Bengkulu.
Ayat (2)
Apabila Pengusaha Kena Pajak terutang
pajak pada lebih dari 1 (satu) tempat kegiatan usaha, Pengusaha Kena Pajak
tersebut dalam pemenuhan kewajiban perpajakannya dapat menyampaikan pemberitahuan
secara tertulis kepada Direktur Jenderal Pajak untuk memilih 1 (satu) tempat
atau lebih sebagai tempat terutangnya pajak.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Orang pribadi atau badan baik sebagai
Pengusaha Kena Pajak maupun bukan Pengusaha Kena Pajak yang memanfaatkan Barang
Kena Pajak Tidak Berwujud dari luar Daerah Pabean di dalam Daerah Pabean
dan/atau memanfaatkan Jasa Kena Pajak dari luar Daerah Pabean di dalam Daerah
Pabean tetap terutang pajak di tempat tinggal dan/atau tempat kegiatan usaha
orang pribadi atau di tempat kedudukan dan/atau tempat kegiatan usaha badan tersebut.
Angka 14
Pasal 13
Ayat (1)
Dalam hal terjadi penyerahan Barang
Kena Pajak dan/atau penyerahan Jasa Kena Pajak, Pengusaha Kena Pajak yang
menyerahkan Barang Kena Pajak dan/atau menyerahkan Jasa Kena Pajak itu wajib memungut
Pajak Pertambahan Nilai yang terutang dan memberikan Faktur Pajak sebagai bukti
pungutan pajak. Faktur Pajak tidak perlu dibuat secara khusus atau berbeda
dengan faktur penjualan. Faktur Pajak dapat berupa faktur penjualan atau
dokumen tertentu yang ditetapkan sebagai Faktur Pajak oleh Direktur Jenderal
Pajak.
Berdasarkan ketentuan ini, atas setiap
penyerahan Barang Kena Pajak berupa aktiva yang menurut tujuan semula tidak
untuk diperjualbelikan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16D wajib diterbitkan
Faktur Pajak.
Ayat (1a)
Pada prinsipnya Faktur Pajak harus
dibuat pada saat penyerahan atau pada saat penerimaan pembayaran dalam hal
pembayaran terjadi sebelum penyerahan. Dalam hal tertentu dimungkinkan saat
pembuatan Faktur Pajak tidak sama dengan saat-saat tersebut, misalnya dalam hal
terjadi penyerahan Barang Kena Pajak dan/atau penyerahan Jasa Kena Pajak kepada
bendahara pemerintah. Oleh karena itu, Menteri Keuangan berwenang untuk
mengatur saat lain sebagai saat pembuatan Faktur Pajak.
Ayat (2)
Dikecualikan dari ketentuan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1), untuk meringankan beban administrasi,
kepada Pengusaha Kena Pajak diperkenankan untuk membuat 1 (satu) Faktur Pajak yang
meliputi semua penyerahan Barang Kena Pajak atau penyerahan Jasa Kena Pajak
yang terjadi selama 1 (satu) bulan kalender kepada pembeli yang sama atau
penerima Jasa Kena Pajak yang sama, yang disebut Faktur Pajak gabungan.
Ayat (2a)
Untuk meringankan beban administrasi,
Pengusaha Kena Pajak diperkenankan membuat Faktur Pajak gabungan paling lama
pada akhir bulan penyerahan Barang Kena Pajak dan/atau penyerahan Jasa Kena Pajak
meskipun di dalam bulan penyerahan telah terjadi pembayaran baik sebagian
maupun seluruhnya.
Contoh 1:
Dalam hal Pengusaha Kena Pajak A
melakukan penyerahan Barang Kena Pajak kepada pengusaha B pada tanggal 1, 5,
10, 11, 12, 20, 25, 28, dan 31 Juli 2010, tetapi sampai dengan tanggal 31 Juli
2010 sama sekali belum ada pembayaran atas penyerahan tersebut, Pengusaha Kena
Pajak A diperkenankan membuat 1 (satu) Faktur Pajak gabungan yang meliputi
seluruh penyerahan yang dilakukan pada bulan Juli, yaitu paling lama tanggal 31
Juli 2010.
Contoh 2:
Pengusaha Kena Pajak A melakukan
penyerahan Barang Kena Pajak kepada pengusaha B pada tanggal 2, 7, 9, 10, 12,
20, 26, 28, 29, dan 30 September 2010. Pada tanggal 28 September 2010 terdapat pembayaran
oleh pengusaha B atas penyerahan tanggal 2 September 2010. Dalam hal Pengusaha Kena
Pajak A menerbitkan Faktur Pajak gabungan, Faktur Pajak gabungan dibuat pada
tanggal 30 September 2010 yang meliputi seluruh penyerahan yang terjadi pada
bulan September.
Contoh 3:
Pengusaha Kena Pajak A melakukan
penyerahan Barang Kena Pajak kepada pengusaha B pada tanggal 2, 7, 9, 10, 12,
20, 26, 28, 29, dan 30 September 2010. Pada tanggal 28 September 2010 terdapat pembayaran
atas penyerahan tanggal 2 September 2010 dan pembayaran uang muka untuk
penyerahan yang akan dilakukan pada bulan Oktober 2010 oleh pengusaha B. Dalam
hal Pengusaha Kena Pajak A menerbitkan Faktur Pajak gabungan, Faktur Pajak gabungan
dibuat pada tanggal 30 September 2010 yang meliputi seluruh penyerahan dan
pembayaran uang muka yang dilakukan pada bulan September.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Ayat (5)
Faktur Pajak merupakan bukti pungutan
pajak dan dapat digunakan sebagai sarana untuk mengkreditkan Pajak Masukan.
Faktur Pajak harus diisi secara lengkap, jelas, dan benar serta ditandatangani
oleh pihak yang ditunjuk oleh Pengusaha Kena Pajak untuk menandatanganinya.
Namun, keterangan mengenai Pajak
Penjualan atas Barang Mewah hanya diisi apabila atas penyerahan Barang Kena
Pajak terutang Pajak Penjualan atas Barang Mewah. Faktur Pajak yang tidak diisi
sesuai dengan ketentuan dalam ayat ini mengakibatkan Pajak Pertambahan Nilai
yang tercantum di dalamnya tidak dapat dikreditkan sesuai dengan ketentuan dalam
Pasal 9 ayat (8) huruf f.
Ayat (6)
Dikecualikan dari ketentuan
sebagaimana dimaksud pada ayat (5), Direktur Jenderal Pajak dapat menentukan
dokumen yang biasa digunakan dalam dunia usaha yang kedudukannya dipersamakan dengan
Faktur Pajak.
Ketentuan ini diperlukan,
antara lain, karena:
a. faktur penjualan yang digunakan oleh pengusaha telah dikenal oleh
masyarakat luas, seperti kuitansi pembayaran telepon dan tiket pesawat udara;
b. untuk adanya bukti pungutan pajak harus ada Faktur Pajak, sedangkan
pihak yang seharusnya membuat Faktur Pajak, yaitu pihak yang menyerahkan Barang
Kena Pajak atau Jasa Kena Pajak, berada di luar Daerah Pabean, misalnya, dalam
hal pemanfaatan Jasa Kena Pajak dari luar Daerah Pabean, Surat Setoran Pajak
dapat ditetapkan sebagai Faktur Pajak; dan
c. terdapat dokumen tertentu yang digunakan dalam hal impor atau
ekspor Barang Kena Pajak Berwujud.
Ayat (7)
Cukup jelas.
Ayat (8)
Faktur Pajak yang dibetulkan adalah,
antara lain, Faktur Pajak yang salah dalam pengisian atau salah dalam
penulisan. Termasuk dalam pengertian salah dalam pengisian atau salah dalam
penulisan adalah, antara lain, adanya penyesuaian Harga Jual akibat berkurangnya
kuantitas atau kualitas Barang Kena Pajak yang wajar terjadi pada saat
pengiriman.
Ayat (9)
Faktur Pajak memenuhi persyaratan
formal apabila diisi secara lengkap, jelas, dan benar sesuai dengan persyaratan
sebagaimana dimaksud pada ayat (5) atau persyaratan yang diatur dengan
Peraturan Direktur Jenderal Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (6).
Faktur Pajak atau dokumen tertentu
yang kedudukannya dipersamakan dengan Faktur Pajak memenuhi persyaratan
material apabila berisi keterangan yang sebenarnya atau sesungguhnya mengenai
penyerahan Barang Kena Pajak dan/atau penyerahan Jasa Kena Pajak, ekspor Barang
Kena Pajak Berwujud, ekspor Barang Kena Pajak Tidak Berwujud, ekspor Jasa Kena
Pajak, impor Barang Kena Pajak, atau pemanfaatan Jasa Kena Pajak dan pemanfaatan
Barang Kena Pajak Tidak Berwujud dari luar Daerah Pabean di dalam Daerah
Pabean. Dengan demikian, walaupun Faktur Pajak atau dokumen tertentu yang
kedudukannya dipersamakan dengan Faktur Pajak sudah memenuhi ketentuan formal
dan sudah dibayar Pajak Pertambahan Nilainya, apabila keterangan yang tercantum
dalam Faktur Pajak atau dokumen tertentu yang kedudukannya dipersamakan dengan
Faktur Pajak tidak sesuai dengan kenyataan yang sebenarnya mengenai penyerahan
Barang Kena Pajak dan/atau penyerahan Jasa Kena Pajak, ekspor Barang Kena Pajak
Berwujud, ekspor Barang Kena Pajak Tidak Berwujud, ekspor Jasa Kena Pajak,
impor Barang Kena Pajak, atau pemanfaatan Jasa Kena Pajak dan pemanfaatan
Barang Kena Pajak Tidak Berwujud dari luar Daerah Pabean di dalam Daerah Pabean,
Faktur Pajak atau dokumen tertentu yang kedudukannya dipersamakan dengan Faktur
Pajak tersebut tidak memenuhi syarat material.
Angka 15
Pasal 15A
Dalam rangka memberikan kelonggaran
waktu kepada Pengusaha Kena Pajak untuk menyetor kekurangan pembayaran pajak
dan menyampaikan Surat Pemberitahuan Masa Pajak Pertambahan Nilai, Pasal ini mengatur
secara khusus mengenai batas akhir pembayaran dan penyampaian Surat
Pemberitahuan Masa Pajak Pertambahan Nilai yang berbeda dengan yang diatur
dalam Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara
Perpajakan dan perubahannya.
Dalam hal terjadi keterlambatan
pembayaran pajak terutang berdasarkan Surat Pemberitahuan Masa Pajak Pertambahan
Nilai dan/atau keterlambatan penyampaian Surat Pemberitahuan Masa Pajak
Pertambahan Nilai sesuai dengan ketentuan yang diatur dalam Pasal ini,
Pengusaha Kena Pajak tetap dikenai
sanksi administrasi sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983
tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan dan perubahannya.
Angka 16
Pasal 16B
Ayat (1)
Salah satu prinsip yang harus dipegang
teguh di dalam Undang-Undang Perpajakan adalah diberlakukan dan diterapkannya
perlakuan yang sama terhadap semua Wajib Pajak atau terhadap kasus-kasus dalam
bidang perpajakan yang pada hakikatnya sama dengan berpegang teguh pada ketentuan
peraturan perundang-undangan. Oleh karena itu, setiap kemudahan dalam bidang perpajakan,
jika benar-benar diperlukan, harus mengacu pada kaidah di atas dan perlu dijaga
agar di dalam penerapannya tidak menyimpang dari maksud dan tujuan diberikannya
kemudahan tersebut.
Tujuan dan maksud diberikannya
kemudahan pada hakikatnya untuk memberikan fasilitas perpajakan yang
benar-benar diperlukan terutama untuk berhasilnya sektor kegiatan ekonomi yang berprioritas
tinggi dalam skala nasional, mendorong perkembangan dunia usaha dan
meningkatkan daya saing, mendukung pertahanan nasional, serta memperlancar
pembangunan nasional.
Kemudahan perpajakan yang diatur dalam
Pasal ini diberikan terbatas untuk:
a.
mendorong
ekspor yang merupakan prioritas nasional di Tempat Penimbunan Berikat atau untuk
mengembangkan wilayah dalam Daerah Pabean yang dibentuk khusus untuk maksud tersebut;
b. menampung kemungkinan perjanjian dengan negara lain dalam bidang
perdagangan dan investasi, konvensi internasional yang telah diratifikasi,
serta kelaziman internasional lainnya;
c. mendorong peningkatan kesehatan masyarakat melalui pengadaan
vaksin yang diperlukan dalam rangka program imunisasi nasional;
d. menjamin tersedianya peralatan Tentara Nasional Indonesia/Kepolisian
Republik Indonesia (TNI/POLRI) yang memadai untuk melindungi wilayah Republik
Indonesia dari ancaman eksternal maupun internal;
e. menjamin tersedianya data batas dan foto udara wilayah Republik
Indonesia yang dilakukan oleh Tentara Nasional Indonesia (TNI) untuk mendukung
pertahanan nasional;
f. meningkatkan pendidikan dan kecerdasan bangsa dengan membantu
tersedianya buku pelajaran umum, kitab suci, dan buku pelajaran agama dengan
harga yang relatif terjangkau masyarakat;
g. mendorong pembangunan tempat ibadah;
h. menjamin tersedianya perumahan yang harganya terjangkau oleh
masyarakat lapisan bawah, yaitu rumah sederhana, rumah sangat sederhana, dan rumah
susun sederhana;
i. mendorong pengembangan armada nasional di bidang angkutan darat,
air, dan udara;
j. mendorong pembangunan nasional dengan membantu tersedianya barang
yang bersifat strategis, seperti bahan baku kerajinan perak;
k. menjamin terlaksananya proyek pemerintah yang dibiayai dengan hibah
dan/atau dana pinjaman luar negeri;
l. mengakomodasi kelaziman internasional dalam importasi Barang Kena
Pajak tertentu yang dibebaskan dari pungutan Bea Masuk;
m. membantu tersedianya Barang Kena Pajak dan/atau Jasa Kena Pajak yang
diperlukan dalam rangka penanganan bencana alam yang ditetapkan sebagai bencana
alam nasional;
n. menjamin tersedianya air bersih dan listrik yang sangat dibutuhkan
oleh masyarakat; dan/atau
o. menjamin tersedianya angkutan umum di udara untuk mendorong
kelancaran perpindahan arus barang dan orang di daerah tertentu yang tidak tersedia
sarana transportasi lainnya yang memadai, yang perbandingan antara volume barang
dan orang yang harus dipindahkan dengan sarana transportasi yang tersedia
sangat tinggi.
Ayat (2)
Adanya perlakuan khusus berupa Pajak
Pertambahan Nilai yang terutang, tetapi tidak dipungut, diartikan bahwa Pajak
Masukan yang berkaitan dengan penyerahan Barang Kena Pajak dan/atau Jasa Kena Pajak
yang mendapat perlakuan khusus dimaksud tetap dapat dikreditkan. Dengan demikian,
Pajak Pertambahan Nilai tetap terutang, tetapi tidak dipungut.
Contoh:
Pengusaha Kena Pajak A memproduksi
Barang Kena Pajak yang mendapat fasilitas dari negara, yaitu Pajak Pertambahan
Nilai yang terutang atas penyerahan Barang Kena Pajak tersebut tidak dipungut
selamanya (tidak sekadar ditunda).
Untuk memproduksi Barang Kena Pajak
tersebut, Pengusaha Kena Pajak A menggunakan Barang Kena Pajak lain dan/atau
Jasa Kena Pajak sebagai bahan baku, bahan pembantu, barang modal, ataupun sebagai
komponen biaya lain.
Pada waktu membeli Barang Kena Pajak
lain dan/atau Jasa Kena Pajak tersebut, Pengusaha Kena Pajak A membayar Pajak
Pertambahan Nilai kepada Pengusaha Kena Pajak yang menjual atau menyerahkan
Barang Kena Pajak atau Jasa Kena Pajak tersebut.
Jika Pajak Pertambahan Nilai yang
dibayar oleh Pengusaha Kena Pajak A kepada Pengusaha Kena Pajak pemasok
tersebut merupakan Pajak Masukan yang dapat dikreditkan dengan Pajak Keluaran,
Pajak Masukan tetap dapat dikreditkan dengan Pajak Keluaran walaupun Pajak Keluaran
tersebut nihil karena menikmati fasilitas Pajak Pertambahan Nilai tidak
dipungut dari negara berdasarkan ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1).
Ayat (3)
Berbeda dengan ketentuan pada ayat
(2), adanya perlakuan khusus berupa pembebasan dari pengenaan Pajak Pertambahan
Nilai mengakibatkan tidak adanya Pajak Keluaran sehingga Pajak Masukan yang
berkaitan dengan penyerahan Barang Kena Pajak dan/atau Jasa Kena Pajak yang memperoleh
pembebasan tersebut tidak dapat dikreditkan.
Contoh:
Pengusaha Kena Pajak B memproduksi
Barang Kena Pajak yang mendapat fasilitas dari negara, yaitu atas penyerahan
Barang Kena Pajak tersebut dibebaskan dari pengenaan Pajak Pertambahan Nilai.
Untuk memproduksi Barang Kena Pajak
tersebut, Pengusaha Kena Pajak B menggunakan Barang Kena Pajak lain dan/atau
Jasa Kena Pajak sebagai bahan baku, bahan pembantu, barang modal, ataupun sebagai
komponen biaya lain.
Pada waktu membeli Barang Kena Pajak
lain dan/atau Jasa Kena Pajak tersebut, Pengusaha Kena Pajak B membayar Pajak
Pertambahan Nilai kepada Pengusaha Kena Pajak yang menjual atau menyerahkan
Barang Kena Pajak atau Jasa Kena Pajak tersebut.
Meskipun Pajak Pertambahan Nilai yang
dibayar oleh Pengusaha Kena Pajak B kepada Pengusaha Kena Pajak pemasok
tersebut merupakan Pajak Masukan yang dapat dikreditkan, karena tidak ada Pajak
Keluaran berhubung diberikannya fasilitas dibebaskan dari pengenaan pajak
sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Pajak Masukan tersebut menjadi tidak dapat
dikreditkan.
Angka 17
Pasal 16 D
Penyerahan Barang Kena Pajak, antara
lain, berupa mesin, bangunan, peralatan, perabotan, atau Barang Kena Pajak lain
yang menurut tujuan semula tidak untuk diperjualbelikan oleh Pengusaha Kena
Pajak dikenai pajak.
Namun, Pajak Pertambahan Nilai tidak
dikenakan atas pengalihan Barang Kena Pajak yang tidak mempunyai hubungan
langsung dengan kegiatan usaha dan pengalihan aktiva yang menurut tujuan semula
tidak untuk diperjualbelikan, yaitu kendaraan bermotor berupa sedan dan station
wagon, yang menurut ketentuan Pasal 9 ayat (8) huruf b dan huruf c Pajak
Masukan atas perolehan aktiva tersebut tidak dapat dikreditkan.
Angka 18
Pasal 16E
Ayat (1)
Dalam rangka menarik orang pribadi
pemegang paspor luar negeri untuk berkunjung ke Indonesia, kepada orang pribadi
tersebut diberikan insentif perpajakan. Insentif tersebut berupa pengembalian Pajak
Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah yang sudah dibayar atas
pembelian Barang Kena Pajak di Indonesia yang kemudian dibawa oleh orang
pribadi tersebut ke luar Daerah Pabean.
Ayat (2)
Barang Kena Pajak yang dibeli dalam
jangka waktu 1 (satu) bulan sebelum orang pribadi pemegang paspor luar negeri
meninggalkan Indonesia dianggap akan dikonsumsi di luar Daerah Pabean. Oleh
karena itu, Faktur Pajak yang dapat digunakan sebagai dasar untuk meminta
kembali Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah
dipersyaratkan hanya untuk Faktur Pajak yang diterbitkan dalam jangka waktu 1
(satu) bulan sebelum orang pribadi pemegang paspor luar negeri meninggalkan Indonesia.
Bagi orang pribadi pemegang paspor
luar negeri yang tidak mempunyai Nomor Pokok Wajib Pajak, Faktur Pajak yang
dapat dipergunakan untuk meminta kembali Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan
atas Barang Mewah harus mencantumkan identitas berupa nama, nomor paspor, dan
alamat lengkap orang pribadi tersebut di negara yang menerbitkan paspor.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Ayat (5)
Cukup jelas.
Pasal 16F
Sesuai dengan prinsip beban pembayaran
pajak untuk Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan atas
Barang Mewah adalah pada pembeli atau konsumen barang atau penerima jasa. Oleh
karena itu sudah seharusnya apabila pembeli atau konsumen barang dan penerima
jasa bertanggung jawab renteng atas pembayaran pajak yang terutang apabila
ternyata bahwa pajak yang terutang tersebut tidak dapat ditagih kepada penjual
atau pemberi jasa dan pembeli atau penerima jasa tidak dapat menunjukkan bukti
telah melakukan pembayaran pajak kepada penjual atau pemberi jasa.
PASAL II
Cukup jelas.
TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK
INDONESIA NOMOR 5069
kita juga punya nih jurnal mengenai pajak penghasilan nilai, silahkan dikunjungi dan dibaca , berikut linknya http://repository.gunadarma.ac.id/bitstream/123456789/1440/1/20207075.pdf
BalasHapussemoga bermanfaat yaa :)
thanks ya dah berkunjung, ntar aku lihat ya blogmu
Hapus